Mahkamah Konstitusi

Diposting pada

Tugas MK Dan Wewenang Mahkamah Konstitusi ( MK ) – Mahkamah konstitusi pada dasarnya memang perlu untuk dibentuk karena bangsa kita telah melakukan perubahan-perubahan yang mendasar atas dasar UUD 1945. Dalam rangka perubahan pertama sampai dengan perubahan keempat UUD 1945. Bangsa itu telah mengadopsi prinsip-prinsip baru dalam sistem kenegaraan, yaitu antara lain dengan adanya sistem prinsip “Pemisahan Kekuasaan dan Check and Balance” sebagai pengganti sistem supremasi parlemen yang berlaku sebelumnya.

Tugas MK Mahkamah Konstitusi


Akibat dari perubahan tersebut maka perlu diadakannya mekanisme untuk memutuskan sengketa kewenangan yang mungkin terjadi antara lembaga-lembaga yang mempunyai kedudukan sama atau bersifat sederajat, yang kewenangannya ditentukan dalam UUD 1945. Mahkamah konstitusi memiliki peran di dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Sebagai mahasiswa kita seharusnya mengetahui serta memahami tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini kelompok kami akan membahas tentang “Tugas dan Fungsi Mahkamah Konstitusi”.


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Tugas DPD : Pengertian, Sejarah, Fungsi, Tugas, Dasar Hukum Dan Wewenang DPD


Sejarah Lahirnya Mahkamah Konstitusi ( MK )

Sejak Reformasi tahun 1998, Undang-Undang Dasar RI 1945 sudah beberapa kali mengalami perubahan dalam isinya. Salah satu perubahan dari UUD RI 1945 adalah dengan diadopsinya prinsip-prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan, antara lain prinsip pemisahan kekuasaan dan “checks and balances” sebagai pengganti sistem supremasi parlemen. Hal ini berarti adanya kesetaraan antar lembaga negara yang satu dengan yang lainnya.


Munculnya sistem checks and balances dalam sistem pemerintahan adalah didasari atas banyaknya penyimpangan yang terjadi dalam pembuatan suatu Undang-Undang. Tidak jarang Undang-Undang yang dibuat menyimpang dari Undang-Undang Dasar, karena pembentukan Undang-Undang itu sendiri ditentukan lebih kepada kepentingan politik bukan berdasarkan norma-norma yang lebih tinggi yaitu konstitusi. Sistem checks and balances ini memiliki fungsi sebagai sebuah mekanisme untuk menguji dan mengecek produk-produk yang dihasilkan oleh DPR tersebut dapat dibenarkan secara konstitusional bisa atau tidak[1].


Dibenarkan secara konstitusional memiliki arti bahwa produk-produk tersebut tidak menyimpang dari konsitusi kita yaitu Undang-Undang Dasar NRI 1945. Salah satu produk amandemen UUD NRI 1945 yang lahir adalah munculnya Mahkamah Konstitusi sebagai puncak kekuasaan peradilan bersama-sama Mahkamah Agung. Hal ini sebagai bentuk koreksi terhadap sistem pemerintahan Orde Baru yang mengibiri lembaga legislatif dan yudikatif.


Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD NRI 1945, MPR menetapkan Mahkamah Agung untuk menjalankan fungsi Mahkamah Konstitusi dalam rangka

[1] Jimly Asshiddiqie, Setengah Abad Jimly Asshiddiqie Konstitusi Semangat Kebangsasaan, Cet. 1, (Jakarta: Sumber Agung, 2006),  hlm. 28.

menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Fungsi Mahkamah Konstitusi sudah berjalan sejak disahkannya Pasal 3 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar (UUD) NRI 1945 hasil Perubahan Keempat, 10 Agustus 2002. Untuk pengaturan lebih rinci mengenai Mahkamah Konstitusi, DPR dan Pemerintah membahas Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konsitusi. Rancangan Undang-Undang ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada tanggal 13 Agustus 2003 dan disahkan langsung oleh Presiden pada hari itu juga.


Pada tanggal 15 Oktober, Mahkamah Agung melimpahkan perkara yang saat itu sedang dikerjakan sementara oleh Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi dan lalu perkara tersebut diproses dan diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi. Proses penyelesaian perkara oleh Mahkamah Konstitusi tersebut dianggap sebagai hari pertama mulai beroperasinya Mahkamah Konstitusi sebagai salah saru pemegang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan Undang-Undang Dasar NRI 1945.


