Pengertian Metamorfosis
Metamorfosis adalah sebuah proses perubahan secara bentuk maupun karakter dari sebuah sebuah benda yang hidup maupun mati karena mengalami proses sehingga mewujudkan suatu wujud baruDengan karakter atau sifat yang baru
Metamorfosis ialah suatu diamana proses perkembangan biologi hewan yang melibatkan suatu perubahan penampilan fisik atau juga struktur setelah kelahiran atau juga penetasan. Perubahan fisik tersebut terjadi akibat pertumbuhan sel dan juga differensiasi sel yang secara radikal berbeda.
Beberapa serangga, amfibi, mollusca, crustacea, echinodermata, dan juga tunicata mengalami suatu proses metamorfosis, yang biasanya (tapi tidak selalu) disertai dengan perubahan habitat atau juga kelakuan.
Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Metamorfosis Sempurna dan Tidak Sempurna
Jenis Metamorfosis
Jenis-jenis metamorfosis umunya terbagi menjadi 2 diantaranya
-
Metamorfosis Sempurna (Holometabola)
Metamorphosis sempurna adalah Holometabolisme. Pada holometabolisme, larva ini sangat berbeda dengan dewasanya. Serangga yang hanya melakukan holometabolisme melalui fase larva, kemudian memasuki fase tidak aktif yang disebut pupa, atau chrysalis, dan akhirnya menjadi dewasa. Jadi Metamorfosis sempurna merupakan suatu metamorphosis yang melewati tahapan-tahapan mulai dari telur-larva-pupa-imago (dewasa). Contoh metamorphosis sempurna yaitu terjadi pada katak,nyamuk dan kupu-kupu.
Tahapan pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi pada metaorfosis sempurna diantaranya adalah
- Fase Telur. Hewan betina akan meletakkan telur- telurnya di tempat yang sesuai dengan kebutuhan pada perkembangan calon anaknya. Misalnya seperti pada kupu- kupu yang meletakkan telur- telurnya pada permukaan daun hal ini karena larva atau hewan muda ialah pemakan tumbuhan. Pada fase telur ini, embrio hasil fertilisasi sel telur dengan sel sperma akan terus menerus mengalami pembelahan, membentuk organ-organ, sampai pada waktu tertentu tergantung pada jenis spesiesnya. Telur- telur nyamuk ini memiliki struktur yang ringan dan rapat seperti sebuah rakit. Induk- induk nyamuk juga meletakkan telur- telurnya di permukaan air yang tenang. Hal ini karena larva nyamuk akan harus menghabiskan kehidupannya di dalam air. Setelah waktu yang ditentukan pada telur-telur ini akan menetas menjadi larva atau hewan muda.
-
Fase Larva. Pada fase ini larva atau hewan muda juga sangat aktif makan. Induk betina akan meletakkan telur-telur ditempat yang sesuai dengan makanannya. Ulat, larva dari kupu- kupu mampu menghabiskan dedaunan dimana ia berada atau hinggap. Larva hewan yang sudah memiliki eksoskleton (rangka luar), seperti pada serangga akan mengalami pergantian kulit atau eksdisis atau molting. Hal ini juga karena ukuran tubuhnya makin membesar sehingga dibutuhkan suatu eksoskleton yang baru untuk ukuran tubuhnya yang membesar. Pergantian kulit ini dapat terjadi sampai beberapa kali dan pada waktu yang ditentukan larva akan berhenti makan dan memasuki fase berikutnya, yakni menjadi pupa. Perubahan ini dapat dikontrol oleh hormonal di dalam tubuh larva.
-
Fase Pupa. Pupa atau kepompom adalah fase transisi. Tubuh kepompom dilindungi dengan rangka luar yang keras disebut juga dengan kokon. Pada fase ini, sebagian besar serangga berada di dalam kondisi inaktif (makan). Di balik kokon, tubuh pupa sangat lebih aktif melakukan metabolisme pembentukan organ—organ dan bentuk hewan dewasanya. Kebutuhan akan energi yang diperoleh dari simpanan cadangan makanan di dalam tubuh larva. (pada fase larva sangat lebih aktif makan, dan sebagian makanannya akan disimpan untuk fase pupa). Fase pupa memakan waktu yang sangat bervariasi.
-
Fase Imago (Dewasa). Sampai waktu yang telah ditentukan, pupa akan keluar dari cangkangnya menjadi hewan dewasa (imago) dengan bentuk yang sangatlah berbeda. Pada fase ini, imago memiliki cara makan dan habitat yang akan berbeda dengan larvanya. Fase imago ini merupakan fase reproduksi dimana, hewan dewasa yang akan saling mengadakan perkawinan (jantan dan betina), yang akan membentuk ratusan telur- telur, dan akan mengulangi sikusnya.
-
Metamorfosis Tidak Sempurna (Hemimetobola)
Metamorphosis tidak sempurna adalah Hemimetabolisme. Fase spesies yang belum dewasa pada metamorphosis biasanya disebut dengan larva. Tapi pada metamorphosis kompleks pada kebanyakan spesies serangga, hanya saja fase pertama yang disebut larva dan terkadang memiliki nama yang berbeda. Pada hemimetabolisme, perkembangan larva akan berlangsung pada fase pertumbuhan berulang dan ekdisis (pergantian kulit), fase ini disebut instar. Jadi Metamorfosis tidak sempurna ini merupakan metamorphosis yang melewati 2 tahapan yakni dari telur menjadi nimfa kemudian menjadi hewan dewasa. Biasanya juga metamorphosis ini terjadi pada serangga seperti capung, belalang, jangkrik.
Tahapan pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi pada metaorfosis tidak sempurna diantaranya adalah
- Fase Telur. Seperti pada umumnya seekor serangga, telur- telur diletakkan ditempat yang sesuai dan aman untuk perkembangan embrio. Embrio- embrio yang dilindungi dengan struktur telur yang bercangkang zar kiitin. Sampai pada waktu yang telah ditentukan, telur akan menetas menjadi nimfa.
-
Fase Nimfa. Berbeda dengan kelompok holometabola, hemimetabola langsung memiliki beberapa bentuk hewan yang sesungguhnya, nimfa, yang ukurannya lebih kecil. Nimfa akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan untuk kematangan organ reproduksi nya. Nimfa juga akan mengalami eksdisis untuk mengganti kerangka luar tubuhnya akibat pertumbuhan yang akan membuat ukuran tubuhnya makin membesar.
-
Fase Imago. Imago juga memiliki kematangan reproduksi dan siap untuk melakukan perkawinan. Siklus ini akan kembali terulang.
