Pengertian Disintegrasi Sosial

Diposting pada

Pengertian Disintegrasi Sosial, Penyebab, Bentuk, Dampak, Proses, Ciri & Contoh : adalah sebuah kondisi atau keadaan yakni hilangnya keharmonisan, ketidak utuhan, atau perpecahan yang sedang terjadi dalam suatu lingkungan masyarakat.

Disintegrasi Sosial


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Pengertian Pranata Sosial


Pengertian Disintegrasi Sosial

Disintegrasi secara harfiah difahami sebagai perpecahan suatu bangsa menjadi bagian-bagian yang saling terpisah (Webster’s New Encyclopedic Dictionary 1994). Pengertian ini mengacu pada kata kerja disintegrate, “to lose unity or intergrity by or as if by breaking into parts”.


Menurut kamus besar bahasa Indonesia, disintegrasi dapat diartikan sebagai suatu keadaan tidak bersatu padu; terpecah belah; hilangnya keutuhan atau persatuan; perpecahan.

Dalam ilmu sosiologi, disintegrasi diartikan sebagai suatu proses terpecahnya suatu kesatuan menjadi bagian-bagian kecil yang terpisah satu sama lain.


Disintegrasi adalah sebuah kondisi atau keadaan yakni hilangnya keharmonisan, ketidak utuhan, atau perpecahan yang sedang terjadi dalam suatu lingkungan masyarakat. Dalam disiplin ilmu sosiologi, disintegrasi dimaknakan sebagai suatu prosesi terpecah belahnya sebuah keadaan dari kesatuan sehingga menjadi tercerai berai. Hal tersebut disebabkan oleh hilangnya persatuan yang mengintegrasikan anggota masyarakat tertentu dengan masyarakat yang lain. Persatuan tersebut berupa ikatan kebersamaan yang terwujud dari nilai-nilai norma serta nilai-nilai dasar pranata sosial. Nilai- nilai tersebut seyogyanya bisa ditaati bersama yang terwujud melalui sebuah wadah organisasi kelembagaan. Organisasi kelembagaan tersebut memiliki peran sebagai sarana integrasi masyarakat untuk menyatukan berbagai elemen masyarakat.


Dampak Disintegrasi Bangsa.

Dampak Disintegrasi Bangsa.

Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) yang memiliki keanekaragaman baik dilihat dari segi ras, agama, bahasa, suku bangsa dan adat istiadat,  serta kondisi faktual ini disatu sisi merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lain yang tetap harus dipelihara. Keanekaragaman tersebut juga mengandung potensi konflik yang jika tidak dikelola dengan baik dapat mengancam keutuhan, persatuan dan kesatuan bangsa, seperti gerakan separatisme yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akibat dari ketidakpuasan dan perbedaan kepentingan yang dapat mengakibatkan terjadinya disintegrasi bangsa.


Potensi disintegrasi bangsa di Indonesia sangatlah besar hal ini dapat dilihat dari banyaknya permasalahan yang kompleks yang terjadi dan apabila tidak dicari solusi pemecahannya akan berdampak pada meningkatnya konflik menjadi upaya memisahkan diri dari NKRI.


Kondisi ini dipengaruhi pula dengan menurunnya rasa nasionalisme yang ada didalam masyarakat dan dapat berkembang menjadi konflik yang berkepanjangan yang akhirnya mengarah kepada disintegrasi bangsa, apabila tidak cepat dilakukan tindakan-tindakan yang bijaksana untuk mencegah dan menanggulanginya sampai pada akar permasalahannya secara tuntas maka akan menjadi problem yang berkepanjangan.


Nasionalisme yang melambangkan jati diri bangsa Indonesisa yang selama ini demikian kukuh, kini mulai memperlihatkan keruntuhan. Asas persamaan digerogoti oleh ketidakadilan pengalokasian kekayaan yang tak berimbang antara pusat dan daerah selama ini.


Menurut Aristoteles, persoalan asas kesejahteraan yang terlalu diumbar, merupakan salah satu sebab ancaman disintegrasi bangsa, di samping instabilitas yang diakibatkan oleh para pelaku politik yang tidak lagi bersikap netral. Meskipun barangkali filosof politik klasik Aristoteles dianggap usang, namun bila dlihat dalam konteks masa kini, orientasinya tetap bisa dijadikan sebagai acuan.


Paling tidak untuk melihat sebab-sebab munculnya disintegrasi bangsa. Maka menyikapi berbagai kasus dan tuntutan yang mengemuka dari berbagai daerah sudah barang tentu diperlukan konsekuensi politik dan legitimasi bukan janji-janji sebagaimana yang dikhawatirkan oleh banyak kalangan.