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Lembaga Pendidikan : Pengertian, Macam Dan 6 Fungsi Lengkap


Pengertian Mahkamah Konstitusi ( MK )

Mahkamah Konstitusi adalah salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Hal tersebut tertera dalam pasal 24 (2) Undang-Undang Dasar NRI 1945. Visi dari Mahkamah Konstitusi adalah untuk menegakkan konstitusi dalam rangka mewujudkan cita-cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermatabat. Adapun misi dari Mahkamah Konstitusi terbagi dua yaitu mewujudkan diri sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang modern dan terpercaya, serta membangun konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar berkonstitusi.


Apa beda Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung? Menurut undang-undang, setiap  pelanggaran undang-undang diadili oleh pengadilan di dalam lingkungan Mahkamah Agung yang berarti setiap peraturan di bawah Undang-Undang yang dinilai bertentangan di bawah undang-undang juga diuji langsung oleh Mahkamah Agung. Sementara Mahkamah Konstitusi berfungi  untuk menegakkan konstitusi yang berhubungan langsung dengan Undang-Undang Dasar dan undang-undang dibawahnya.


Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa Mahkamah Agung adalah pengawal undang-undang (the guardian of the law), sedangkan Mahkamah Konstitusi merupakan pengawal Undang-Undang Dasar (the guardian of the constitution)[1]. Dengan kata lain, Mahkamah Konstitusi mengadili undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi atau Undang-Undang Dasar, sementara Mahkamah Agung mengadili peraturan di bawah undang-undang serta membawahi peradilan pidana, perdata, dan peradilan tata usaha negara.

[1] Ibid., hlm. 33.

Baca Juga : Tugas DPR Lengkap


Tugas MK

Menurut UUD 1945 Pasal 24C Ayat 1 dan 2:

  1. Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar.
  2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar.
  3. Memutus pembubaran partai politik.
  4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
  5. Memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut undang-undang dasar.

Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : 6 Lembaga Agama : Pengertian, Contoh, Macam, Tujuan (LENGKAP)


Fungsi Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution), pengawal demokarasi (the guardian of the democracy) dan penafsir konstitusi (the intepreter of the constitution)[1]. Dengan kata lain, Mahkamah Konstitusi harus melaksanakan apa saja yang ada di dalam konstitusi untuk menjaga demokrasi dan menafsirkan ketentuan yang tidak jelas dalam konstitusi.       


 Sebagai Pengawal Konstitusi Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai penjamin pelaksanaan Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar memiliki sifat enforceable yaitu harus dijalankan dan harus tercermin dalam kebijakan peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya. Di sinilah fungsi Mahkamah Konsitusi untuk menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang ada dengan konsitusi agar tidak lagi terjadi lahirnya suatu peraturan perundang-undangan yang  hanya berdasarkan kepentingan politik semata.


Sebuah negara yang berdemokrasi adalah negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum, dan demokrasi hukum tersebut adalah demokrasi atas  konstitusi. Agar sebuah negara benar-benar menjalankan demokrasinya maka supremasi hukum di dalam negara tersebut haruslah ditegakkan. Mahkamah Konstitusi sebagai Pengawal Demokrasi mempunyai tugas untuk selalu mengawal konstitusi agar tidak keluar jalur untuk pelaksanaan demokrasi yang adil di dalam Negara Republik Indonesia.


Pelaksanaan dan pembuatan peraturan perundang-undangan haruslah selalu berdasarkan konstitusi yang ada yaitu Undang-Undang Dasar RI 1945. Mahkamah Konstitusi bertugas untuk memastikan segala peraturan perundang-undangan yang ada dibawah konstitusi tidak menyalahi isi konstitusi tersebut dan didasarkan karena alasan keadilan dan perwujudan demokrasi. Sebagai Penafsir Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi bertugas untuk melengkapi apa yang menjadi kekurangan dalam undang-undang dan  memperbaiki kelemahan undang-undang tersebut.


Diperlukannya penyempurnaan terhadap undang-undang semata-mata dikarenakan undang-undang tersebut dibuat dan ditafsirkan oleh manusia, dan terkadang penafsir undang-undang tersebut menafsirkannya hanya dalam rumusan politis semata. Salah satu bentuk penyempurnaan undang-undang tesebut adalah dengan konvensi ketatanegaraan ataupun penafsiran haki (judicial interpretation). Judicial Interpretation ini lahir dalam bentuk putusan Hakim Mahkamah Konstitusi di mana putusan Hakim Mahkamah Konstitusi ini merupakan penterjemahan atau tafsir dari Undang-Undang Dasar[2]. Di sinilah peran Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir Undang-Undang. Di dalam pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar RI 1945 menegaskan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final”.