Metamorfosis pada serangga dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu:
- Ametabola
Ametabola ialah suatu golongan serangga yang tidak mengalami metamorfosis, misalnya kutu buku. Setelah telur menetas, serangga akan menjadi hewan kecil kemudian berkembang menjadi dewasa yang tidak mengalami perubahan bentuk hanya terjadi perubahan ukuran. -
Hemimetabola
Hemimetabola ialah suatu kelompok serangga yang mengalami metamorfosis tidak sempurna, misalnya belalang, laron, dan capung. Serangga ini juga hanya mengalami tiga tahap perkembangan yaitu telur, larva (nimpa), dan imago, jadi tidak melalui pupa (kepompong). -
Holometabola
Holometabola ialah suatu kelompok serangga yang mengalami metamorfosis sempurna, misalnya kupu-kupu, lalat, dan nyamuk. Serangga ini akan mengalami empat tahap perkembangan yaitu telur, larva, pupa (kepompong), dan imago.
Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Proses Metamorfosis Serangga – Pengertian, Ciri, Jenis, Sempurna, Tidak Sempurna, Hemimetabola
Metamorfosis Pada Serangga
Serangga (disebut pula Insecta) adalah kelompok utama dari hewan beruas (Arthropoda) yang berkaki enam. Karena itulah mereka disebut pula Hexapoda. Serangga ditemukan di hampir semua lingkungan kecuali di lautan. Kajian mengenai peri kehidupan serangga disebut entomologi. dan ahli tentang ilmu serangga disebut entomologis
Metamorfosis tersebut biasanya terjadi pada suatu fase berbeda-beda, ialah dimulai dari suatu larva atau juga nimfa, kadang-kadang melewati suatu fase pupa, dan juga berakhir ialah sebagai imago dewasa. Terdapat dua macam metamorfosis utama pada serangga, hemimetabola dan juga holometabola.
Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Ragam Ordo Serangga – Pengertian, Klasifikasi, Sejarah, Kemampuan, Biologi, Metamorfosis, Morfologi, Peran, Makanan
Macam Metamorfosis Serangga
Ametabola (tanpa metamorfosis / ametamorfosis)
Perubahan struktur tubuh pada serangga ini hampir tidak kelihatan, sehingga seringkali disebut juga tidak mengalami metamorfosis. Segera setelah menetas lahir serangga muda yang mirip dengan induknya. Kemudian setelah tumbuh membesar dan mengalami pergantian kulit baru menjadi serangga dewasa tanpa terjadi perubahan bentuk, hanya mengalami pertambahan besar ukuran saja. Contohnya serangga ametabola adalah Collembola, Thysanura dan Diplura.
Hemimetabola (Metamorfosis tidak sempurna)
Pada hemimetabolisme, perkembangan nimfa berlangsung pada fase pertumbuhan berulang dan ekdisis (pergantian kulit), fase ini disebut instar. Hemimetabola adalah tahap perkembangan Insecta yang tidak sempurna. Pada metamorfosis tidak sempurna, hewan juga akan mengalami perubahan struktur pada tubuhnya akan tetapi tidak terlalu mencolok, beberapa organ saja yang mengalami perubahan fisiologisnya. Dimana Insecta muda yang menetas mirip dengan induknya, tetapi ada organ yang belum muncul, misalnya sayap. Sayap itu akan muncul hingga pada saat dewasa hewan tersebut. Insecta muda disebut nimfa. Ringkasan skemanya adalah
Metamorfosis Bertahap (Paurometabola)
Pada tipe ini, bentuk umum serangga pradewasa menyerupai serangga dewasa, tetapi terjadi perubahan bentuk secara bertahap seperti terbentuknya bakal sayap dan embelan alat kelamin pada instar yang lebih tua serta pertambahan ukuran. Nimfa adalah serangga pradewasa yang mempunyai bakal sayap diluar tubuhnya. Nimfa dan imago dari tipe ini memiliki tempat hidup dan makanan yang sama dan mereka sama-sama aktif makan tanaman. Nimfa dan imago sama-sama menjadi hama. Nimfa berbeda dengan imago terutama dalam hal ukuran, perkembangan sayap, dan alat kelaminnya. Golongan serangga yang memiliki metamorphosis ini pada ordo Orthoptera (belalang), Isoptera (rayap), Thysanoptera (thrips), Hemiptera (kutu busuk), Anoplura (kutu penghisap), neuroptera (undur-undur), dan Dermaptera (cocopet).
Metamorfosis holometabola
Kelompok insecta yang termasuk dalam tipe ini disebut dengan Holometabola. Insecta pada tipe ini menyempurnakan masa perkembangan setelah embrio dengan banyak merubah struktur morfologi tubuhnya. Dalam rangka berkembang menuju dewasa, insecta ini akan melalui empat tahap berbeda, yaitu telur, larva, pupa, dan insecta dewasa. Banyaknya perbedaan bentuk inilah yang menyebabkan disebut metamorfosis kompleks. Salah satu tahap insecta muda adalah setelah menetas dari telur atau disebut larva. Larva berbeda dari induknya berdasarkan struktur, makanan, kebiasaan memperoleh makanan, cara hidup, serta habitat. Larva memiliki tipe mulut penggigit, selagi pada insecta dewasa memiliki mulut dengan tipe berbeda seperti mulut dengan tipe sifon.
Larva terlihat seperti tidak memiliki mata namun memiliki ocelli. Kakinya juga mengandung komponen modifikasi. Beberapa larva hanya memiliki tiga pasang kaki kepala / thoracic legs (beetles & weevils) selagi banyaknya satu atau lebih pasangan kaki perut sebagai penambahan kaki bagian kepala (kupu-kupu). Berbeda dengan perkembangan paurometabola dan hemimetabola, pada perkembangan holometabola sayap berkembang secara internal dari sekelompok sel dorman yang disebut tunas sayap Pada larva tidak terbentuk tunas sayap, namun pada beberapa Endopterygota tunas sayap tetap muncul pada bagian torax dekat dengan tubuh. Kemudian, dalam transformasi menuju dewasa, larva akan berubah nenjadi pupa.
Serangga pradewasa biasanya menempati habitat yang berbeda dengan serangga dewasa. Makanan serangga pradewasa juga umumnya berbeda dengan serangga dewasa. Pupa (kepompong), terlindung dalam rumah pupa (kokon) yang terbuat dari sutra atau bahan lainnya. Kokon dibuat oleh larva instar terakhir, beberapa saat sebelum membentuk pupa. Pada beberapa jenis serangga dari ordo Diptera, pupa terlindung dalam eksudium larva instar terakhir yang mengeras, dan rumah pupa semacam ini disebut pupariumProses memperoleh makanan dan pergerakan serta aktivitas metabolik berkurang selama tahap pupa tetapi terdapat perubahan struktur morfologi yang jelas pada perkembangan sayap dan organ reproduksi yang muncul pada tahap pupa.
