Sejarah Pergerakan RA. Kartini

Diposting pada

RA-Kartini

Biografi RA. Kartini

Lahir 21 April 1879
Jepara, Hindia Belanda (sekarang Indonesia)
Meninggal 17 September 1904 (umur 25)
Rembang, Hindia Belanda (sekarang Indonesia)
Nama lain Raden Ayu Kartini
Dikenal karena Emansipasi wanita
Agama Islam
Suami/istri K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat

Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Hindia Belanda, 21 April1879 – meninggal di Rembang, Hindia Belanda, 17 September1904 pada umur 25 tahun) atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini[1] adalah seorang tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.Ayah Kartini, R.M. Sosroningrat.


Raden Adjeng Kartini berasal dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa. Ia merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi bupati Jepara segera setelah Kartini lahir.[2] Kartini adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI. Garis keturunan Bupati Sosroningrat bahkan dapat ditilik kembali ke istana Kerajaan Majapahit.[2] Semenjak Pangeran Dangirin menjadi bupati Surabaya pada abad ke-18, nenek moyang Sosroningrat mengisi banyak posisi penting di Pangreh Praja.


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Biografi : Pengertian, Macam, Jenis, Struktur Dan Contohnya Lengkap


Riwayat Singkat Kartini

Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi[3], maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura.[2] Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.


Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun dan dikenal pada pertengahan abad ke-19 sebagai salah satu bupati pertama yang memberi pendidikan Barat kepada anak-anaknya.[2] Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.


Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.


Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat.


Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tetapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.


Oleh orangtuanya, Kartini dijodohkan dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Pengertian Nusantara – Konsepsi, Isi Wawasan, Geopolitik, Geostrategi, Hakikat


Sejarah Pergerakan Kaum Wanita (R.A.Kartini)

RA. Kartini adalah seorang Pelopor Pergerakan kaum wanita. R.A. Kartini sudah menjadi sejarah didalam keikutsertaan kaum wanita (hawa) diberbagai bidang kehidupan,baik itu dari hal non pemerintahan serta pemerintahan, R.A. Kartini itu sangat diharumkan namanya yang terlihat dari tanggal lahirnya yang selalu diperangati dari berbagai kalangan bukan daro hanya kaum hawa namun tetapi kaum adam juga ikut serta dalam memperingati hari pergerakan kaum wanita atau hari R.A.Karitini .


Kartini adalah seorang dari beberapa kaum atau juga salah satu kaum hawa yang sangat memperjuangkan hak-hak perempuan ataupun kaum hawa untuk ikut serta didalam berbagai bidang kehidupan serta juga karna R.A.Kartini berbagai kaum hawa tersebut bisa bekerja diberbagai bidang kehidupan, dan pada tiap 21 April diperangati Hari ibu untuk mengenang serta juga memperingati Pergerakan Kaum Wanita dan juga Perjuangan R.A. Karitini ialah  sebagai pelopor Para Pergerakan kaum wanita.


R.A. Kartini (21 April 1879-1904) ini dianggap ialah sebagai pelopor Pergerakan kaum wanita Indonesia. Beliau adalah wanita Indonesia pertama yang memiliki cita-cita untuk dapat memajukan kaumnya dalam bidang pendidikan atau pengajaran. Sebagai akibat dari kurangnya mendapatkan pendidikan atau pengajaran. kaum wanita tersebut diperlakukan tidak adil. Hal tersebut ditunjukkan. oleh adat-kebiasaan ialah sebagai berikut :


  • Ada kawin-paksa.
  • Polygami,
  • Kaum pria memiliki kekuasaan tak terbatas dalam suatu perkawinan,
  • Sesudah menginjak dewasa, gadis-gadis tersebut dilarang unutk ke luar rumah (= dipingit).

Adat kebiasaan semacam tersebut lambat laun ditentang oleh kaum wanita yang memiliki pikiran maju. Diilhami oleh cita-cita Kartini, mereka mulai untuk bergerak dan untuk merombak tradisi yang tidak adil itu.