Legitimasi diperlukan tidak saja untuk menjaga stabilitas tetapi juga menjamin adanyan perubahan nyata dan konkret yang dapat dirahasiakan langsung oleh warga terhadap tuntutan dan keinginan mereka. Namun, bagaimanapun juga kita tetap mesti berupaya agar tuntutan terhadap pemisahan dari kesatuan RI dapat diurungkan.


Dalam hal ini diperlukan kejernihan pikiran, kelapangan dada dan kerendahan hati untuk merenungkan kembali makna kesatuan dan persatuan, sekaligus menyikapi secara arif dan bijak terhadap berbagai kasus dari tuntutan berbagai daerah, Aceh khususnya.


Permasalahan konflik yang terjadi saat ini antar partai, daerah, suku, agama dan lain-lainnya ditenggarai sebagai akibat dari ketidak puasan atas kebijaksanaan pemerintah pusat, dimana segala sumber dan tatanan hukum dinegara ini berpusat. Dari segala bentuk permasalahan baik politik, agama, sosial, ekonomi maupun kemanusiaan, sebenarnya memiliki kesamaan yakni dimulai dari ketidakadilan yang diterima oleh masyarakat Indonesia pada umumnya sehingga menimbulkan ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat, terutama bila kita meninjau kembali kekeliruan pemerintah masa lalu dalam menerapkan dan mempraktekkan kebijaksanaannya.


Konflik yang berkepanjangan dibeberapa daerah saat ini sesungguhnya berawal dari kekeliruan dalam bidang politik, agama, ekonomi, sosial budaya, hukum dan hankam. Kondisi tersebut lalu diramu dan dibumbui kekecewaan dan sakit hati beberapa tokoh daerah, tokoh masyarakat, tokoh partai dan tokoh agama yang merasa disepelekan dan tidak didengar aspirasi politiknya. Akumulasi dari kekecewaan tersebut menimbulkan gerakan radikal dan gerakan separatisme yang sulit dipadamkan.


Dalam kecenderungan seperti itu, maka kewaspadaan dan kesiapsiagaan nasional dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa harus ditempatkan pada posisi yang tepat sesuai dengan kepentingan nasional bangsa Indonesia. Oleh karena itu untuk mencegah ancaman disintegrasi bangsa harus diciptakan keadaan stabilitas keamanan yang mantap dan dinamis dalam rangka mendukung integrasi bangsa serta menegakkan peraturan hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


Indonesia akan disintegrasi atau tidak pasti akan menimbulkan pro dan kontra yang disebabkan dari sudut pandang mana yang digunakan. Reformasi sudah berjalan kurang lebih 10 tahun, apa yan telah didapat, bahkan rakyat kecil sudah mulai menilai bahwa kehidupan di masa Orde Baru lebih baik bila dibandingkan dengan saat ini.


Pandapat rakyat tersebut terjadi karena hanya dilihat dari sudut pandang harga kebutuhan pokok sehari-hari dan itu tidak salah karena hanya satu hal tersebut yang ada dibenak mereka. Kemudian ada kelompok masyarakat yang selalu menuntut kebebasan, dan oleh kelompok yang lain dikatakan sudah keblabasan.


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Konflik Sosial : Pengertian, Macam, + 5 Faktor Penyebabnya


Mencegah Disintegrasi Bangsa

Mencegah Disintegrasi Bangsa

Ancaman disintegrasi bangsa dibeberapa bagian wilayah sudah berkembang sedemikian kuat. Bahkan mendapatkan dukungan kuat sebagian masyarakat, segelintir elite politik lokal maupun elite politik nasional dengan menggunakan beberapa issue global Issue tersebut meliputi issu demokratisasi, HAM, lingkungan hidup dan lemahnya penegakan hukum serta sistem keamanan wilayah perbatasan. Oleh sebab itu, pengaruh lingkungan global dan regional mampu menggeser dan merubah tata nilai dan tata laku sosial budaya masyarakat Indonesia yang pada akhirnya dapat membawa pengaruh besar terhadap berbagai aspek kehidupan termasuk pertahanan keamanan.


Dalam kaitan dengan politik pembangunan hukum maka Pancasila yang dimaksudkan sebagai dasar pencapaian tujuan negara tersebut, melahirkan kaidah-kaidah penuntun, antara lain:

Pertama, hukum Indonesia harus bertujuan dan menjamin integrasi bangsa baik secara teritorial maupun ideologis. Hukum-hukum di Indonesia tidak boleh memuat isi yang berpotensi menyebabkan terjadinya disintegrasi wilayah maupun idiologi.