Insecta dewasa kemudian keluar dari pupa dan ditemukan adanya perkembangan dari mata majemuk, antennae, thoracic legs, organ reproduksi sayap, dan perubahan pada bagian mulut. Semenjak tahap pupa sangat diperlukan untuk transformasi dari larva menuju insecta dewasa, tipe metamorfosis ini disebut metamorfosis tidak langsung atau metamorfosis sempurna. Serangga yang mengalami metamorphosis sempurna yaitu seperti pada serangga dari ordo Coloeptera (bangsa kumbang), Diptera (bangsa lalat), Lepidoptera (bangsa kupu-kupu dan ngengat), Hymenoptera (bangsa semut dan tabuhan), nyamuk, lebah madu, dan lain-lain.Habitat serangga dewasa dan pradewasa ada yang sama dan ada yang berbeda. Pada ordo Lepidoptera, larva aktif makan dan biasanya menjadi hama, sedanngkan serangga dewasa hanya menghisap nectar atau madu bunga. Pada ordo Coloeptera, umumnya larva dan imago aktif makan dengan habitat yang sama, sehingga kedua-duanya menjadi hama
Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Perbedaan Amfibi Dan Reptil Dalam Biologi
Pengendalian hormon pada serangga
Hormon ecdyson (moulting hormone)dapat mempengaruhi sel epidermis di bawah zat khitin menghasilkan enzim yang melisiskan lapisan khitin (apolisis). Oleh karena itu, terjadi pemisahan antara chitin dan sel epidermis, kemudian sel epidermis mensintesis chitin baru yang masih lunaksebagai pengganti chitin yang sudah rapuh. Tekanan hidrostatik cairan tubuh menyebabkan chitin lama pecah di bagian dorsal kepala. Pecah makin memanjang di bagian dorsal, badan yang baru muncul sedikit demi sedikit akhirnya muncul sampai duri-duri baru pada kaki. Sehingga dapat disimpulkan bahwa moulting hormones akan diproduksi ketika lapisan kutikula lama mengelupas dan terbentuk yang baru.
Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Pengertian Jenis Dan Ciri-Ciri Amfibi Dalam Ilmu Biologi
Proses Ganti Kulit metamorfosis serangga
Proses ganti kulit (molting) dan hubungannya dengan metamorfosis serangga
Harus diperhatikan bahwa metamorfosis pada serangga adalah spesifik karena melibatkan pergantian kulit. Pergantian kulit adalah suatu keajdian yang biasa dialami hewan yang memiliki kulit dari bahan tanduk atau kutikula, karena kulit macam ini tidak bisa bertambah besar ketika hewan itu tumbuh membesar, maka diperlukan proses ganti kulit (molting). Sebagian besar dari permukaan kulit serangga mengalami penebalan dari lapisan kutikula misalnya bentuk seluruh tubuh, rambut, dan duri pada kulit, “sculpture” pada permukaan kutikula dan pigmentasinya.
Selama proses ganti kulit, bentuk-bentuk ini terlepas terikut dengan kutikula yang dibuang. Untuk membentuk karakter luar dari seekor serangga, maka kutikula dengan pola yang baru atau tetapseperti sebelum ganti kulit harus dibuat setiap kali mengalami ganti kulit.Kutikula ini keras dan umumnya berukuran lebih besar.Kutikula yang baru disekresikan oleh epidermis kulit dan lapisan inilah yang bertanggung jawab dalam menentukan karakter luar seekor serangga melalui ganti kulit. Apakah serangga yang ganti kulit adalah merupakan “copy” dari serangga sebelumnya dengan ukuran yang lebih besar atau membentuk karakter yang baru sama sekali.
Proses ganti kulit merupakan suatu proses yang kompleks. Diantaa dua tahap ganti kulit, sel-sel epidrmis diam, berbentuk rata dan lapisannya lebih tipis/sedikit.Sel-sel epidermis pada lapisan terluar berlekatan dengan permukaan dalam dari kutikula.Sebelum ganti kulit, sel-sel ini mengalami aktivasi, yaitu mengalami pemisahan sendiri dari kutikula dan memasuki fase penumbuhan dan pembelahan yang sangat cepat.Sejumlah mitosis dapat dilewati dengan baik.Jumlah sel epidermis yang dihasilkan dari mitosis ini mungkin sesuai dengan kebutuhan dan sebagian dari sel-sel itu kemudian mengalami degenerasi, lapisan sel-sel epidermis ini juga mengalami degenerasi melalui piknosis.Disamping mengalami degenarasi, lapisan sel-sel epidermisini juga mengalami penebalan dan beberapa sel mengalami perubahan bentuk menjadi lapisan epitel berbentuk kolumnar/silindris.Permukaan epitel ini memberi bayangan bentuk serangga yang sedang ganti kulit. Pada bagian-bagian tubuh yang mengalami pembesaran akibat ganti kulit, epidermis tumbuh sebagai lipatan-lipatan yang kemudian akan membuka saat serangga keluar dari kulit lamanya. Lipatan itu umumnya indah sekali pada saat baru dan melebar dengan cepat (misalnya sayap) serta harus tumbuh.
Pada permukaan sel-sel epidermis itu kemudian dihasilkan lapisan sekresi yang kemudia mengeras menjadi lapisan luar kutikula baru, disebut epikutikula, yang terdiri dari substansti lipoprotein alami disebut kutikulin.Suatu cairan yang dihasilkan oleh kelenjar khusus kemudian disekresikan ke atas lapisan kutikula yang baru dan di bawah kutikula yang lama.cairan ini berisi enzim yang memangkas lapisan dalam dari lapisan kutikula yang lama hingga hanya sedikit saja lapisan kutikula yang masih melekat tertinggal. Cairan yang digunakan untuk memangkas lapisan kutikula lama ini kemudian akan direabsorbsi kembali oleh tubuh serangga. Pada saat yang sama, lapisan kutikula lama dipangkas dan dihancurkan, epidermis menghasilkan lapisan-lapisan baru di bawah epikutikula, disebut eksokutikula, yang berisi banyak kutikulin dan substansi fenolik yang kemudian mengoksidasi lapisan itu sehingga kutikula berwarna gelap, dan kemudian dibentuk lapisan endokutikula, yang terdiri dari khitin, suatu polisakarida yang mengandung nitrogen.