Sejarah Pergerakan Kaum Wanita (R.A.Kartini)

  • Keluar: berusaha untuk memperoleh persamaan hak setaraf dengan kaum pria, supaya tidak diperlakukan dengan sewenang-wenang.
  • ke dalam : berusaha meningkat atau juga sempurnakan kemampuan serta juga kecerdasan kaum wanita sendiri sebagal ibu serta sebagai pemegang kendali rumah-tangga.

Organisasi wanita pertama  di Indonesia , didirikan di Jakarta 1912 dengan nama Putri Mardika. Berdirinya organisasi tersebut berkat bantuan dari Budi Utomo, dengan tujuan ialah: Berusaha memajukan pendidikan atau pengajaran anak-anak wanita. setelah berdiri Putri Mardika kemudian muncul atau juga berdiri organisasi-organisasi Iainnya. Hampir pada setiap kota penting terdapat suatu organisasi wanita, hingga jumlahnya banyak.


Organisasi kaum wanita yang banyak sekali tersebut dapat dibagi antara lain sebagai berikut:

1. Organisasi-wanita yang menjadi suatu bagian serta sesuatu organisasi, contohnya:

  • Wanudyo Utomo, bagian serta Sarekat Islam.
  • Aisyiyah, bagian serta Muhammadiyah.

2. Organisasi-wanita yang berdiri dengan sendiri. Kebanyakan adalah organisasinya kaum ibu, contohnya:

  • Wanito Mulyo,
  • Wanito Katholik
  • Wanito Utomo.

Di antara tanggal 22 — 25 Desember 1928 organisasi wanita Indonesia tersebut mengadakan Konggres di Yogyakarta. Konggres yang pertama kali tersebut memiliki tujuan antara lain sebagai berikut:

  • untuk mempersatukan cita-cita serta juga usaha memajukan kaum wanita.
  • untuk membentuk gabungan diantara organisasi-organisasi yang berbeda-beda atau beraneka-ragam coraknya.

Konggres tersebut berhasil mendirikan sebuah gabungan organisasi wanita dengan nama ialah “Perikatan Perempuan Indonesia disingkat dengan (PPI)”. Nama tersebut kemudian diubah menjadi “Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia disingkat dengan (PPII)”. Tanggal dimulainya Konggres kaum wanita yang pertamaitu dijadikan ialah sebagai Hari Ibu, serta juga diperingäti di setiap tahunnya (hingga sekarang).


Walaupun belum tercapai seluruhnya, tetapi setahap demi setahap perjuangan kaum wanita tersebut banyak juga hasilnya. Adat-kebiasaan yang menghinakan atas derajat kaum-wanita semakin lama semakin berkurang. Bahkan disekitar tahun 1938 sudah ada beberapa orang wanita Indonesia yang diangkat oleh Pemerintah Belanda ialah menjadi anggota Dewan Kota, misalnya di Bandung, Cirebon serta juga Surabaya.


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Pengertian Historiografi


Kartini dan Perjuangan Kesetaraan Gender

Kartini merupakan salah seorang dari sedikit perempuan Indonesia yang memperoleh pendidikan Barat. Meskipun hanya memperoleh pendidikan tingkat Elementary School yaitu Europesche Lagere School, namun Kartini telah dapat menguasai bahasa Belanda sehingga ia memiliki modal pengetahuan yang cukup untuk berhubungan dengan dunia modern. Komunikasinya dengan teman-temannya di Eropa dilakukan lewat surat-menyurat dalam bahasa Belanda. Kamampuannya yang luar biasa dari seorang Kartini dalam berbahasa Belanda memang diakui oleh banyak pihak. Ia sanggup membuat kalimat-kalimat yang sangat baik dan menarik perhatian para sastrawan. Oleh karenanya tidak berlebihan bila kemudian Suryanto Sastroatmodjo menempatkan Kartini sebagai seorang penyair prosalirik, dimana surat-surat Kartini merupakan sebuah kesatuan cerita yang memiliki nilai sastra yang tinggi.


