Pengertian Adat Istiadat Dan Contohnya

Diposting pada

Adat-Istiadat

Pengertian Adat Istiadat

Secara etimologi, dalam hal ini adat berasal dari bahasa Arab yang berarti “kebiasaan”, jadi secara etimologi adat dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang dilakukan berulang-ulang lalu menjadi suatu kebiasaan yang tetap dan dihormati orang, maka kebiasaan itu menjadi adat. Adat merupakan kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari suatu masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki naili dan dijunjung serta di patuhi masyarakat pendukungnya.


Adat istiadat merupakan kebiasaan sosial yang sejak lama ada dalam masyarakatdengan maksud mengatur tata tertib. Ada pula yang mengikat norma dan kelakuan di dalammasyarakat, sehingga dalam malakukan suatu tindakan mereka akan memikirkan dampak akibat dari berbuatannya atau sekumpulan tata kelakuan yang paling tinggi kedudukannyakarena bersifat kekal dan terintegrasi sangat kuat terhadap masyarakat yang memilikinya.Terwujudnya adat-istiadat ini diibaratkan menanam tumbuhan yang tidak terlalu kuatpohonnya seperti kacang panjang dan lada, gadangnyo diambak tingginya dianjuang.Kacang panjang atau lada menjadi kuat batangnya hanya jika tanah di sekitarnya selalu(digemburkan) sehingga kandungan oksigen dalam tanah lebih banyak dan akarnya mudahmenembus tanah.Pohon dapat berdiri tegak dan makin tinggi jika diberi kayu anjungan.Pada saat orang lupa mengambak dan mengajung, maka tumbuhan menjadi kerdil ataumati sama sekali.Demikian pula pelaksanaan adat-istiadat ini di tengah-tengah masyarakat.


Adat istiadat adalah kumpulan tata kelakuan yang paling tinggi kedudukannya karena bersifat kekal dan terintegrasi sangat kuat terhadap masyarakat yang memilikinya.

  1. Adat istiadat merupakan tata kelakuan yang kekal dan turun temurun dari generasi kegenerasi lain sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat( Kamus besar bahasa indonesia, 1988:5,6).
  2. Adat istiadat adalah perilaku budaya dan aturan-aturan yang telah berusaha diterapkan dalam lingkungan masyarakat.
  3. Adat istiadat merupakan ciri khas suatu daerah yang melekat sejak dahulu kala dalam diri masyarakat yang melakukannya.
  4. Adat istiadat adalah himpunan kaidah-kaidah sosial yang sejak lama ada dan telah menjadi kebiasaan (tradisi) dalam masyarakat.

Pengertian Adat Istiadat Menurut Para Ahli

Ada beberapa pengertian adat istiadat menurut para ahli yang diantaranya yaitu:

  • Menurut Jalaludi Tunsam
    Yang dalam tulisannya pada tahun 1660 menyatakan bahwa “adat” berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk jamak dari “adah” yang memiliki arti cara atau kebiasaan. Seperti yang telah dijelaskan bahwa adat merupakan suatu gagasan kebudayaan yang mengandung nilai kebudayaan, norma, kebiasaan serta hukum yang sudah lazim dilakukan oleh suatu daerah. Nah, biasanya apabila adat ini tidak dipatuhi maka akan ada sangsi baik yang tertulis maupun langsung yang diberikan kepada perilaku yang melanggarnya.

  • Menurut Koen Cakraningrat
    Adat ialah suatu bentuk perwujudan dari kebudayaan, kemudian adat digambarkan sebagai tata kelakuan. Adat merupakan sebuah norma atau aturan yang tidak tertulis, akan tetapi keberadaannya sangat kuat dan mengikat sehingga siapa saja yang melanggarnya akan dikenakan sangsi yang cukup keras. Contohnya, apabila ada pasangan yang melakukan suatu hubungan yang tidak terpuji seperti perzinahan maka pasangan tersebut akan mendapatkan sangsi baik secara fisik maupun mental seperti yang diterapkan oleh provonsi Aceh yang menerapkan hukuman cambuk.