Kedua, hukum harus bersamaan membangun demokrasi dan nomokrasi. Hukum di Indonesia tidak dapat dibuat berdasar menang-menangan jumlah pendukung semata tetapi juga harus mengalir dari filosofi Pancasila dan prosedur yang benar.


Ketiga, membangun keadilan sosial. Tidak dibenarkan munculnya hukum-hukum yang mendorong atau membiarkan terjadinya jurang sosial-ekonomi karena eksploitasi oleh yang kuat terhadap yang lemah tanpa perlindungan negara. Hukum harus mampu menjaga agar yang lemah tidak dibiarkan menghadapi sendiri pihak yang kuat yang sudah pasti akan selalu dimenangkan oleh yang kuat. Keempat, membangun toleransi beragama dan berkeadaban.


Hukum tidak boleh mengistimewakan atau mendiskrimasi kelompok tertentu berdasar besar atau kecilnya pemelukan agama.Indonesia bukan negara agama (yang mendasarkan pada satu agama tertentu) dan bukan negara sekuler (yang tak perduli atau hampa spirit keagamaan). Hukum negara tidak dapat mewajibkan berlakunya hukum agama, tetapi negara harus memfasilitasi, melindungi, dan menjamin keamanannya jika warganya akan melaksanakan ajaran agama karena keyakinan dan kesadarannya sendiri


Kemudian timbul kembali pertanyaan apa itu reformasi? Yang jelas bangsa Indonesia semua menginginkan kehidupan yang lebih baik melalui reformasi setelah hidup di era Orde Baru. Dengan demikian bangsa ini sudah mendekati disintegrasi kalau tidak memiliki pegangan. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh bangsa dan negara ini dalam upaya untuk bangkit kembali, yaitu :


  1. Pancasila dan UUD1945 harus digemakan lagi sampai ke rakyat yang paling bawah, dalam rangka pemahaman dan penghayatan.
  2. GBHN yang pernah ada yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam membangun bangsa dan negara perlu dihidupkan kembali.
  3. Para tokoh dan elit bangsa harus dapat memberi contoh dan menjadi cintoh rakyat, jangan selalu berkelahi dan saling caci maki hanya untuk kepentingan kelompok atau partai politiknya.
  4. Budaya bangsa yang adi luhung hendaknya diangkat untuk diingat dan dilaksanakan oleh bangsa ini yaitu budaya saling hormat menghormati.
  5. TNI dan POLRI harus segera dibangun dengan tahapan yang jelas yang ditentukan oleh DPR. Jangan ada lagi curiga atau mencurigai antar unsur bangsa ini karena keselamatan bangsa dan negara sudah terancam.

Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : √ Pengertian Disintegrasi Bangsa Serta Bahaya, Gejala, Penanggulangan Dan Contohnya


Penyebab Disintegrasi Sosial

Penyebab Disintegrasi Sosial

  • Tidak ada persepsi atau persamaan pandangan di antara anggota masyarakat mengenai suatu norma yang semula dijadikan pegangan oleh anggota masyarakat.
  • Norma-norma masyarakat tidak berfungsi dengan baik sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan masyarakat.
  • Timbulnya suatu pertentangan norma-norma dalam masyarakat, sehingga menimbulkan kebingungan bagi anggota masyarakat itu sendiri.
  • Tidak ada nya tindakan sanksi yang tepat bagi sih pelanggar norma.
  • Tindakan dalam masyarakat sudah tidak sesuai lagi dengan norma masyarakat.
  • Interaksi sosial yang terjadi ditandai dengan sutau proses yang bersifat disosiatif.

Pertama, krisis ekonomi yang akut dan berlangsung lama. Krisis di sektor ini selalu merupakan faktor amat signifikan dalam mengawali lahirnya krisis yang lain (politik-pemerintahan, hukum, dan sosial). Secara garis besar, krisis ekonomi ditandai merosotnya daya beli masyarakat akibat inflasi dan terpuruknya nilai tukar, turunnya kemampuan produksi akibat naiknya biaya modal, dan terhambatnya kegiatan perdagangan dan jasa akibat rendahnya daya saing. Muara dari semua ini adalah tutupnya berbagai sektor usaha dan membesarnya jumlah penganggur dalam masyarakat.