Ketika lapisan kutikula yang lama telah menjadi tipis, maka pada bagian belakang kepala dan tubuh akan terlepas dan serangga kemudian keluar dari kulit tuanya. Kutikula baru sekarang terbentuk dengan lengkap setelah ganti kulit ini, maka kutikula mengalami pengerasan dan pigmen warna-warni kemudian terbentuk dari prekursornya.Lapisan-lapisan endokutikula dibentuk oleh sel-sel epidermis dan dideposisikan pada permukaan dalam kutikula beberapa hari atau bahkan beberapa minggu setelah ganti kulit selesai.
Dua stadium ganti kulit pada serangga. (A) Kutikula tua terlepas dari epidermis yang telah memproduksi epikutikula baru (garis hitam tebal). (B) bagian dalam kutikula tua diluruhkan dan lapisan endokutikula dihasilkan dibawah lapisan epikutikula baru tersebut. (d) kelenjar ganti kulit, (c) Cairan ganti kulit. (Balinsky, 1981)
Disini tampak bahwa beberapa elemen metamorfosis amfibia, disebut proses destruksi (berupa resorpsi dari kutikula lama, nekrosis dari sebagian sel-sel epidermis) seperti juga proses konstruksi (perubahan bentuk sel-sel epitel epidermis, pembentukan kutikula baru ) juga terjadi pada proses ganti kulit serangga in. keadaan ini sangat tergantung apakah hasil ganti kulit ini akan membentuk kulit yang sama dan sebangun bentuknya dengan bentuknya yang lama atau akan berbeda seluruhnya.
Apabila sama dan sebangun dengan bentukya yang lama, maka ganti kulit ini berperan dalam penumbuhan dari hewan yang bersangkutan, tetapi apabila berbeda sama sekali dengan aslinya maka proses ini menjadi suatu proses mekanisme yang sangat progresif. Apabila perbuhan yang dihasilkan oleh proses ganti kulit ini sangat nyata bedanya, maka hasilnya adalah metamorfosis. Pada Apterygota, insekta yang tidak bersayap serangga muda yang menetas dari telur sebenarnya sudah sama bentuknya dengan serangga dewasa, hanya berbeda pada ukurannya dan tingkat kemmatangan organ seksual. Ganti kulit pada serangga ini hanya menyebabkan pertumbuhan ukuran tubuh, dan pemaksaan organ seksual tidak berkaitan dengan proses ganti kulit, bahkan ganti kulit dan tumbuh tetap terjadi meskipun ia sudah dewasa secara seksual.
Pada kelompok Pterygota (serangga bersayap atau yang tidak punya sayap sekunder), terdapat stadium imago yang nyata, yang dicapai setelah mengalami ganti kulit imago yang spesifik dan setelah itu serangga tidak akan ganti kulit lagi. Kecuali pada serangga yang tidak mempunyai sayap sekunder, stadium imago bebrbeda dengan stadium larva karena kehadiran sayap. Imago juga berbeda dengan stadium larva karena organ-organ genital eksternalnya sudah berkembang dengan lengkap (gonadnya mungkin akan berfungsi dengan sempurna hanya beberapa saat setelah metamorfosis). Pada serangga-serangga yang lebih primitif, sayap mungkin akan bertumbuh secara gradual dari sayap rudimenter yang tumbuh dari bagian dorsal dari segmen toraks kedua dan ketiga sudah tampak sejak masa akhir stadium larva, atau mereka sering disebut sebagai stadium nimfa (nympha).
Sayap rudimenter ini bertambah besar setiap kali serangga tersebut mengalami ganti kulit, tetapi pada proses ganti kulit terakhir ukuran sayap ini akan bertambah dengan pesat dan setelah itu menjadi fungsional. Hanya pada Epheroptera yang memiliki dua pasang sayap bersifat “membraneous”, terjadi stadium sayap peprtama, disebut subimago, dan mengalami ganti kulit lagi sehingga menjadi imago. Serangga yang sayap redimennya tumbuh pada permukaan tubuh disebut Exopterygota, termasuk didalamnya ada belalang,capung, kecoa, dan lain-lain.
Pada kelompok serangga yang paling maju, saya[ telah tumbuh secara internal sebagai lipatan anggota gerak selama stadium larva di dalam suatu kantung pada epidermis. Epidermis yang menutup sayap rudimenter ini, membawa sifat-sifat embrionik sepanjang masa larva.Meskipun sayap rudimen ini tumbuh lambat, bagian epidermis tidak ikut berperan dalam pembentuan kutiula eksternal dan baru ikut bereaksi ketika stadium larva berakhir.Bagian rudimenter tersimpan di bawah permukaan tubub pada stadium larva dan mengalami diferensiasi penuh menjadi imago disebut “imaginal discs”. (Gambar 3.6) Serangga yang sayapnya tumbuh secara internal seperti “imaginal discs” disebut Endopterygota, termasuk di dalamnya adalah kupu-kupu, lebah, nyamuk, lalat, dan lain-lain.
Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Hewan Ovovivipar
Metamorfosis Amfibi
Amfibi adalah satwa bertulang belakang yang memiliki jumlah jenis terkecil, yaitu sekitar 4,000 jenis. Walaupun sedikit, amfibi merupakan satwabertulang belakang yang pertama berevolusi untuk kehidupan di darat danmerupakan nenek moyang reptile
Pada dasarnya, katak betina dewasa tersebut akan bertelur, yang kemudian telur itu akan menetas pada hari ke 10. Setelah telur katak menetas, telur katak itu menetas dan akan menjadi Berudu.berudu tersebut hidup di air Setelah berumur 2 hari, Berudu tersebut memiliki insang luar yang juga berbulu untuk dapat bernapas. Setelah berudu itu berumur 3 minggu insang berudu tersebut akan tertutup oleh kulit.
ketika mau berumur 8 minggu, kaki belakang pada berudu tersebut akan terbentuk yang kemudian membesar ketika kaki depan tersebut mulai muncul. Umur 12 minggu, kaki depannya pada berudu mulai berbentuk, ingsang pada berudu tak berfungsi lagi ekornya itu sudah menjadi pendek dan juga sudah bernapas dengan menggunakan paru-paru. maka bentuk dari muka berudu tersebut akan dapat lebih jelas Setelah pertumbuhan anggota badannya tersebut sempurna, katak itu akan berubah menjadi seekor katak dewasa dan juga akan kembali berkembang biak.
Terdapat beberapa hal yang berbeda dari daur amfibi pada dasarnya atau umumnya. Beberapa spesies salamander tersebut tidak perlu melakukan bermetamorfosis untuk dapat menjadi dewasa sepenuhnya dengan secara seksual, dan juga hanya akan melakukan proses bermetamorfosis dalam suatu tekanan kondisi lingkungan tertentu.