  • Menurut Harjito Notopura “Dewi Wulansari, 2010:4”
    Hukum adat ialah hukum tak tertulis, hukum kebiasaan dengan ciri khas yang merupakan pedoman kehidupan rakyat dalam menyelenggarakan tata keadilan dan kesejahteraan masyarakat dan bersifat kekeluargaan.
  • Menurut Raden Soepomo “Dewi Wulansari, 2010:4”
    Hukum adat ialah sinonim dari hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislatif, hukum yang hidup sebagai konvensi dibadan-badan hukum negara “parlemen, dewan propinsi dan sebagainya”, hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik dikota maupun di desa-desa.
  • Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
    Adat ialah aturan “perbuatan dsb” yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala, cara “kelakuan dsb” yang sudah menjadi kebiasaan, wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum dan aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem. Karena istilah adat yang telah diserap kedalam Bahasa Indonesia menjadi kebiasaan maka istilah hukum adat dapat disamakan dengan hukum kebiasaan.
  • Menurut Syah “Dalam Nurlin Ibrahim, 2009:5”
    Mengemukakan bahwa adat ialah kaidah-kaidah sosial yang tradisional yang sakral ini berarti bahwa ialah ketentuan leluhur dan ditaati secara turun temurun. Ia merupakan tradisi yang mengatur masyarakat penduduk asli Indonesia yang dirasakan oleh anggota-anggotanya sangat mengikat. Sebagai kaidah-kaidah sosial yang dianggap sakral, maka pelaksanaan adat ini hendaknya dilaksanakan berdasarkan norma-norma adat yang berlaku disetiap daerah dengan tanpa memperhatikan adanya stratifikasi dalam kehidupan masyarakat.
  • Menurut Soekanto, 2011:73
    Adat istiadat mempunyai ikatan dan pengaruh yang kuat dalam masyarakat, kekuatan mengikatnya tergantung pada masyarakat “atau bagian masyarakat” yang mendukung adat istiadat tersebut yang terutama berpangkal tolak pada perasaan keadilannya.
  • Menurut M. Nasroen “Soerjono Soekanto, 1981:70”
    Menjelaskan adat istiadat merupakan suatu sistem pandangan hidup yang kekal, segar serta aktual oleh karena didasarkan pada:
  1. Ketentuan-ketentuan yang terdapat pada alam yang nyata dan juga pada nilai positif, teladan baik serta keadaan yang berkembang.
  2. Kebersamaan dalam arti, seseorang untuk kepentingan bersama dan kepentingan bersama untuk seseorang.
    Kemakmuran yang merata.
  3. Pertimbangan pertentangan yakni pertentangan dihadapi secara nyata dengan mufakat berdasarkan alur dan kepatutan.
  4. Meletakan sesuatu pada tempatnya dan menempuh jalan tengah.
  5. Menyesuaikan diri dengan kenyataan.
  6. Segala sesuatunya berguna menurut tempat, waktu dan keadaan.

Macam-macam Adat Istiadat

  1. Adat yang Sebenarnya Adat Adalah adat yang tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan, dipindah tidak layu, dibasuh habis air. Artinya, semua ketetapan yang ada di alam ini memiliki sifat-sifat yang tak akan berubah, contohnya hutan gundul menjadi penyebab banjir, kejahatan pasti akan mendapat hukuman, kebaikan akan membuahkan kebahagiaan, dan seterusnya.
  2. Adat yang Diadatkan Ialah semua ketentuan yang berlaku di dalam masyarakat. Ketentuan-ketentuan ini dikodifikasikan oleh Datuk Nan Duo berdasarkan sifat benda-benda di alam. Gunanya untuk mengatur kehidupan bermasyarakat dalam hal ketertiban, perekonomian, dan sosial budaya.
  3. Adat yang Teradat Yaitu aturan yang terbentuk berdasarkan musyawarah. Setiap kelompok masyarakat memiliki aturan dan tata cara yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya.
  4. Adat-Istiadat merupakan kebiasaan atau kesukaan masyarakat setempat ketika melaksanakan pesta, berkesenian, hiburan, berpakaian, olah raga, dsb.

Adat istiadat bisa berbentuk tertulis dan tidak tertulis. Contoh adat istiadat yang tertulis antara lain adalah:

  • piagam-piagam raja (surat pengesahan raja, kepala adat)
  • peraturan persekutuan hukum adat yang tertulis seperti penataran desa, agama desa, awig-awig (peraturan subak di Pulau Bali).

Kriteria adat istiadat

Kriteria yang paling menentukan bagi konsepsi tradisi itu adalah bahwa tradisi diciptakan melalui tindakan dan kelakuan orang-orang melalui fikiran dan imaginasi orang-orang yang diteruskan dari satu generasi kegenerasi berikutnya(Skils dalam Sayogyo,1985:90).


Jenis Adat Istiadat Indonesia

  • Adat Rambu Solo – Tana Toraja (Sulawesi Selatan)

Adat Rambu Solo

Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Upacara kematian ini disebut Rambu Solo’. Rambu Solo’ merupakan acara tradisi yang sangat meriah di Tana Toraja, karena memakan waktu berhari-hari untuk merayakannya. Upacara ini biasanya dilaksanakan pada siang hari, saat matahari mulai condong ke barat dan biasanya membutuhkan waktu 2-3 hari.


Bahkan bisa sampai dua minggu untuk kalangan bangsawan. Kuburannya sendiri dibuat di bagian atas tebing di ketinggian bukit batu. Karena menurut kepercayaan Aluk To Dolo (kepercayaan masyarakat Tana Toraja dulu, sebelum masuknya agama Nasrani dan Islam) di kalangan orang Tana Toraja, semakin tinggi tempat jenazah tersebut diletakkan, maka semakin cepat pula rohnya sampai ke Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari.


Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.


Tana Toraja (Sulawesi Selatan)

Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman.Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan


Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya. Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau (Gambar 3). Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.