Dalam keadaan seperti ini, harapan satu-satunya adalah investasi melalui proyek-proyek pemerintah, misalnya, untuk pembangunan infrastruktur transportasi secara besar-besaran sebagai upaya menampung tenaga kerja dan memutar roda ekonomi. Namun, ini memerlukan syarat adanya kepemimpinan nasional yang kreatif dan terpercaya karena integritasnya, tersedianya cadangan dana pemerintah yang cukup, serta bantuan teknis melalui komitmen internasional. Tanpa terobosan investasi baru, krisis ekonomi akan berlanjut. Biasanya, krisis ekonomi yang berkepanjangan dan tak teratasi akan menciptakan ketegangan-ketegangan baru dalam hubungan antar-elite. Mereka akan berlomba untuk saling menyalahkan dan mencari kambing hitam. Pada saat yang sama, krisis ekonomi akan memperlemah kemampuan negara untuk menutupi berbagai ongkos pengelolaan kekuasaan dan pemeliharaan berbagai fasilitas umum.


Akibatnya, akan terbentuk rasa tidak puas yang luas, baik dari mereka yang menjadi bagian dari kekuasaan itu sendiri (pegawai negeri dan tentara/ polisi) maupun warga masyarakat. Bila situasi ini tidak berhasil diatasi oleh mekanisme sistem politik yang berlaku, maka krisis politik akan sulit  dihindari.


Kedua, krisis politik berupa perpecahan elite di tingkat nasional, sehingga menyulitkan lahirnya kebijakan yang utuh dalam mengatasi krisis ekonomi. Krisis politik juga bisa dilihat dari absennya kepemimpinan politik yang mampu membangun solidaritas sosial untuk secara solid menghadapi krisis ekonomi. Dalam situasi di mana perpecahan elite pusat makin meluas dan kepemimpinan nasional makin tidak efektif, maka kemampuan pemerintah dalam memberi pelayanan publik akan makin merosot. Akibatnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah akan semakin menipis.


Keadaan ini biasa menjadi pemicu lahirnya gerakan-gerakan massal anti-pemerintah yang terorganisasi. Bila gerakan-gerakan itu menguat dan pada saat sama lahir gerakan massa tandingan yang bersifat kontra terhadap satu sama lain-apalagi jika terjadi bentrokan fisik yang intensif di antara mereka, atau antara massa dengan aparat keamanan negara-maka perpecahan di antara top elite di pusat kekuasaan makin tak terhindarkan. Jurang komunikasi akan makin lebar. Dalam situasi di mana kebencian dan saling curiga antarkelompok sudah amat mengental, tidak ada satu pihak pun yang memiliki legitimasi untuk memprakarsai upaya rekonsiliasi.


Akibatnya, jalan menuju rontoknya bangunan kekuasaan di tingkat pusat akan semakin lempang. Perkembangan ini secara otomatik akan mendorong penguatan potensi gerakan-gerakan separatisme. Gerakan ini bisa menguat dari wilayah yang sudah sejak lama menyimpan bibit-bibit mikro nasionalisme, bisa juga dari wilayah yang sama sekali tidak memiliki bibit itu, namun terdorong oleh kalkulasi logis mereka ketika berhadapan dengan situasi yang bersifat fait acompli. Yang terakhir ini merupakan kesadaran yang lahir secara kondisional dari para pemimpin di wilayah-wilayah yang relatif jauh dari pusat kekuasaan berdasarkan asumsi: daripada mengikuti pemerintahan yang sudah rontok di pusat, lebih baik kami memisahkan diri.


Ketiga, krisis sosial dimulai dari terjadinya disharmoni dan bermuara pada meletusnya konflik kekerasan di antara kelompok-kelompok masyarakat (suku, agama, ras). Jadi, di kala krisis ekonomi sudah semakin parah, yang akibatnya antara lain terlihat melalui rontoknya berbagai sektor usaha, naiknya jumlah penganggur, dan meroketnya harga berbagai produk, maka kriminalitas pun akan meningkat dan berbagai ketegangan sosial menjadi sulit dihindari. Dalam situasi seperti ini, hukum akan terancam supremasinya dan kohensi sosial terancam robek. Suasana kebersamaan akan pupus dan rasa saling percaya akan terus menipis.


Sebagai gantinya, eksklusivisme, entahberdasar agama, ras, suku, atau kelas yang dibumbui sikap saling curiga yang terus menyebar dalam hubungan antarkelompok. Bila berbagai ketegangan ini tidak segera diatasi, maka eskalasi konflik menjadi tak terhindarkan. Disharmoni sosial pun dengan mudah akan menyebar. Modal sosial berupa suasana saling percaya, yang merupakan landasan bagi eksistensi sebuah masyarakat bangsa, perlahan-lahan akan hancur.