Lewat surat-suratnya tersebut Kartini banyak mengungkapkan keadaan kaumnya dan juga harapan-harapannya tentang upaya meningkatkan derajat kaum wanita Indonesia. Kartini mengungkapkan pemikiran-pemikirannya tentang nasionalisme dan perjuangan untuk meningkatkan derajat bangsa Indonesia. Surat- surat Kartini kemudian dikumpulkan dan dibukukan oleh JH Abendanon, dengan judul Door Duisternis tot Licht. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Armin Pane dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Sementara itu Agnes Louise Symmers men-terjemahkannya ke dalam bahasa Inggris dengan judul Letters of A Javanese Princess.


Sebagian besar surat-surat Kartini mengisahkan tentang keadaan kaum wanita di Indonesia yang secara umum masih sangat tertinggal. Hal ini disebabkan oleh aturan adat dan budaya Jawa yang menempatkan wanita dalam posisi yang inferior bila dibandingkan dengan pria. Dalam konstruk budaya Jawa peranan wanita hanya berkisar pada tiga kawasan yaitu di sumur (mencuci dan bersih- bersih), di dapur (memasak) dan di kasur (melayani suami). Atau dengan perkataan lain peranan wanita adalah macak, masak dan manak. Lebih jauh gambaran wanita Jawa adalah sebagai konco wingking, yaitu sebagai pembantu yang melayani suami untuk urusan belakang. Karena peranannya yang marjinal tersebut maka wanita tidak perlu mendapatkan pendidikan yang tinggi. Keadaan wanita Indonesia, khususnya di Jawa pada zaman tersebut juga dapat dilihat dari ungkapaan B.H. Lans, seorang guru wanita berkebangsaan Belanda yang bertugas di Sunda. Beliau menulis,” Waktu saya mulai bekerja disini, hampir tidak ada atau sedikit sekali gadis-gadis yang pergi ke sekolah … Semua kebebasan yang dimiliki gadis-gadis hilang lenyap pada usia menjelang kawin, yaitu pada usia sepuluh atau dua belas tahun”.


Dalam suratnya kepada Stella Zeehandelaar tanggal 25 Mei 1899, Kartini mengungkapkan keadaan dirinya dan wanita-wanita pada umumnya. Kartini menulis, “… we girls, so far as education goes, fettered by our ancient traditions and conventions, have profited but little by these advantage. It was a great crime against the customs of our land that we should be taught at all, and especially that we should leave the house every day to go to school. For the custom of our country forbade girls in the strongest manner ever to go to outside of the house…” 13 Dengan korespodensinya dengan Stella Zeehandelaar, Kartini berharap mendapat pertolongan darinya. Kartini juga mengungkapkan bahwa dirinya ingin menjadi wanita yang maju seperti wanita Eropa.


Kartini sadar bahwa keinginannya untuk maju hanya dapat ditempuh melalui pendidikan yang lebih tinggi dari ia peroleh saat itu. Kartini mengajukan permohonan kepada ayahnya untuk melanjutkan sekolah HBS di Semarang, namun ditolak mentah-mentah. Akan tetapi ketika Kartini menyatakan ingin melanjutkan studi ke Eropa ayahnya diam dan tidak memberikan reaksi apa-apa. Kartini berkesimpulan bahwa ayahnya tidak keberatan kalau ia melanjutkan studinya ke Eropa. Kartini mengirim surat kepada pemerintah agar ia diberi bantuan untuk melanjutkan studi ke Eropa. Balasan dari pemerintah Belanda datang dua tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 23 Juli 1903. Pada dasarnya pemerintah Belanda menyambut baik niat Kartini untuk belajar di Eropa dan pemerintah menyatakan kesediaannya untuk memberikan bantuan uang sebesar 4.800 Gulden untuk mendukung niatnya tersebut. Akan tetapi Kartini tidak lagi antusias menerima balasan tersebut sebab ia akan segera menikah dengan Bupati Rembang yaitu RM Joyo Adiningrat.