  • Adat Pasola (Nusa Tenggara Barat)

Adat Pasola (Nusa Tenggara Barat)

Tradisi perang-perangan dengan menunggang kuda sambil menyerang lawan dengan lembing ini bisa kita saksikan dengan mengunjungi Pulau Sumba di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tradisi ini disebut dengan nama Pasola. Nama Pasola berasal dari kata “sola” atau “hola”, yang berarti lembing kayu yang dipakai untuk saling melempar. Acara melempar lembing kayu ini dilakukan para pemuda desa di Sumba dari atas kuda yang sedang dipacu kencang yang berlawanan arah. Permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda ini merupakan bagian dari serangkaian upacara tradisional, yang dilakukan oleh orang Sumba yang masih menganut agama asli yang mereka sebut Marapu yaitu agama lokal masyarakat Sumba.


Kegiatan Pasola ini biasanya diadakan di dua kabupaten yaitu Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Barat Daya melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan setempat. Untuk ritual Pasola sendiri biasanya dilaksanakan setiap awal bulan Februari, akan tetapi perhitungan penentuan tanggal Pasola dihitung mulai dari munculnya bulan purnama dan setelah itu acara pelaksanaan Pasola akan ditentukan oleh Rato Nyale yang merupakan orang penting dalam hal penentuan tanggal pelaksanaan pasola Pasola. Budaya yang kental dan pertimbangan Rato. Nyale inilah yang membuat jadwal Pasola terkadang bisa berubah. Tetapi jika mereka sudah menentukan kapan tanggal yang pas mereka melaksanakan Pasola baru setelah itu.


Saat yang tepat untuk melihat Pasola sebenarnya datang 1 sampai dengan 2 hari dari hari H diadakan Pasola, karena sebelum hari H ada tradisi yang diadakan. Salah satunya adalah tradisi nyale yang merupakan puncak dari segala kegiatan untuk memulai pasola.Sebelum Pasola dimulai biasanya diawali dengan pelaksanaan adat nyale. Adat nyale adalah salah satu upacara yang memanjatkan rasa syukur atas anugerah yang didapatkan, yang ditandai dengan datangnya musim panen dan cacing laut yang melimpah di pinggir pantai. Adat tersebut dilaksanakan pada waktu bulan purnama dan cacing-cacing laut (dalam bahasa setempat disebut nyale) keluar di tepi pantai. Para Rato (pemuka suku) akan memprediksi saat nyale keluar pada pagi hari, setelah hari mulai terang. Nyale kemudian dibawa ke majelis para Rato untuk dibuktikan kebenarannya dan diteliti bentuk serta warnanya. Bila nyale tersebut gemuk, sehat, dan berwarna-warni, pertanda tahun tersebut akan mendapatkan kebaikan dan panen yang berhasil. Sebaliknya, bila nyale kurus dan rapuh, akan didapatkan malapetaka. Setelah itu penangkapan nyale baru boleh dilakukan oleh masyarakat. Tanpa mendapatkan nyale, Pasola tidak dapat dilaksanakan.


Pasola sendiri dilaksanakan di padang yang luas, disaksikan oleh warga dari kedua kelompok yang bertanding, masyarakat umum, dan wisatawan asing maupun lokal. Setiap kelompok warga terdiri lebih dari 100 pemuda bersenjatakan tombak yang dibuat dari kayu berujung tumpul dan berdiameter kira-kira 1,5 cm. Walaupun berujung tumpul, permainan ini dapat memakan korban jiwa. Kalau ada korban dalam Pasola, menurut kepercayaan Marapu, korban tersebut mendapat hukuman dari para dewa karena telah melakukan suatu pelanggaran atau kesalahan. Dalam permainan Pasola, penonton dapat melihat secara langsung dua kelompok ksatria Sumba yang sedang berhadap-hadapan, kemudian memacu kuda secara lincah sambil melemparkan lembing ke arah lawan


Festival Tabuik adalah perayaan memperingati Hari Asyura (10 Muharam) yaitu mengenang kisah kepahlawanan dan kematian cucu Nabi Muhammad Saw yaitu Saidina Hassan bin Ali yang wafat diracun serta Saidina Husein bin Ali yang gugur dalam peperangan dengan pasukan Ubaidillah bin Zaid di padang Karbala, Iraq tanggal 10 Muharam 61 Hijrah (681 Masehi). Dalam pertempuran yang tidak seimbang itu, tubuh Imam Husain yang sudah wafat dirusak dengan tidak wajar. Kepala Imam Husein dipenggal oleh tentara Muawiyah. Kematian Imam Husein diratapi oleh kaum Muslim terutama Muslim Syiah di Timur Tengah dengan cara menyakiti tubuh mereka sendiri.