Keempat, intervensi internasional yang bertujuan memecah-belah, seraya mengambil keuntungan dari perpecahan itu melalui dominasi pengaruhnya terhadap kebijakan politik dan ekonomi negara-negara baru pascadisintegrasi.
Intervensi itu bergerak dari yang paling lunak, berupa pemberian advis yang membingungkan kepada pemerintah nasional yang pada dasarnya sudah kehilangan arah; ke bentuk yang agak kenyal, berupa provokasi terhadap kelompok-kelompok yang berkonflik;


hingga yang paling keras, berupa suplai kebutuhan material untuk memperkuat kelompok-kelompok yang berkonflik itu. Proses intervensi terakhir ini amat mungkin terjadi saat pemerintah nasional sudah benar-benar tak berdaya mengontrol lalu lintas informasi, komunikasi, mobilitas sosial, serta transportasi darat, laut, dan udara. Bila ini terjadi, maka jalan menuju disintegrasi semakin jelas, hanya menunggu waktu sebelum menjadi kenyataan.


Kelima, demoralisasi tentara dan polisi dalam bentuk pupusnya keyakinanmereka atas makna pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya sebagai bhayangkari negara. Demoralisasi itu, pada kadar yang rendah dipengaruhioleh merosotnya nilai gaji yang mereka terima akibat krisis ekonomi.


Kemerosotan itu umumnya terjadi akibat inflasi. Tetapi dalam kasus tertentuhal itu diakibatkan oleh kebijakan pemerintah untuk menurunkan gaji merekaatau membayar kurang dari 100 persen dan sisanya menjadi utang pemerintah.Pada tingkat tinggi, demoralisasi itu berupa hilangnya kepercayaan mereka terhadap nilai pengabdian setelah mengalami tekanan-tekanan psikologis yang berat dalam waktu lama akibat krisis politik yang akut. Dalam situasiseperti ini, tentara dan polisi yang seyogianya mencegah konflik sosialmalah bisa tergiring untuk mengambil bagian dalam konflik itu dengan berbagai alasan.


Secara teoretik, ketika negara tidak lagi memberi harga  yang pantas terhadap pengorbanan tentara dan polisi dalam menjaga integrasi bangsa, maka tempat paling aman bagi segmen-segmen tertentu dari mereka adalah kelompok-kelompok sosial di mana mereka bisa mengidentikkan dirinya. Karena itu, demoralisasi tentara dan polisi amat rawan terhadap perluasan dan intensitas konflik sosial yang sedang terjadi. Keterlibatan yang luas dari tentara dan polisi dalam konflik sosial akan mengkonversi konflik itu sendiri menjadi perang saudara yang justru merupakan episode terakhir dari proses disintegrasi bangsa dan keruntuhan sebuah negara.


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : √ Makalah Integrasi Sosial : Pengertian, Bentuk, Tahapan, Contoh Dan Faktor


Bentuk Disintegrasi Sosial

1. Pergolakan Daerah

Pergolakan

Dalam rekam jejak perjalanan bangsa indonesia, beberapa kejadian mengenai konflik / pergolakan daerah sudah banyak terjadi. Hal tersebut terjadi dikarenakan adanya suatu kesenjangan. Kesenjangan tersebut bisa berupa kesenjangan dalam hal kebijakan politik, kesenjangan ketidakadilan, kesenjangan masalah etnis, kesenjangan konflik agama, dan lain sebagainya.


Misalnya seperti yang terjadi di masa lalu tentang suatu pemberontakan PRRI / Permesta, DI / TII, RMS, GAM. Beberapa kejadian yang terjadi dewasa ini mengenai konflik agama seperti yang terjadi pada daerah Poso, Kupang, Sampit, dan Papua. Beberapa kejadian / peristiwa yang sudah terjadi di Indonesia tersebut ialah sebuah konsekuensi dan dampak dari kemajemukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).


2. Demonstrasi

Demonstrasi

Demonstrasi menjadi suatu fenomena yang seringkali kita temukan pada saat ini. Dinamika yang terjadi dalam bidang ketatanegaraan yang terjadi di era reformasi turut mempengaruhi terhadap suatu perubahan perilaku masyarakat. Sebelum era reformasi, rakyat mempunyai keterbatasan dalam menyuarakan aspirasinya secara langsung.


Kegiatan aksi atau demonstrasi baik secara individu maupun kolektif akan mendapatkan suatu konsekuensi yang keras dari pihak pemerintah Orde Baru. Berbeda dengan era reformasi yang terjadi pada saat sekarang ini. Hampir di setiap sebuah kebijakan pemerintah yang menuai kontroversi, kita menemukan banyak aksi demonstrasi yang terjadi seiring dengan pencanangan kebijakan pemerintah yang dianggap kurang menguntungkan bagi golongan tertentu. Golongan tersebut dapat berupa sekelompok ormas, pergerakan mahasiswa, ikatan buruh, persatuan guru, dan lain sebagainya.