Banyak spesies kodok tropis tersebut meletakkan telurnya di darat, yang mana kecebong tersebut bermetamorfosis di dalam telur. pada saat mereka menetas, mereka menjadi dewasa yang tidak sudah benar-benar matang, kadang-kadang juga masih mempunyai ekor yang terdapat dalam beberapa hari yang kemudian akan diserap kembali.
Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Pengertian Embriogenesis Fasikuler, Gambus, Pembuluh Dan Pada Tumbuhan
Perubahan Proses Metamorfosis Amfibia
Pada amphibi, metamorphosis selalu dikaitkan antara larva dengan perubahan lingkungan hidupnya yaitu dari lingkungan perairan menjadi individu yang dapat bertahan hidup di darat. Sejalan dengan perubahan lingkungan inin sejalan dengan perubahan material makanan. Perubahan pola organisasi hewan selam metamorphosis ada yang berjalan progresif dan ada yang berjalan regresif, oleh karena itu digolongkan menjadi tiga kelompok :
- Struktur-struktur atau organ-organ yang diperlukan selama masa larva tetap terdapat organ lain yang memilki struktur atau fungsi sama pada hewan dewasa mungkin hilang semua.
- Beberapa orga tumbuh dan berkembang selama dan setelah proses metamorphosis.
- Organ-organ yang ada dan berfungsi selama masa sebelum dan setelah metamorphosis mengalami perubahan sesuai model dan kebutuhan hidup dari individidu dewasa.
Proses regresif selama metamorphosis berudu katak adalah ekor yang panjang dan semua strukturnya mengalami resorpsi, penutup insang akan menutup dan rongga peribrankia juga menghilang. Gigi tanduk yang ada di sekitar mulut akan mengalami penataan kembali menjadi gigi-gigi yang terletak pada permukaan rahang, sementara bentuk mulutnya mengalami perubahan. Bumbung kloaka mengalami reduksi dan pemendekan. Beberapa pembuluh darah juga mengalami reduksi termasuk bagian-bagian dari arkus aortikus. Proses pemebntukan organ baru selama metamorphosis adalah perkembangan kaki yang sangat progesif terutama penambahan ukuran dan perubahan bentuk. Kaki depan yang tumbuh dalam selaput operculum, memcah dan tumbuh ke luar. Telinga tengah berkembang dan berhubungan dengan celah faring pertama.
Membrane timpani tumbuh dengan baik di sokong oleh rawan timpani. Mata terdesak kea rah dorsal kepala dan kelopak mata tumbuh. Lidahnya tumbuh baiak di dasar mulut. Organ-organ yang tetap berfungsi sebelum dan sesudah masa larva adalah kulit dan saluran pencernaan. Kulit berudu ditutup oleh dua lapisan epidermis. Selam metamorphosis, jumlah lapisan epidermis meningkat sehingga terjadi penebalan dan pada permukaannya akan mengalami penandukan. Kelenjar-kelenjar serosa dan mukosa akan tumbuh pada epidermis dan kemudian tenggelam sapai ke jaringa ikat pada lapisan dermis. Organ hilang selama proses metamorphosis. Warna pigmen kulit juga mengalami perubahan, baik pola maupun warnanya. Saluran pencernaan yang sebelumnya sangat panjang dan melingkar pad masa larva, mengalami pemendekan kea rah depan dan menjadi relative lurus pada hewan dewasa (Surjono,2001).
Selain perubahan morfologis, amphibi juga mengalami perubahan fisiologis. Fungsi endokrin pancreas katak mulai terjadi selama metamorphosis katak berkaitan dengan perubahan fungsi hati dalam mengubah glukosa menjadi glikogen. Perubahan lain yaitu perubahan sistem ekskresi pada berudu produk ekskresi berupa amoniak dapat dengan mudah dibuang ke lingkungan perairan melui proses difusi dari tubuh. Tetapi pada hewan dewasa hal ini tidak dapat dilakukan. Sementara itu, deposit amoniak yang berlebihan dalam tubuh dapat menyebabkan keracunan. Seekor katak mengekskresikan urea dan sedikit sekali dalam bentuk amoniak. Perubahan ini terjadi pada masa akhir metamorphosis yaitu ketika hati mengalami perubahan fungsi dan membantu sintesis urea dan amoniak yang dihasilkan. Proses reduksi insang dan ekor berudu dipengaruhi oleh autolysis dari komponen jaringan organ tersebut, dibantu oleh sel-sel makrofag yang memakan sisa-sisa sel yang mengalami kematian..
Terjadinya Metamorfosis Amphibia
Pemacu (trigger) metamorfosis Amfibia adalah hormon tiroksin. Besar kecilnya kadar troksin diekspresikan dalam tahapan metamorfosis. Pengaturan sekresi tiroksin dilakukan oleh poros hipothalamus-hipofisis-kelenjar tiroid. Thyrotropin Releasing Hormon (TRH) dari hipothalamus mempengaruhi sekresi I(TSH) dari hipofise. TSH mempengaruhi pertumbuhan dan sekresi kelenjar tiroid untuk menghasilkan hormon tiroksin. Kadar tiroksin paling kecil menstimulasi pembentukan kaki belakang. Bila kadar tiroksin meningkat sedikit mempengaruhi resorbsi intestinum.
Kadar meningkat lagi mempengaruhi pembentukankaki depan. Kadar paling tinggi menyebabkan pembentukan resorbsi ekor. Sebaliknya bila larva dipelihara dalam lingkungan tiroksin, maka metamorphosis lebih cepat, tetapi tidak sempurna karena pertumbuhan kaki tertinggal. Selain tiroksin, hormon yang terkait dalam metamorfosis yaitu prolaktin dari adenohipofisis. Prolaktin sebagai imbangan tiroksin. Bila pengaruh tiroksi terlalu kuat maka ditahan oleh prolaktin (sebagai antimetamorfosis). Tiroksin tinggi menyebabkan banyak kehilangan air, sedangkan prolaktin menghambat kehilangan air. Interaksi tiroksin-prolaktin menyebabkan metamorfosis sekunder pada salamandra (Haryianto,2009).
Proses Induksi Selama Metamrfosis Amfibia
Kulit yang menutup ekor berudu seharusnya ikut mengalami nekrosis selama proses metamorfosis, tetapi kenyataannya tidak mengalami nekrosis apabila kulit ekor itu dicangkokkin pada tubuh tanpa sel-sel otot ekor yang ada dibawhnya. Apabila pada kulit ekor itu masih terdapat sel-sel otot yang ikut dicangkkan ke bagian tubuh manapun, maka kulit itu akan tetap mengalami nekrosis. Ini adalah bukti nyata bahwa hormon kelenjar tiroid itu hanya mempunya efek langsung kepada jaringan otot dan apabila kulit yang melinkupinya ikut mengalami resorpsi itu adalah akibat sekunder.