Tradisi mengenang kematian cucu Rasulullah tersebut menyebar ke sejumlah negara dengan cara yang berbeda-beda. Di Indonesia, selain di Pariaman, ritual mengenang peristiwa tersebut juga diadakan di Bengkulu. Dalam perayaan memperingati wafatnya Husein bin Ali, tabuik melambangkan janji Muawiyah untuk menyerahkan tongkat kekhalifahan kepada umat Islam setelah Imam Husain meninggal. Namun, janji itu ternyata dilanggar dan malah mengangkat Jazid yaitu anaknya sebagai putera mahkota.Sebagian Muslim percaya jenazah Husain diusung ke langit menggunakan Bouraq dengan peti jenazah yang disebut Tabot. Kendaraan Bouraq yang disimbolkan dengan wujud kuda gemuk berkepala wanita cantik menjadi bagian utama bangunan Tabuik.


Awalnya Tabuik sebagai simbol ritual bagi pengikut Syi’ah untuk mengumpulkan potongan-potongan tubuh Imam Husein dan selama ritual itu para peserta berteriak “Hayya Husein, hayya Husein” atau yang berarti “Hidup Husein, hidup Husein”. Akan tetapi, di Pariaman teriakan tersebut telah berganti dimana para pengusung dan peserta Tabuik akan berteriak “Hoyak Hussein, hoyak Hussein” sambil menggoyang-goyangkan menara Tabuik yang berbentuk menara dan bersayap serta sebuah kepala manusia. Festival Tabuik masuk kalender acara wisata Sumatra Barat dan kalender acara wisata nasional. Puluhan ribu orang dari pelosok Sumatra Barat dan perantau datang ke Pariaman hanya ingin melihat Festival Tabuik selama 14 hari. Upacara tabuik dapat dihadiri hingga sekitar 6.000 orang per hari dan 90.000 orang saat puncak acara.


Acara Tabuik di Pariaman dan Ta’ziyeh di Iran memiliki kesamaan ritual yaitu untuk memperingati kematian Imam Hussein. Dalam perayaan ini masyarakat menyaksikan dua buah tabuik atau keranda setinggi 13 hingga 15 meter yang masing-masing diangkat oleh 20 lelaki. Mereka menggoyang-goyang, memutar-mutar, dan mengarak tabuik dari pusat kota menuju pantai. Lalu, pemain gendang tasa menepuk irama, mengiringi setiap liukan tabuik, dentamnya membangkitkan semangat. Di antara irama gendang terselip teriakan keras “Hoyak Hussein”. Kata tabuik yang berasal dari bahasa Arab dapat mempunyai beberapa pengertian. Pertama, tabuik diartikan sebagai ‘keranda’ atau ‘peti mati’. Pengertian yang lain mengatakan bahwa tabuik artinya adalah peti pusaka peninggalan Nabi Musa yang digunakan untuk menyimpan naskah perjanjian Bani Israel dengan Allah. Tabut pada mulanya sebuah peti kayu yang dilapisi dengan emas sebagai tempat penyimpanan manuskrip Taurat yang ditulis di atas lempengan batu. Akan tetapi, Tabuik kali ini tidak lagi sebuah kotak peti kayu yang dilapisi oleh emas. Namun, yang diarak oleh warga Pariaman adalah sebuah replika menara tinggi yang terbuat dari bambu, kayu, rotan, dan berbagai macam hiasan.


Puncak menara adalah sebuah hiasan yang berbentuk payung besar, dan bukan hanya di puncak, di beberapa sisi menara hiasan berbentuk payung-payung kecil juga terpasang berjuntai. Tidak seperti menara lazimnya, bagian sisi-sisi bawah Tabuik terkembang dua buah sayap. Di antara sisi-sisi sayap itu, terpasang pula ornamen ekor dan sebuah kepala manusia sepertinya wajah wanita lengkap dengan kerudung. Bambu-bambu besar menjadi pondasi sekaligus tempat pegangan untuk mengusung Tabuik yang terlihat kokoh dan sangat berat. Butuh banyak pria untuk mengangkatnya dan butuh banyak kucuran keringat untuk mengoyaknya. Tradisi Tabuik telah terpelihara sejak 1829 oleh warga Pariaman. Perayaan Tabuik diselenggarakan setiap 1 hingga 10 Muharam.


Ada beberapa versi mengenai asal-usul perayaan tabuik di Pariaman. Versi pertama mengatakan bahwa tabuik dibawa oleh orang-orang Arab (Muslim Syiah) yang datang ke Pulau Sumatera untuk berdagang. Sedangkan, versi lain berdasarkan catatan Snouck Hurgronje mengatakan bahwa tradisi Tabuik masuk ke Indonesia melalui dua gelombang. Gelombang pertama sekitar abad 14 M, tatkala Hikayat Muhammad diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu. Melalui buku itulah ritual tabuik dipelajari Anak Nagari. Sedangkan, gelombang kedua tabuik dibawa oleh tentara Cipei/Sepoy dari India penganut Islam Syiah yang dipimpin oleh Imam Kadar Ali. Pasukan itu berasal dari India yang oleh Inggris dijadikan serdadu ketika menguasai Bengkulu dari tangan Belanda sesuai Traktat London, 1824.