3. Kriminalitas

Kriminalitas

Perkembangan teknologi juga membawa dampak pada disintegrasi sosial. Dewasa ini tindak kriminalitas tidak hanya yang sifatnya kasat mata saja, misalnya perampokan, pembunuhan, pencurian, penjambretan, pembegalan, dan lain sebagainya. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga mengakibatkan berkembangnya variasi modus dalam melakukan suatu tindak kejahatan.


Misalnya penipuan bermodus undian berhadiah melalui telfon dan berbagai kejahatan yang difasilitasi oleh jaringan internet. Dewasa ini kepolisian sudah membentuk sebuah divisi khusus untuk menangani kasus-kasus yang bermoduskan internet. Hal tersebut dikarenakan begitu maraknya kasus penipuan dan lain-lain yang memkaai fasilitas internet dan telepon.


4. Kenakalan Remaja

Kenakalan Remaja

Kenakalan remaja adalah suatu kegiatan antisosial yang diperbuat oleh seseorang yang beranjak dewasa (remaja),bila hal tersebut dilakukan oleh orang dewasa bisa dikategorikan sebagai tindak kejahatan (crime).


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Sikap Anti Sosial – Pengertian ,Ciri ,Sebab ,Cara ,Bentuk ,Media ,Pengaruh


Proses Penanggulangan Disintegrasi

Adapun kebijakan yang diperlukan guna memperkukuh upaya integrasi nasional adalah sebagai berikut:

  • Menghidupkan dan membangun terus komitmen, kehendak serta kesadaran untuk bersatu.
  • Menghasilkan kondisi yang mendukung komitmen, kehendak dan kesadaran untuk bersatu serta membiasakan diri utuk membangun konsensus.
  • Membangun kelembagaan yang bernorma dan bernilai untuk menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa.
  • Merumuskan kebijakan serta regulasi yang konkret, tepat dan tegas didalam segala aspek kehidupan serta pembangunan bangsa, yang mencerminkan keadilan untik seluruh pihak, dan semua wilayah.
  • Usaha bersama dan pembinaan integrasi nasional membutuhkan kepeminpinan yang arif dan efektif.

Contoh Disintegrasi Sosial

Pembangunan Jalan Tol

Misalnya, pemerintah merencanakan pembangunan jalan tol dari sebuah kota ke kota lainnya. Jalan tol tersebut akan melewati tanah, kebun, sawah, bahkan pemukiman warga. Itu berarti akan ada penggusuran. Setiap unsur dalam masalah ini (masyarakat dan pemerintah) saling memaksakan kehendak. Dengan kekuasaannya, pemerintah mengerahkan polisi dan tentara untuk mengamankan jalannya penggusuran.


Sementara warga bertahan mati-matian dan tidak mau digusur, karena akan menyengsarakan hidup mereka sendiri. Tentu keadaan semacam ini akan menimbulkan disintegrasi sosial. Rakyat bahkan sering berhadapan dengan aparat keamanan yang menggunakan kekerasan demi menyukseskan rencana pemerintah. Pembukaan jalan tol tentu merupakan sebuah rencana yang baik, misalnya membuka isolasi daerah dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.


Rakyat yang mempertahankan harta kekayaannya supaya tidak digusur pun merupakan sikap yang benar. Karena itu, tentu dibutuhkan langkah dialog yang persuasif dan saling menguntungkan agar program pemerintah bisa saling bersintesa dengan kepentingan masyarakat.


Ini hanya salah satu contoh dari berbagai kemungkinan disintegrasi sosial di negara Indonesia. Contoh-contoh lainnya dapat kamu kemukakan sendiri. Pertanyaan sekarang adalah mengapa terjadinya disintegrasi sosial berhadapan dengan perubahan sosial dalam masyarakat?


Paling kurang ada lima alasan yang mampu menjelaskan pertanyaan ini.

  1. Tidak adanya persamaan pandangan mengenai tujuan semula yang ingin dicapai. Misalnya, masyarakat Indonesia mencita-citakan terbentuknya masyarakat yang adil dan makmur dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia.
    Ini merupakan kesepakatan awal dan dinyatakan dalam UUD 1945. Jika ada daerah atau provinsi di Indonesia yang mendirikan negara sendiri, tindakan semacam ini akan menimbulkan disintegrasi nasional.
  2. Norma-norma masyarakat mulai tidak berfungsi dengan baik sebagai alat pengendalian sosial demi mencapai tujuan bersama. Misalnya, hukum ditegakkan secara tidak adil menguntungkan segelintir orang saja.
    Orang yang melakukan tindakan kejahatan dibiarkan bebas karena memiliki uang untuk menyogok aparat penegak hukum. Sementara masyarakat kecil langsung dikenai sanksi. Kalau ini terjadi, dapat dipastikan bahwa disintegrasi sosial akan terjadi.
  3. Terjadi pertentangan antarnorma-norma yang ada dalam masyarakat. Sejauh ini memang
    belum terjadi di negara kita. Tetapi pada level yang lebih kecil, misalnya pada masyarakat di
    tingkat Rukun Tetangga atau Rukun Warga, hal semacam ini sangat mungkin terjadi.
    Misalnya, ada sekelompok orang yang menganggap minum minuman keras tidak salah. Sementara masyarakat lainnya menganggap hal itu sebagai salah karena bertentangan dengan norma agama. Akan terjadi kekacauan sosial jika kedua kelompok masyarakat ini saling memaksakan kehendak.