Sebuah kejadian yang lebih kompleks pada proses ini adalah terbentuknya membran timpani pada katak. Telinga yang berupa rongga berhubugan dengan rongga mulut melalui saluran eustakhius merupakan salah satu struktur yang tumbuh secara progresif selama proses metamorfosis. Diferensiasi membran timpani terjadi menjelang berakhirnya masa metamorfosis. Dimulai dengan terbentuknya rawan yang berbentukcincin (disebut rawan timpani) yang berkembang sebagai penonjolan dari rawan kuadrat. Kulit yang kemudian tumbuh menjadi membran timpani semula tampak tidak berbeda dengan kulit yang ada disekitarnya. Selama masa metamorfosis,jaringan ikut kulit di daerah yang akan menjadi membran timpani mengalai reorganisasi. Lapisan serabut (stratum compacium) terpecah karena aktifasi sel-sel fagositis dan sebuah lapisan jaringan ikat bau yang lebih tipis kemudian dibangun di tempat ini. Pada membran timpani yang sudah sempurna, ketebalan kulitnya akan menjadi kurang dari setengah ketebalan kulit normal, tetapi lebih kompak dan berbeda pigmentasinya.
Oleh karena itu diketahui bahwa diferensiasi membran timpani bukanlah sebagai akibat langsung dari hormon kelenjar tiroid tetapi diinduksi oleh rawan timpani. Apabila rawan timpani dihilangkan sebelum masa metamorfosis, maka membran timpani tidak akan berkembang. Apabila daerah ditutup dengan kulit yang berasal dari bagian tubuh yang lain,maka membran timpani tetap akan berkembang.sebaliknya apabila rawan timpani dicangkokkan dibawah kulit diatas rawan kulit timpani itu akan mengalami diferensiasi menjadi membran timpani.
Ranta peristwa yang saling berinterksi sebelum membran timpani mengalami diferensiasi yaitu pada tahap pertama adalah terbentuknya hipofisis rudimenter berikutnya. Berikutnya terjadi pertumbuhan karena terjadinya invaginasi stomodem yang diinduksi oleh lapisan endoderm mulut. Hipofisis kemudian mensekresikan hormon tirotropik yang mengaktivasi kelenjar tiroid. Kelenjar tiroid kemudian melepaskan hormon-hormon kelejar tiroid yang menyebabkan bagian posterior rawan kuadrat mengalami diferensiasi menjadi rawan timpani. Rawan timpani kemudian menstimulus kulit di atasnya sehingga mengalami diferensiasi menjadi membran timpani.
Penyebab Metamorfosis pada Amfibia
Perubahan drasmatis pada banyak bagian tubuh hewan secara bersamaan selama proses metamorfosis memberikan gambaran bahwa proses tersebut dipicu oleh satu sebab yang sama yaitu terjadinya pelepasan hormon dalam jumlah besar dari kelenjar tiroid pada hewan yang sedang memasuki masa metamorfosis. Hal ini dapat diketahui melalui beberapa percobaan yang dilakukan sebelumnya.
Percobaan pertama dilakukan ketika Gunernatsch (1912) memberi makan berudu katak dengan serbuk kering kelenjar tiroid domba. Berudu yang diberi makan serbuk kering segera memasuki masa metamorfosis, sementara berudu lain yang diberi makan serbuk dari organ lain tidak mengalaminya. Dari percobaan ini terbukti bahwa berudu akan bereaksi terhadap hormon kelenjar tiroid dengan mengalami metamorfosis.
Percobaan yang kedua dilakukan dengan mengambil kelenjar tiroid pada berudu dengan cara operasi. Berudu yang tidak memiliki kelenjar tiroid tidak mengalami metamorfosis meskipun dapat tumbuh normal dan walaupun dipelihara lebih dari satu tahun berudu tetap tidak dapat mengalami metamorfosis.Percobaan ini membuktkan bahwa metamorfosis tidak dapat terjadi tanpa stimulus dari hormon yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid.
Percobaan yang ketiga dilakukan dengan memelihara berudu dan diberi makan makanan yang mengandung hormon dari kelenjar tiroid atau memlihara berudu di dalam larutan yang mengandung hormon kelenjar tiroid. Berudu yang diperlakukan dengan cara ini akan segera mengalami metamorfosis. Percobaan ini membuktikan bahwa hormon tiroid berperan penting sebagai pemicu metamorfosis, selain itu percobaan ini menunjukkan bahwa kelenjar tiroid bukanlah satu-satunya sumber pemicu terjadinya metamorfosis.
Apabila suatu kelenjar tiroid direndam dalam larutan garam fisiologi, hormon dalam kelenjar tiroid akan terlarut dalam larutan garam fisiologis tersebut. Hormon ini berupa protein yang disebut gugus yodium atau iodin. Triglobulin merupakan suatu molekul yang berukuran besar dan dapat menembus dinding sel dalam proses meninggalkan kelenjar tiroid dan menuju sel target yang akan memberikan reaksi pemicu metamofosis.
Untuk dapat aktif, komponen yang mengandung yodium harus dilepaskan menjadi bagian yang lebih kecil.Secara kimia komponen yang lebih kecil ini merupakan gabungan dari asam amino tirosin dengan satu atau lebih gugus iodin. Dua yang terpenting dari komponen ini adalah tri-iodotironin dan tiroksin. Pada tri-iodotironin terdapat tiga gugus iodin, sedangkan pada tiroksin terdapat empat gugu iodin.Tiroksin dihasilkan lebih banyak jumlahnya oleh kelenjar tiroid, tetapi tri-iodotironin tampak lebih aktif pada jaringan.
Pengujian untuk mengetahui pengaruh iodin menstimulus terjadinya metamorfosis dilakukan dengan memelihara berudu pada larutan yang mengandung iodin atau dengan menginjeksikan larutan iodin ke dalam tubuh berudu, atau dengan cara menanamkan kristal yodium pada tubuh berudu. Hasil dari pengujian diperoleh bahwa iodin mampu menstimulus terjadinya metamorfosis pada berudu pada larutan yang mengandung iodin, sekalipun dalam konsentrasi sangat rendah.Aktivitas atom yodium dipengaruhi oleh jenis asam amino tempat gugus yodium itu terikat.Hal ini dibuktikan dengan pemberian tiroksin dan di-iodotirosin. Apabila dua kelompok berudu diberi perlakuan dengan menempatkannya di dalam dua jenis larutan asam amino tersebut, dalam jumlah yodium yang sama, yodium yang terikat pada tiroksin terbukti 300 kali lebih aktif dibandingkan dengan yodium yang terikat pada di-iodotirosin. Aktivitas tri-iodotironin kira-kira tiga hingga lima kali lebih tinggi dibandingkan aktivitas tiroksin.