Dalam sejarah Pariaman, Tabuik pertama kali diperkenalkan serdadu Tamil yang menjadi bagian pasukan Inggris pimpinan Thomas Stamfort Raffles. Saat itu Inggris menguasai Bengkulu tahun 1826. Pasukan Tamil yang kebayakan Muslim setiap tahun menggelar pesta Tabuik dimana di Bengkulu bernama “Tabot”. Kegiatan ini kemudian diikuti pula oleh masyarakat yang ada di Bengkulu dan meluas hingga ke Panian, Padang, Pariaman, Maninjau, Pidi, Banda Aceh, Meulauboh dan Singkil. Dalam perkembangan berikutnya, ritual itu satu-persatu hilang dari daerah-daerah tersebut dan akhirnya hanya tinggal di dua tempat yaitu Bengkulu dengan sebutan Tabot dan Pariaman dengan sebutan Tabuik.


Setelah perjanjian London 17 Maret 1829, Inggris harus meninggalkan Bengkulu dan menerima daerah jajahan Belanda di Singapura. Sebaliknya Belanda berhak atas daerah-daerah jajahan Inggris di Indonesia termasuk Bengkulu dan wilayah Sumatera lainnya. Serdadu Inggris harus meninggalkan Bengkulu, namun pasukan Tamil yang mayoritas Muslim memilih bertahan dan melarikan diri ke Pariaman, Sumatera Barat yang saat itu terkenal sebagai daerah pelabuhan yang ramai di pesisir barat pulau Sumatera. Karena pasukan Tamil mayoritas Muslim, mereka diterima masyarakat Pariaman yang memeluk Islam. Terjadilah pembauran sosial-budaya. Salah satu pembauran budaya ditunjukkan oleh Pesta Tabuik. Bahkan Tabuik akhirnya menjadi tradisi yang tidak terpisahkan dari kehidupan warga Pariaman. Di Pariaman, kemudian tabuik diselenggarakan oleh Anak Nagari dalam bentuk Tabuik Adat. Namun, seiring dengan banyaknya wisatawan yang datang untuk menyaksikannya, tahun 1974 pengelolaan tabuik diambil alih oleh pemerintah daerah setempat dan dijadikan Tabuik Wisata.


Pembuatan Tabuik Tabuik dibuat oleh dua kelompok masyarakat Pariaman, yakni kelompok Pasar dan kelompok Subarang. Kedua tempat tersebut dipisahkan oleh aliran sungai yang membelah Kota Pariaman. Kelompok Tabuik Pasar terdiri dari gabungan 12 desa yang ada di kota Pariaman, sementara kelompok Tabuik Subarang terdari dari gabungan 14 desa lainnya. Dahulu, selama berlangsungnya pesta tabuik selalu diikuti dengan perkelahian antara warga dari daerah Pasar dan Subarang. Bahkan, ada beberapa pasangan suami-isteri yang berpisah dan masing-masing kembali ke daerah asalnya di Subarang dan Pasar. Setelah upacara tabuik berakhir, suami-istri tersebut kembali berkumpul dalam satu rumah. Walaupun korban terluka parah dalam perkelahian, namun ketika acara berakhir mereka bersatu kembali, sehingga suasana kembali tenang dan damai seperti semula.


Tabuik dibuat secara bersama-sama dan melibatkan ahli budaya dan sejarah, serta tokoh masyarakat. Masyarakat berkelompok dan saling bahu-membahu untuk membuat Tabuik dan mengaraknya (Gambar 1.). Pembuatan tabuik ini memakan biaya puluhan juta rupiah. Tabuik dibuat oleh kedua tempat ini terdiri dari dua bagian yaitu bagian atas dan bawah yang tingginya dapat mencapai 15 meter. Bagian atas mewakili keranda berbentuk menara yang dihiasi dengan bunga dan kain beludru berwarna-warni. Sedangkan, bagian bawah berbentuk tubuh kuda, bersayap, berekor dan berkepala manusia berambut panjang. Kuda itu dibuat dari rotan dan bambu dengan dilapisi kain beludru halus warna hitam dan pada empat kakinya terdapat gambar kalajengking menghadap ke atas.


Kuda tersebut adalah simbol Bouraq, kendaraan yang memiliki kemampuan terbang secepat kilat dan digunakan saat Isra’ Miraj Nabi Muhammad Saw. Buraq dipercaya membawa Imam Hussein ke langit. Bagian tengah Tabuik berbentuk gapura petak yang ukurannya makin ke atas makin besar. Pada gapura itu ditempelkan motif ukiran khas Minangkabau. Di bagian bawah dan atas gapura ditancapkan bungo salapan atau delapan bunga berbentuk payung dengan dasar kertas warna bermotif ukiran atau batik. Puncak Tabuik dihiasi payung besar yang dibalut kain beludru dan kertas hias yang juga bermotif ukiran. Di atas payung ditancapkan patung burung merpati putih. Kaki Tabuik terdiri dari empat kayu balok bersilang dengan panjang sekitar 20 meter. Balok-balok itu digunakan untuk menggotong dan menghoyak Tabuik yang dilakukan sekitar 100 orang dewasa.