    Di sini dibutuhkan hukum yang tegas dan berani mengatakan bahwa minuman keras salah secara hukum atau tidak. Jika sudah ada kejelasan secara hukum, semua warga negara harus mentaatinya supaya keadaan harmonis dapat terbentuk dalam masyarakat tersebut.


  4. Sanksi yang diberikan kepad pelanggar norma tidak dilaksanakan secara konsekuen. Aspek ini memiliki hubungan dengan yang sudah disebutkan pada poin 2 di atas. Pada level penyelenggaraan negara, penegakan hukum yang tidak adil akan menimbulkan disintegrasi sosial.

    Sementara pada level komunitas, sanksi yang tidak diberikan secara efektif kepada pelanggar nilai dan norma juga akan menyebabkan terjadinya disintegrasi sosial. Misalnya, ada warga masyarakat yang mengganggu ketertiban umum dengan menyetel musik keras-keras pada malam hari.


    Tindakan semacam ini tidak akan dihukum berdasarkan ketentuan hukum positif negara RI. Masyarakat memiliki mekanisme tersendiri dalam “menghukum” tindakan semacam ini, misalnya Ketua RT atau pemuka masyarakat menegurnya.


    Warga masyarakat yang lain juga harus patuh pada ketentuan bersama, bahwa seseorang tidak boleh menyetel musik keras-keras pada malam hari. Keadaan akan jadi kacau jika ada masyarakat yang ditegur ketika menyetel musik dengan keras, tetapi warga masyarakat lainnya tidak ditegur.


  5. Tindakan-tindakan warga masyarakat tidak lagi sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Keadaan yang paling ekstrem terjadi ketika tidak ada seorang pun warga masyarakat yang taat pada nilai dan norma masyarakat.

Keadaan ini tentu sangat meresahkan. Kekacauan pasti tidak bisa dihindari. Tentu kita berharap agar keadaan kacau semacam ini tidak akan terjadi. Karena itu, kita semua sebagai warga negara harus mematuhi berbagai nilai dan norma yang ada dalam masyarakat.

Nilai dan norma tersebut ada untuk menjamin kelangsungan hidup kita semua sebagai warga negara.


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : “Gerakan Reformasi” Faktor Pendorong Terjadinya & ( Politik – Ekonomi – Sosial – Hukum )


GAM di Aceh

GAM lahir karena kegagalan gerakan Darul Islam pada masa sebelumnya. Darul Islam muncul sebagai reaksi atas ketidak berpihakan Jakarta terhadap gagasan formalisasi Islam di Indonesia. Darul Islam adalah sebuah gerakan perlawanan dengan ideologi Islam yang terbuka. Bagi Darul islam, dasar dari perlawanan adalah Islam, sehingga tidak ada sentimen terhadap bangsa-bangsa lain, bahkan ideologi Islam adalah sebagai perekat dari perbedaan yang ada. Gagasan ini juga berkembang dalam gerakan Darul Islam di Aceh.


 Akan tetapi, paska berhentinya perlawanan Darul Islam Aceh, keinginan Aceh untuk melakukan Islamisasi di Indonesia menjadi lebih sempit hanya kepada Aceh. Perubahan ini terjadi disebabkan karena kegagalan Darul Islam diseluruh Indonesia, sehingga memaksa orang Aceh lebih realistis untuk mewujudkan cita-cita. Yang menjadi menarik adalah, GAM yang melanjutkan tradisi perlawanan Aceh, ternyata tidak melanjutkan ideologi Islam yang terlebih dahulu digunakan oleh Darul Islam. Sebagaimana yang disebutkan bahwa GAM lebih memilih nasionalisme Aceh sebagai isu populisnya, yang mempengaruhi muculnya GAM berikutnya adalah  faktor ekonomi, yang berwujud ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi antara pusat dengan daerah.