Kelenjar tiroid bukanlah satu-satunya kelenjar yang berperan dalam memicu metamorfosis. Kelenjar lain yang juga sangat berperan adalah hipofisis. Hal ini dibuktikan melalui percobaan yang dilakukan dengan menghancurkan atau mengambil hipofisis dari seekor berudu. Penghancuran atau pengambilan hipofisis berudu ini ternyata membuat proses metamorfosis tidak akan terjadi, persis seperti kelenjar tiroid diambil. Pengambilan hipofisis dapat dikompensasi dengan cara mencangkokkan hipofisis dari katak dewasa dengan syarat kelenjar tiroidnya tetap berfungsi. Apabila kelenjar tiroidnya diambil, implantasi hipofisis tidak akan dapat memicu terjadinya metamorfosis. Hal ini membuktikan bahwa hipofisis tidak berperan langsung terhadap terjadinya metamorfosis, tetapi melalui stimulus ke kelenjar tiroid.
Agensia yang diperlukan untuk mengaktifkan kelenjar tiroid dihasilkan pada bagian lobus anterior hipofisis yang disebut hormon tirotropik.Pada larva amfibia, hipofisi tidak memproduksi hormon tirotropik sampai saat normal untuk terjadinya proses metamorfosis. Hal ini dibuktikan dengan pengambilan hipofisis dari berbagi stadium perkembangan berudu dan kemudian diimplantasikan pada berudu yang telah dihipofisektomi sebelumnya. Hipofisis dari berudu yang siap metamorfosis atau dari katak dewasa dapat melakukan kompensasi sehingga memicu terjadinya metamorfosis, sementara hipofisis dari berudu yang lebih muda tidak dapat melakukannya.
Selain tiroksin, hipofisis juga mensekresikan hormon lain yang bekerja secara antagonis dengan hormon tiroksin selama masa berudu. Hormon ini memiliki struktur kimia hormon yang sangat mirip dengan prolaktin.Hormon ini menstimulus pertumbuhan dan mencegah terjadinya metamorfosis.
Jadi, kesimpulan yang diperoleh dari penyebab proses terjadinya metamorfosis pada amfibia adalah proses metamorfosis dimulai apabila bagian anterior hipofisis memproduksi hormon tirotropik sampai mencapai kadar tertentu, sehingga dapat menstimulus kelenjar tiroid untuk mensekresikan hormonnya, terutama tiroksin. Konsentrasi tiroksin yang meningkat akan menutupi aktivitas hormon yang mirip prolaktin dan memengaruhi jaringan secara langsung. Hal ini menyebabkan terjadinya degenerasi dan nekrosis sel target dan juga memicu pertumbuhan dan diferensiasi sel lain.
Reaksi Jaringan Kutub Amfibia
Reaksi jaringan kutub amfibia terhadap proses metamorfosis
Penyebab terjadinya proses metamorfosis itu adalah hadirnya hormon-hormon kelenjar tiroid. Misalnya, bagaimana hanya sel-sel tertentu yang mengalami degenerasi sedangkan bakal kaki depan dan belakang malah tumbuh, suatu sistem yang bekerja secara antagonis. Apakah tidak mungkin hasil penghancuran sel-sel yang mengalami kematian pada reduksi ekor, insang dan saluran pencernaan juga digunakan untuk membangun organ-organ yag baru muncul.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, beberapa percobaan telah dilakukan. Apabila sebagian ekor berudu dicangkokkan pada tubuh berudu yang lain dan berudu itu mengalami metamorfosis, maka ekor yang ditransplatasikan itu akan ikut diresorpsi setelah masa metamorfosis, maka ekor yang ditransplatasikan itu akan ikut mengalami resorpsi. Sebaliknya apabila satu mata berudu dicangkokkan pada ekor berudu yang siap bermetamorfosis, maka mata pada ekor itu tidak akan ikut diresorpsi setelah masa metamorfosis terjadi. Ketika ekor mengalami pemendekan, maka mata pada ekor itu akan terbawa mendekat dan tetap hidup pada bagian sakral katak tersebut.
Percobaan tersebut menunjukkan bahwa karakter reaksi terhadap stimulus dari kelenjar tiroid tidak tergantung pada tempat tetapi pada keadaan alami dari organ itu sendiri. Percobaan serupa juga dilakukan untuk membuktikan bahwa stimulus dari kelenjar tiroid dibawa oleh pembuluh darah, karena hanya dengan cara itulah stimulus dapat mencapai tiap-tiap target. Dengan demikian sekret dari kelenjar tiroid adalah hormon yang memiliki kemampuan khusus. Apa yang terjadi apabila suatu jaringan yang dipengaruhi oleh hormon kelenjar tiroid adalah suatu hormon yang memiliki kemampuan khusus.
Apa yang terjadi apabila suatu jaringan yang dipengaruhi oleh hormon kelenjar tiroid dideterminasi oleh sifat-sifat reaktif dari jaringan itu sendiri atau dikenal sebagai sifat kompetensi. Sifat kompetensi dari suatu jaringan tidak secara langsung berhubungan dengan struktur histologisnya. Pada berudu miotom dari ekor mengalami resorpsi selama proses metamorfosis, sementara miotom dari kaki banyak mengalaminya.(Surjono, 2001)
Lebih jauh telah diketahui bahwa diketahui bahwa bagian tubuh yang berbeda bereaksi tidak sama terhadap dosis hormon kelenjar tiroid. Bila hormon tiroid diberikan pada berudu dengan dosis yang sangat rendah, maka dapat menyebabkan terjadinya pertumbuhan kaki belakang dan pemendekan saluran pencernaan. Pemberian dosis yang lebih tinggi dapat memicu munculnya kaki depan. Dosis yang lebih besar diperlukan untuk dapat terjadi resorpsi ekor. Di sini terdapat bukti bahwa diperlukan dosis yang berlipat agar reaksi dapat terjadi. Pada bagian ekor tampak lebih reaktif dibandingkan pangkal ekor.