  • Adat Ngaben (Bali)

Adat Ngaben (Bali)

Ngaben adalah suatu upacara pembakaran mayat yang dilakukan umat Hindu di Bali, upacara ini dilakukan untuk menyucian roh leluhur orang sudah wafat menuju ketempat peristirahatan terakhir dengan cara melakukan pembakaran jenazah.Dalam diri manusia mempunyai beberapa unsur, dan semua ini digerakan oleh nyawa/roh yang diberikan Sang Pencipta. Saat manusia meninggal, yang ditinggalkan hanya jasad kasarnya saja, sedangkan roh masih ada dan terus kekal sampai akhir jaman. Di saat itu upacara Ngaben ini terjadi sebagai proses penyucian roh saat meninggalkan badan kasar. Kata Ngaben sendiri mempunyai pengertian bekal atau abu yang semua tujuannya mengarah tentang adanya pelepasan terakhir kehidupan manusia. Dalam ajaran Hindu Dewa Brahma mempunyai beberapa ujud selain sebagai Dewa Pencipta Dewa Brahma dipercaya juga mempunyai ujud sebagai Dewa Api. Jadi upacara Ngaben sendiri adalah proses penyucian roh dengan cara dibakar menggunakan api agar bisa dapat kembali ke sang pencipta, api penjelmaan dari Dewa Brahma bisa membakar semua kekotoran yang melekat pada jasad dan roh orang yang telah meningggal.


Upacara Ngaben ini dianggap sangat penting bagi umat Hindu di Bali, karena upacara Ngaben merupakan perujudan dari rasa hormat dan sayang dari orang yang ditinggalkan, juga menyangkut status sosial dari keluarga dan orang yang meninggal. Dengan Ngaben, keluarga yang ditinggalkan dapat membebaskan roh/arwah dari perbuatan perbuatan yang pernah dilakukan dunia dan menghantarkannya menuju surga abadi dan kembali berenkarnasi lagi dalam wujud yang berbeda.Ngaben dilakukan dengan beberapa rangkaian upacara, terdiri dari berbagai rupa sesajen dengan tidak lupa dibubuhi simbol-simbol layaknya ritual lain yang sering dilakukan umat Hindu di Bali. Upacara Ngaben biasa nya dilalukan secara besar besaran, ini semua memerlukan waktu yang lama, tenaga yang banyak dan juga biaya yang tidak sedikit dan bisa mengakibatkan Ngaben sering dilakukan dalam waktu yang lama setelah kematian.


Pada masa sekarang ini masyarakat Hindu di Bali sering melakukan Ngaben secara massal / bersama, untuk meghemat biaya yang ada, dimana Jasad orang yang meninggal untuk sementara dikebumikan terlebih dahulu sampai biaya mencukupi baru di laksanakan, namun bagi orang dan keluarga yang mampu upacara ngaben dapat dilakukan secepatnya, untuk sementara waktu jasad disemayamkan di rumah, sambil menunggu waktu yang baik. Ada anggapan kurang baik bila penyimpanan jasad terlalu lama di rumah, karena roh orang yang meninggal tersebut menjadi bingung dan tidak tenang, dia merasa berada hidup diantara 2 alam dan selalu ingin cepat dibebaskan.Pelaksanaan Ngaben itu sendiri harus terlebih dahulu berkonsultasi dengan pendeta untuk menetapkankan kapan hari baik untuk dilakukannya upacara. Sambil menunggu hari baik yang akan ditetapkan, biasanya pihak keluarga dan dibantu masyarakat beramai ramai melakukan Persiapan tempat mayat ( bade/keranda ) dan replica berbentuk lembu yang terbuat dari bambu, kayu, kertas warna-warni, yang nantinya untuk tempat pembakaran mayat tersebut.


Dipagi harinyasaatupacara ini dilaksanakan, seluruh keluargadanmasyarakat akan berkumpul mempersiapkan upacara. Sebelum upacara dilaksanakan Jasad terlebih dahulu dibersihkan/dimandikan, Proses pelaksaaan pemandian di pimpin oleh seorang Pendeta atau orang dari golongan kasta Bramana.Setelah proses pemandian selesai , mayat dirias dengan mengenakan pakaian baju adat Bali, lalu semua anggota keluarga berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir dan diiringi doa semoga arwah yang diupacarai memperoleh kedamaian dan berada di tempat yang lebih baik.Mayat yang sudah dimandikan dan mengenakan pakaian tersebut diletakan di dalam“Bade/keranda” lalu di usung secara beramai-ramai, seluruh anggota keluarga dan masyarakat berbarisdidepan “Bade/keranda”. Selama dalam perjalanan menuju tempat upacara Ngabentersebut, bila terdapat persimpangan atau pertigaan, Bade/keranda akan diputar putar sebanyak tiga kali, ini dipercaya agar si arwah bingung dan tidak kembali lagi ,dalam pelepasan jenazah tidak ada isak tangis, tidak baik untuk jenazah tersebut, seakan tidak rela atas kepergiannya.