Hal lain yang menjadi perhatian Kartini tentang ketidakadilan terhadap wanita adalah berkembang suburnya poligami. Kartini berpendapat bahwa poligami merupakan salah satu bentuk kesewenang-wenangan pria terhadap wanita. Kartini melihat, dan merasakan betapa besar penderitaan dan pengorbanan kehidupan wanita yang dimadu oleh suaminya. Hal inipun dilakukan oleh orang tuanya, abang-abangnya dan para raden mas yang lainnya di lingkungan Kabupaten Jepara dan kabupaten-kabupaten lainnya. Hal penting yang menjadi perhatian Kartini terhadap kasus poligami adalah adanya dorongan dari orang tua agar anaknya mendapat suami dari kaum bangsawan dengan tujuan untuk memperoleh kehormatan dan kemewahan.


Menurut Kartini, gadis-gadis tersebut tidak dapat dipersalahkan karena pada umumnya mereka merupakan anak-anak dari keluarga yang melarat yang terdiri dari petani dan buruh pabrik. Mereka berangan-angan mendapat kemewahan, kehormatan, dan kenikmatan duniawi lainnya. Dikawini oleh bangsawan merupakan anugerah yang membuka jalan bagi mereka untuk mobilitas sosial secara vertikal. Mereka akan menjadi putrid-putri kabupaten, kepangeranan, atau kesultanan yang bergelimang dengan kemewahan. Kartini melihat dan mencatat kejadian-kejadian tersebut dalam hati sanubarinya. Ia merasakan betapa getir nasibnya nanti apabila dirinya akan mengalami nasib seperti gadis-gadis tersebut.


Dalam suratnya kepada Stella Zeehandelaar tertanggal 25 Mei 1899, Kartini juga menuliskan kisahnya ketika mengalami masa pingitan sebagai berikut:: ”When I reach the age of twelve, I was kept at home. I had to go into the box. I was locked up, and cut off from all communication with the outside world, toward which I might never turn again save at the side of bridegroom, a stranger, an unknown man whom my parents would choose for me, and to whom I should betrothed without my own knowledge..”’11 Bagi Kartini masa-masa menjalani pingitan merupakan masa-masa kelam dalam perjalanan hidupnya, apalagi dia kemudian tahu bahwa orang tuanya telah mempersiapkan seorang laki-laki yang tak dikenalnya sebagai calon suaminya.


Kartini berpendirian bahwa calon-calon suami itu seharusnya telah terlebih dahulu dikenal oleh gadis-gadis yang akan diperistri, dan tidak disodorkan begitu saja sebagai calon suami hasil pilihan orang tuanya. Ini merupakan sebuah tragedi yang amat meletihkan dan memupuskan roh dan harapannya sebagai gadis modern yang berkemauan keras untuk melawan belenggu tradisi dan konstruk budaya Jawa yang feodalistik, dan monoton. Namun konstruk budaya yang demikian kuat melahirkan ketidakdilan gender itu nyatanya masih kuat mengakar di dalam masyarakat. Jalan untuk merubah kondisi wanita saat itu tidak lain melalui pendidikan. Hal ini diungkapkan oleh Kartini dalam suratnya kepada Mevrouw Van Kol pada bulan Agustus 1901.


Kartini yang berkorespodensi langsung dengan tokoh feminis Belanda Stella Zeehandelaar secara tidak langsung telah terpengaruh oleh konsep-konsep feminisme liberal. Hal ini dapat dilihat dari program utamanya yaitu membebaskan perempuan dari kebutaan pendidikan atau pengetahuan dengan mendirikan sekolah khusus, agar hak perempuan untuk mengikuti pendidikan setara dengan hak pendidikan untuk laki-laki. Kepada Van Kol Kartini menulis, “…Our idea is open, as soon as we have the means, an institute for the daughter of native officials, where they will be fitted for practical life and will be taught as well the things which elevate the spirit, and ennoble the mind.


Kartini menyadari bahwa untuk membuat bangsanya maju, khususnya kaum wanita, maka tidak bisa tidak adalah dengan jalan belajar dari dunia Barat. Peradaban Barat yang demikian gemilang menyilaukan semangat Kartini untuk belajar demi pembebasan dari kungkungan feodalisme budaya yang timpang itu.