Pemerintahan sentralistik Orde Baru menimbulkan kekecewaan berat terutama di kalangan elite Aceh. Pada era Soeharto, Aceh menerima 1% dari anggaran pendapatan nasional, padahal Aceh memiliki kontribusi 14% dari GDP Nasional. Terlalu banyak pemotongan yang dilakukan pusat yang menggarap hasil produksi dari Aceh. Sebagian besar hasil kekayaan Aceh dilahap oleh penentu kebijakan di Jakarta. Meningkatnya tingkat produksi minyak bumi yang dihasilkan Aceh pada 1970-an dan 1980-an dengan nilai 1,3 miliar US Dolar tidak memperbaiki kehidupan sosial ekonomi masyarakat Aceh.


 Kemunculan GAM pada masa awalnya langsung mendapat respon oleh pemerintah Orde Baru dengan melakukan operasi militer yang represif, sehingga membuat GAM kurang bisa berkembang. Walau demikian, GAM juga melakukan pelebaran jaringan yang membuat mereka kuat, baik pada tingkat internasional maupun menyatu dengan masyarakat dan GAM bisa terus bertahan.Pada masa Orde Baru GAM memankan dua wajah; satu wajah perlawanan (dengan pola-pola kekerasan yang dilakukan), dan strategi ekonomi-politik yang dimainkan (dengan mengambil uang pada proyek-proyek pembangunan.


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : “Gerakan Reformasi” Faktor Pendorong Terjadinya & ( Politik – Ekonomi – Sosial – Hukum )


Konflik Papua

Sudah lama Tanah Papua menjadi tanah konflik. Selain konflik horizontal antar warga sipil, konflik vertikal yang terjadi antara pemerintah Indonesia dan orang asli Papua telahmengorbankan banyak orang. Konflik ini hingga kini belum diatasi secara tuntas. Masih adanya konflik ini secara jelas diperlihatkan oleh adanya tuntutan Merdeka dan Referendum, serta terjadinya pengibaran bendera bintang kejora, dan berlangsungnya aksi pengembalian Undang-undang No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.


Konflik yang belum diselesaikan ini sangat mempengaruhi kadar relasi diantara orang asli Papua, orang Papua dengan penduduk lainnya, antara orang asli Papua dan Pemerintah RI. Di satu pihak, orang Papua dicurigai sebagai anggota atau pendukung gerakan separatis. Adanya stigma separatis membenarkan hal ini. Di pihak lain, orang Papua juga tidak mempercayai Pemerintah. Dalam suasana kecurigaan dan ketidakpercayaan satu sama lain ini, dialogkonstruktif tidak pernah akan terjadi antara Pemerintah dan orang Papua. Apabila berbagai masalah yang melatar belakangi konflik ini tidak dicarikan solusinya, maka Papua tetap menjadi tanah konflik.


Korban akan terus berjatuhan. Hal ini pada gilirannya akan menghambat proses pembangunan yang dilaksanakan di Tanah Papua. Dari tengah situasi konflik inilah, para pemimpinan agama Kristen, Katolik, Islam, Hindu dan Budha Provinsi Papua melancarkan kampanye perdamaian. Kampanye ini dilakukan dengan dengan moto: Papua Tanah Damai (PTD).


 Dalam perkembangan selanjutnya, para pimpinan agama menjadikan Papua Tanah Damai sebagai suatu visi bersama dari masa depan tanah Papua yang perlu diperjuangkan secara bersama oleh setiap orang yang hidup di tanah Papua. Sekalipun diakui oleh banyak orang bahwa damai merupakan hasrat terdalam dari setiap orang, termasuk semua orang yang hidup di tanah Papua, kenyataan memperlihatkan bahwa banyak orang belum merasa penting untuk melibatkan diri dalam upaya menciptakan perdamaian di tanah Papua.


Orang asli Papua, baik yang tinggal di kota maupun di kampung-kampung, belum terlibat secara penuh dalam kampanye perdamaian ini. Pada hal mereka sebagai pemilik negeri ini sudah semestinya memimpin-atau minimal terlibat dalam-berbagaiupaya untuk mewujudkan perdamaian di tanah leluhurnya. Kini orang Papua bangkit dan bertekad untuk berpartisipasi secara aktif dalam upayamenciptakan perdamaian di Papua. Mereka ingin memperbaharui tanah leluhurnya menjadi tanah damai, dimana setiap orang yang hidup diatasnya menikmat suatu kehidupan yang penuh kedamaian


Contoh Lainnya

  1. Perang antara israel dan palestina.
  2. Terjadinya pertengkaran di sosial media.
  3. Perang antar suku di papua.
  4. Konflik antara umat islam dan kristen.
  5. Permusuhan karena berbedanya pandangan atau pendapat.
Mungkin Dibawah Ini yang Kamu Cari