Arak arakan yang menghantar kepergian jenazah diiringi bunyi gamelan,kidung suci.Pada sisi depan dan belakang Bade/keranda yang di usung terdapat kain putih yang mempunyai makna sebagai jembatan penghubung bagi sang arwah untuk dapat sampai ketempat asalnya.Setelah sampai dilokasi kuburan atau tempat pembakaran yang sudah disiapkan, mayat di masukan/diletakan diatas/didalam “Replica berbentuk Lembu“ yang sudah disiapkan dengan terlebih dahulu pendeta atau seorang dari kasta Brahmana membacakan mantra dan doa, lalu upacara Ngaben dilaksanakan, kemudian “Lembu” dibakar sampai menjadi abu. Sisa abu dari pembakaran mayat tersebut dimasukan kedalam buah kelapa gading lalu kemudian di larungkan/dihayutkan ke laut atau sungai yang dianggap suci.


Dari pemamaparan diatas dapat disimpulkan bahwa Ngaben adalah upacara pembakaran mayat di Bali yang saat disakralkan dan diagungkan, upacara ini adalah ungkapan rasa hormat yang ditujukan untuk orang yang sudah meninggal (Gambar 1). Upacara ini selalu dilakukan secara besar besar dan meriah, tidak semua umat Hindu di Bali dapat melaksanakannya karena memerlukan biaya yang tidak sedikit. Semua yang berasal dari sang pencipta pada masanya akan kembali lagi dan semua itu harus diyakini dan ihklaskan. Manusia di lahirkan dan kemudian meninggal itu semua erat berhubungan dengan amal perbuatannya selama di dunia.


  • Adat Kenduren (Jawa Tengah)

Adat Kenduren (Jawa Tengah)

Kenduren, sering disebut juga kenduri, upacara adat yang satu ini adalah salah satu acara adat yang diadakan sebagai perwujudan dari rasa syukur kepada tuhan, atas terkabulnya do’a dan harapan. Meski Kenduren sebenarnya sangat banyak macamnya, namun secara garis besar kenduren adalah adat istiadat untuk bersyukur. Misal pada acara Kenduren Weton, seperti namannya “weton” yang berarti keluar, itu digunakan untuk acara bersyukur hari kelahiran atau weton kelahiran, ada juga yang hampir satu set atau satu paket, disebut dengan Kenduri Sa’ban dan kenduri Ba’dan.


Kenduri sa’ban yang juga disebut kenduri munggahan itu digunakan untuk menaikan para leluhur dengan cara membuatkan acara untuk menghormatinnya memberikan sesajen dan segala macam lainnya, dan kenduri ba’dan, yang dalam bahasa jawa berarti lebaran, maka tentu diadakannya setelah hari lebaran, dan yang paling sering diadakan adalah Kenduren Ujar, ini adalah kenduren yang sengaja diadakan dengan tujuan tertentu, sengaja diadakan untuk mensyukuri suatu hal tertentu, semisal untuk mensyukuri lulus sekolah, mensyukuri selesainya pembangunan suatu rumah, mensyukuri tercapainnya impian, dan masih banyak lagi, dalam acara Kenduri Ujar ini ada sebuah menu hidangan wajib dan selalu ada pada setiap pelaksanaan acara ini, yaitu adalah ingkung ayam, inilah menu khas yang ditunggu-tunggu oleh para hadirin yang datang pada acara kenduri tersebut, biasanya para hadirin akan mendapatkan kerdusan yang berisi nasi beserta lauk pauk sayur dan kerupuk, serta tak ketinggalan potongan ayam dari ingkung ayam tersebut.


Dalam masalah teknis, kenduren ini disetiap daerah belum tentu sama, memang hampir sama, tapi pasti ada satu atau dua bagian dalam acara tersebut yang berbeda, tapi secara garis besar tetap sama, yaitu dengan dipimpin oleh seseorang yang dituakan atau yang paling dihormati didaerah itu, untuk memberi pencerahan dan memanjatkan doa dan puji syukur atas bisa terlaksana acara tersebut dan telah terwujudnya impian dari maksud diadakannya acara kenduren Ujar tersebut, sering juga diisi dengan pengajian dan nyanyian-nyanyian lagu-lagu adat dan lagu-lagu Rohani untuk memeriahkan acara tersebut.


Ada juga Kenduri Muludan, kenduri yang diadakan pada bulan Mulud, yang diadakan untuk memperingati suatu tanggal dibulan Mulud, acara ini diadakan dengan membawa masakan dari rumah masing-masing yang kemudian nanti akan dibawa berkumpul pada suatu tempat, seringya mereka akan berkumpul di rumah sesepuh di daerah itu, dan pada acara Kenduri Muludan ini masakan gulai kambinglah yang akan diadakan, biasanya para warga akan menyembelih seekor kambing jantan, entah itu dilakukan bersama-sama maupun hanya satu keluarga. Memang sangat banyak macam acara kendurian itu, namun secara garis besar mereka semua sama, yaitu diadakan untuk bersyukur


Kenduren diadakan hanya dengan mengundang para tetangga sebelah, untuk berdo’a bersama dan bersyukur, Kenduren biasanya dihadiri oleh para lelaki dewasa khususnya yang telah berumah tangga, biasanya bila pemilik acara beragama muslim, maka kenduren akan berisi dengan pengajian, dan dihidangkan pula makanan-makanan khas yang biasanya ada dalam acara Kenduren, meliputi, nasi kuning yang sering dibuat menjadi tumpeng, telur, abon, ayam, sayur dan buah pisang. Tentunya yang sangat khas dalam acara Kenduren yakni adalah hidanganya. Meski hidanganya tak semewah seperti acara-acara adat lainya, namun inilah perwujudan rasa syukur yang dimaksudkan oleh Kenduren itu sendiri.