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Sejarah Kerajaan Makassar


Nasionalisme Kartini

Nasionalisme merupakan sebuah ekspresi emosional antara warga negara dengan tanah dimana tempat dia dilahirkan. Oleh karenanya gejala timbulnya nasionalisme merupakan suatu gejala yang wajar, dimana secara psikologis ada hubungan emosional yang signifikan antara warga negara dengan wilayah negaranya. Namun pengertian nasionalisme menemukan momentumnya pada awal abad ke-20 yaitu ketika pengertian nasionalisme ditempatkan sebagai antithesis dari imperialisme dan kolonialisme.


Nasionalisme dapat digolongkan dalam dua arti. Pertama dalam arti negatif yang diartikan sebagai sikap keterlaluan, sempit, congkak dan sombong. Dalam hal ini, imperialisme-kolonialisme merupakan manifestasi dari pengertian tersebut. Kedua nasionalisme dalam pengertian positif sebagai ekspresi dari sikap untuk mempertahankan kemerdekaan dan harga diri bangsa dan sekaligus menghormati bangsa lain. Pengertian kedua merupakan sikap positif seorang warga negara yang memiliki komitmen dan tanggung jawab terhadap keadaan bangsanya. Dalam pengertian yang positif, nasionalisme dapat diartikan sebagai suatu paham yang meletakkan kesetiaan tertinggi individu atau sekelompok individu kepada negara. Dalam kaitan tersebut, Ruslan Abdulgani mengemukakan bahwa nasionalisme dianggap sebagai sebuah ajaran, ideologi, kepercayaan, keyakinan, bahkan dianggap semacam agama baru.


Nasionalisme Kartini dapat dilacak dari pemikirannya yang terdapat dalam surat-suratnya. Nasionalisme Kartini merupakan refleksi sosial yang kritis dari seorang wanita Indonesia yang didasarkan pada religieusiteit, wijsheid en schoonheid (ketuhanan, kebijaksanaan dan keindahan) ditambah dengan humanitarianisme (kemanusiaan) dan nasionalisme. Nasionalisme yang tampak dalam pandangan Kartini dapat dikategorikan sebagai sebagai nasionalisme universal dalam arti gagasan-gagasan yang diungkapkan mengandung nilai-nilai universal, seperti pendidikan, persamaan derajat, dan solidaritas sosial.


Dalam suratnya kepada Stella Zeehandelaar pada tanggal 12 Januari 1900, Kartini mengutip pandangan ayahnya dalam sebuah nota yang dikirimkan kepada pemerintah Hindia Belanda sebagai berikut, ”Father says in his note that the government can’t set the rice upon the table for every Javanese, and see that he partakes of it. But it can give him the means by which he can reach the place where he can find the food. The means is education. When the government provides a means of education for people, it is as though it placed torches in their hands which enabled them to find the good road that leads to the place where the rice is served. From it you will learn something of the present condition of the people. … Father wishes to do everything that he can to help the people and needless to say, I am on his side”22 Kartini memang selalu mengungkapkan gagasan pentingnya pendidikan sebagai jalan untuk meningkatkan derajat bangsanya.


Disamping itu Kartini juga mengingatkan pentingnya persatuan bagi bangsa Indonesia serta mengajak untuk menggalang persatuan diantara kalangan muda Indonesia baik pria maupun wanita. Hal ini terungkap dalam suratnya kepada kepada Ny. Abendanon pada tanggal 30 September 1901. “The young guard, regardless of sex, should band themselves together. We can each of us do something unaided, towards the uplifting and civilizing of our people, but if we were united our strength would be multiplied many times. By working together we could gather a goodly store offruit. In union there is strength, and power.