Secara umum tampak bahwa sensitivitas terhadap hormon-hormon-hormon kelenjar tiroid direfleksikan oleh bagian-bagian tubuh yang dipengaruhinya selama perkembangan normal. Bagian yang memiliki sensitivitas tinggi(kadar hormon rendah, misalnya pertumbuhan kaki) merespon lebih dahulu dibandingkan dengan bagian – bagian tubuh yang memiliki sensitivitas rendah (memerlukan konsentrasi hormon tinggi, misalnya pertumbuhan kaki) merespon lebih dahulu dibandingkan dengan bagian-bagian tubuh yang memiliki sensitivitas rendah (memerlukan konsentrasi hormon tinggi, misalya reduksi ekor). (Surjono, 2001)
Percobaan lain yang membuktikan adanya pengaruh dosis hormon ini adalah dengan cara meninjeksikan hormon dengan konsentrasi tertentu kepada berudu yang masih muda. Apabila hormon dengan dosis tinggi diberikan pada berudu yang masih muda, maka metamorfosis dapat teradi secara serentak, dan urut-urutan kejadian pada proses itu menjadi kacau, proses penghancuran organ terjadi lebih cepat sebelum jadi, ekor akan mengalami reduksi lebih cepat sebelum kakinya terbentuk sempurna dan berfungsi dalam mengatur gerakan. Hasilnya sudah barang tentu hewan akan mengalami kesulitan dan kematian. (Surjono, 2001)
Proses induksi selama metamorfosis amfibia
Meskipun secara umum tampak bahwa proses metamorfosis adalah reaksi langusung terhadap hormon kelenjar tiroid yang mencapai jaringan yang bersangkutan, beberapa hal tetap memerlukan perhatian. Kulit yang menutup ekor berudu seharusnya ikut mengalami nekrosis selama proses metamorfosis, tetapi kenyataannya tidak mengalami nekrosis apabila kulit ekor itu dicangkokkan pada tubuh tanpa sel-sel otot ekor yang ada di bawahnya. Apabila pada kulit ekor itu masih terdapat sel-sel otot yang ikut dicangkokkan ke bagian tubuh manapun, maka kulit itu akan tetap mengalami nekrosis. Ini adalah bukti nyata bahwa hormon kelenjar tiroid itu hanya mempunyai efek langsung kepada jaringan otot dan apabila kulit yang melingkupinya ikut mengalami resorpsi itu adalah akibat sekunder. (Surjono, 2001)
Sebuah kejadian yang lebih kompleks pada proses ini adalah terbentuknya membran timpani pada katak. Telinga yang berupa rongga berhubungan dengan rongga mulut melalui saluran eustakhius merupakan salah satu struktur yang tumbuh secara progessif selama proses metamorfosis. Diferensiasi membra timpani terjadi menjelang berkahirnya proses metamorfosis. Dimulai dengan terbentuknya rawan yang berbentuk cincin ( disebut rawan timpani) yang berkembang sebagai penonjolan dari rawan kuadrat. Kulit yang kemudian tumbuh menjadi membran timpani semula, tampak tidak berbeda dengan kulit yang ada di sekitarnya.
Selama masa metamorfosis, jaringan ikat kulit di daerah yang akan menjadi membran timpani mengalami reorganisasi. Lapisan serabut (stratum compactum) terpecah karena aktifitas sel-sel fagositis dan sebuah lapisan jaringan ikat baru yang lebih tipis kemudian dibangun di tempat ini. Pada membran timpani yang sudah sempurna, ketebalan kulitnya akan menjadi kurang dari setengah ketebalan kulit normal, tetapi lebih kompak dan berbeda pigmentasinya.(Surjono, 2001)
Oleh karena itu diketahui bahwa diferensiasi membran timpani bukanlah sebagai akibat langsung dari hormon kelenjar tiroid tetapi diinduksi oleh rawan timpani. Apabila rawan timpani dihilangkan sebelum masa metamorfosis, maka membran timpani tidak akan berkembang. Apabila daerah ditutup dengan kulit yang berasal dari bagian tubuh lain , maka membran timpani tetap akan berkembang. Sebaliknya apabila rawan timpani dicangkokkan di bawah kulit pada bagian tubuh yang lain, maka membran timpani tetap akan berkembang. Sebaliknya apabila rawan timpani dicangkokkan di bawah kulit pada bagian tubuh mana saja sebelum berudu mengalami metamorfosis, maka kulit di atas rawan timpani itu akan mengalami diferensiasi menjadi membran timpani. (Surjono, 2001)
Dengan demikian bisa ditarik suatu rantai peristiwa yang saling berinteraksi sebelum membran timpani mengalami diferensiasi. Tahap pertama adalah adalah terbentuknya hipofisis rudimenter. Berikutnya terjadi pertumbuhan karena terjadinya invaginasi stomodem yang diinduksi oleh lapisan endoderm mulut. Hipofisis kemudian mensekresikan hormon tirotropik yang mengaktivasi kelenjar tiroid. Kelenjar tiroid kemudian melepaskan hormon-hormon kelenjar tiroid yang menyebabkan bagian posterior rawan kuadrat mengalami diferensiasi menjadi rawan timpani. Rawan timpani ini kemudian menstimulus kulit di atasnya sehingga mengalami diferensiasi menjadi membran timpani. (Surjono, 2001)
Daftar Pustaka
- Campell, Nell A dkk. 2004. Biologi Edisi ke 5 Jilid 3. Erlangga,Jakarta
- Gilbert, L. Tata, J. Atkison, B. 1996. Metamorphosis :Postembryonic Reprogramming of Gene Expression In Amphibian Dan Insect Cells. Sandiego: Academic Press.
- Hariyanto. 2009. Reproduksi dan Embriologi Hewan. Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta.
- Klowden. MJ. 2007. Physiological Systems in Insects. Second Edition. Burlington: Academic Press.
- Kou, R. &Chen. 2000. Allatotropic and Nervous Control of Corpora Allata In The Adult Male Loreyi Leafworm, Mythimna Loreyi (Lepidoptera: Noctuidae). Journal of Physiological Entomology.25(3), 273-280.
- Li, S. Ouyang, E. Ostrowski, D. Borst. 2005. Allatotropin Regulation of Juvenile Hormone Synthesis by The Corpora Allata From The Lubber Grasshopper, Romalea Microptera. Journal of Peptides. 26(1) 63–72.
- Martinez, S. Mayoral, Y. Li, F. Noriega. 2007. Role of Juvenile Hormon and Allatotropin On Nutrient Allocation, Ovarian Development and Survivorship In Mosquitoes. Journal of Insect Physiology. 53(3) : 230–234.
- Surjono, T.W.2001. Perkembangan Hewan. Jakarta : Pusat Penerbita Universitas Terbuka.