Acara kenduren kini mulai jarang dilakukan oleh orang jawa sendiri, hanya orang tertentu yang mau untuk mengadakanya, karena seiringya berjalan pergantian zaman, semakin jarang orang yang peduli terhadap adat istiadat yang ada dan dilakukan oleh para nenek moyang dahulu. Bagi orang jawa sendiri acara seperti ini sangat lumrah dilakoni apa seseorang telah mendapatkan apa yang dia inginkan, apalagi keinginan yang sangat besar, dan sangat sulit untuk didapatkan.


Contoh Adat Istiadat

Adat Istiadat Dalam Kehidupan Bermasyarakat

Di dalam masyarakat juga terdapat adat istiadat. Apa itu adat istiadat? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat didefinisikan sebagai aturan (perbuatan) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala. Adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan yang lainnya berkaitan menjadi satu sistem atau kesatuan. Sementara istiadat didefinisikan sebagai adat kebiasaan.


Adat istiadat adalah himpunan kaidah-kaidah sosial yang sejak lama ada dan telah menjadi kebiasaan (tradisi) dalam masyarakat. Sebagai contoh, dalam masyarakat Jawa terdapat adat istiadat untuk melakukan upacara Selapanan ketika seorang bayi telah berumur 40 hari. Upacara ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat Jawa sejak lama. Umumnya, orang meyakini bahwa kaidah-kaidah sosial dalam adat istiadat merupakan kehendak nenek moyang atau makhluk yang mengatur kejadian-kejadian alam yang bersifat gaib dan sulit dimengerti oleh orang awam. Oleh karena itu, aturan-aturan yang ditetapkan adat harus dijalankan. Hal itu akan membuat warga terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti penyakit dan bencana.


Adat istiadat bisa berbentuk tertulis dan tidak tertulis. Contoh adat istiadat yang tertulis antara lain adalah:

  • Piagam-piagam raja (surat pengesahan raja, kepala adat)
  • Peraturan persekutuan hukum adat yang tertulis seperti penataran desa, agama desa, awig-awig (peraturan subak di Pulau Bali).

Contoh adat istiadat yang tidak tertulis, antara lain adalah:

  1. Upacara ngaben dalam kebudayaan Bali
  2. Acara sesajen dalam masyarakat Jawa
  3. Upacara selamatan yang menandai tahapan hidup seseorang dalam masyarakat Sunda.

Umumnya, adat istiadat antara satu daerah berbeda dengan daerah lainnya. Hal ini disebabkan karena kepercayaan, agama, kebiasaan, norma, dan pandangan hidup masyarakat di daerah-daerah tersebut memang berbeda. Di daerah Sumatra Utara, terdapat adat istiadat yang menyatakan bahwa anak laki-laki adalah ahli waris keluarga. Sementara di daerah Sumatra Barat, justru anak perempuan yang berhak menjadi ahli waris. Perbedaan ini tentu disebabkan perbedaan pandangan masyarakatnya terhadap anak laki-laki dan anak perempuan.


Norma diciptakan untuk menjadi pedoman hidup bagi orang. Namun, perkembangan zaman modern
telah menimbulkan menurunnya nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat. Misalnya, dahulu seorang anak tabu untuk menentang atau melanggar perintah orang tua.


Contoh lainnya, dahulu berpacaran apalagi berdua-duaan di muka umum sambil berpegangan tangan
adalah tabu. Akan tetapi, ketika zaman berubah gaya pacaran zaman sekarang sudah melampaui atau bahkan melanggar norma-norma sosial dan agama. Orang yang lagi kasmaran dimabuk asmara bukan sekadar berpeganggan tangan, bahkan berciuman dan melakukan hubungan seks pranikah. Mengapa semua itu terjadi? Akan dibawa ke mana generasi kita sekarang ini? Marilah kita benahi kerusakan ini dengan kembali memfungsikan norma, aturan, kebiasaan, dan adat istiadat ketimuran kita seperti dulu lagi.

Kesimpulan

Adat-istiadat merupakan tradisi suatu masyarakat yang sudah ada sejak jaman nenek moyang (dahulu) dan masih di pegang teguh oleh masyarakat sampai sekarang.Mereka akan mewariskannya ke anak cucu mereka agar dapat dilestarikan.

Mungkin Dibawah Ini yang Kamu Cari