Sementara itu sisi humanitarianisme yang melekat dari diri Kartini tampak dalam ungkapannya dimana ia ingin dipandang sebagai individu yang sama dengan orang lain. Kartini merasa tidak berbeda dengan rakyat biasa yang sama-sama hidup dibawah penjajahan. Bahkan kartini ingin dipanggil Kartini saja, tanpa ditambah dengang embel-embel Raden Adjeng. Hal ini terungkap dalam suratnya kepada Stella Zeehandelaar pada tanggal 17 Mei 1902. Dalam suratnya tersebut, Kartini menulis, “… For the first time, my name would come out openly in connection with my people. I am proud of that, Stella to be named in the same breath with my people. 24 Kartini tidak mau dianggap jauh di atas orang lain, lebih- lebih di atas insan yang sering disebut dengan rakyat jelata. Barangkali, ini merupakan dampak dari perkenalannya dengan Stella Zeehandelaar melalui korespodensinya. Seperti diketahui Stella Zeehandelaar merupakan sosok gadis yang demokratis karena berada dilingkungan masyarakat Barat yang demokratis, disamping ia merupakan anak orang biasa.


Humanitarianisme Kartini merupakan refleksi kritis dari stratifikasi sosial yang hierakhis akibat konstruk budaya yang feodalistik. Gagasan ini merupakan embrio dari munculnya ide persamaan derajat atau yang dikenal dengan emansipasi dimana wanita sudah selayaknya ditempatkan pada proporsi yang semestinya. Pada sisi yang lain pemikiran tersebut juga mencerminkan adanya solidaritas sosial antara bangsa-bangsa yang sedang dijajah oleh bangsa asing. Apalah artinya memiliki darah bangsawan, dihormati, hidup mewah dan lain sebagainya, apabila ia juga sama-sama berada dibawah penguasaan bangsa lain. Arti dari semua itu adalah sebuah realitas bahwa bangsawan dan rakyat jelata berada dalam posisi yang sama, yaitu sama-sama dikuasai bangsa asing.


Kartini sadar bahwa untuk mencapai cita-citanya tentang persatuan dan persamaan derajat manusia tersebut diperlukan perjuangan yang keras melalui pendidikan. Oleh karenanya minat Kartini dalam masalah pendidikan demikian besarnya. Keterbelakangan yang dihadapi bangsa Indonesia pada saat itu disebabkan oleh ketidaktahuan rakyat tentang cara mengatasi segala kesulitan yang dihadapinya seperti soal pangan, kesehatan, ataupun pendidikan bagi anak-anak.


Penghargaan RA. Kartini

  • Pahlawan Kemerdekaan yang ditetapkan pada tanggal 2 Mei 1964
  • Tanggal 21 April merupakan tanggal untuk memperingati hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini
  • Nama RA Kartini mendapat penghargaan dengan menjadikan namanya sebagai nama jalan di beberapa kota di Belanda. Sebut saja, di Utrecht, Venlo, Amsterdam, Haarlem.

Buku Karya RA. Kartini

  1. Habis Gelap Terbitlah Terang
  2. Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya
  3. Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904
  4. Panggil Aku Kartini Saja
  5. Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya
  6. Aku Mau … Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903

Daftar Pustaka

  • Awuy, Tomy F., (1995), Wacana Tragedi dan Dekonstruksi Kebudayaan, Yogyakarta: Jentera Wacana Publika.
  • Fakih, Mansour, (2004), Analisis Gender & Transformasi Sosial, Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar.
  • Geertz, Hildred (ed.) (1964), Letters of A Javanese Princess: Raden Adjeng
  • Kartini,.(ab. Agnes Louise Symmers) New York: Norton Company.
  • Kuntowijoyo, (2003), Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana.
  • Muttaqin, Farid., “Sejarah Gerakan Perempuan yang Bias Jender”, Kompas Edisi 28 Juni 2004.
  • Nursarastriya, Haris., “Nasionalisme Kartini dan Teori Tentang Nasionalisme”, Kritis: Jurnal UKSWNo. 4/Th. X April -Juni 1997.
  • Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugoho., (1993), Sejarah Nasional Indonesia V, Jakarta: PT Balai Pustaka.
  • Sasroatmojo, Suryanto., (2005), Tragedi Kartini, Yogyakarta: Penerbit Narasi.
  • Wikipedia, www.wikipedia.org/wiki/Raden Adjeng Kartini. didownload tanggal 12 Februari 2007.
Mungkin Dibawah Ini yang Kamu Cari