[1] Ibid., hlm. 37.
[2] Ibid., hlm. 39.

Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Fungsi Lembaga Keluarga : Pengertian Dan 4 Tahapannya ( LENGKAP )


Fungsi MK ( Mahkamah Konstitusi ) yaitu:

  1. Sebagai penafsir konstitusi
  2. Sebagai penjaga hak asasi manusia
  3. Sebagai pengawal konstitusi
  4. Sebagai penegak demokrasi

Penjelasan Fungsi dari Mahkamah Konstitusi ( MK )

Sebagai sebuah lembaga yang dijadikan sebagai pelindung konstitusi MK mempunyai beberapa fungsi yang meliputi:

  1. Sebagai penafsir konstitusi

Konstitusi tak lain merupakan sebuah aturan hukum. Sehingga konstitusi merupakan wilayah kerja seorang hakim. Hakim Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kewenangannya dapat melakukan penafsiran terhadap konstitusi. Hakim dapat menjelaskan makna kandungan kata atau kalimat, menyempurnakan atau melengkapi, bahkan membatalkan sebuah undang-undang jika dianggap bertentangan dengan konstitusi.


  1. Sebagai penjaga hak asasi manusia

Konstitusi sebagai dokumen yang berisi perlindungan hak asasi manusia merupakan dokumen yang harus dihormati. Konstitusi menjamin hak-hak tertentu milik rakyat. Apabila legislatif maupun eksekutif secara inkonstitusional telah mencederai konstitusi maka Mahkamah Konstitusi dapat berperan memecahkan masalah tersebut.


  1. Sebagai pengawal konstitusi

Istilah penjaga konstitusi tercatat dalam penjelasan Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang biasa disebut dengan the guardian of constitution. Menjaga konstitusi dengan kesadaran hebat yang menggunakan kecerdasan, kreativitas, dan wawasan ilmu yang luas, serta kearifan yang tinggi sebagai seorang negarawan.


  1. Sebagai penegak demokrasi

Demokrasi ditegakkan melalui penyelenggaraan pemilu yang berlaku jujur dan adil. Mahkamah Kontitusi sebagai penegak demokrasi bertugas menjaga agar tercitanya pemilu yang adil dan jujur melalui kewenangan mengadili sengketa pemilihan umum. Sehingga peran Mahkamah Kontitusi tak hanya sebagai lembaga pengadil melainkan juga sebagai lembaga yang mengawal tegaknya demokrasi di Indonesia.


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Pengertian, Tugas, Hak, Kewajiban Dan Keanggotaan MPR Beserta Kedudukannya Lengkap


Wewenang MK

Di dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar RI 1945 jo. Undang Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah[1]:

  1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
  2. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan.atau Wakil presiden menurut Undang-undang Dasar.

Sementara sesuai ketentuan Undang-Undang Dasar RI 1945, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan sebagai berikut[2]:

  1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
  2. Memutus sengketa kewenangan kenbaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD
  3. Memutus pembubaran partai poitik
  4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
  5. Memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela
  6. Memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wapres telah tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden

[1] Jimmly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Cet. 1, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 250.
[2] Ibid., hlm. 251.

Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Pengertian Hak Angket DPR Republik Indonesia Beserta Pengajuan Menurut UU


Kewajiban MK

Kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberi putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum yang ditimpakan kepada Presiden dan Wakil Presiden dapat berupa penghianatan terhadap negara, tindak korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela lain atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden.


Kewenangan dan kewajiban yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi mencerminkan kuatnya niat negara ini untuk menyelengarakan sistem check and balances sebagai perwujudan dari sistem lembaga peradilan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945. Mahkamah Konstitusi berperan untuk memutus peradilan sengketa antar kewenangan lembaga negara di mana lembaga negara tersebut menggunakan kewenangannya lebih dari yang seharusnya sehingga berpotensi untuk melanggar kewenangan lembaga negara lainnya. Sistem check and balances tersebut mengikat lembaga negara yang sederajat akan tetapi saling mengendalikan satu sama lain.


Sehingga walaupun kedudukan antar lembaga negara tersebut sederajat, mereka tidak dapat menggunakan wewenang mereka lebih dari yang seharusnya karena antar lembaga negara tersebut saling mengontrol dan mengendalikan. Mahkamah Konstitusi juga berwenang sebagai payung hukum untuk melakukan uji undang-undang dalam menjaga dan menegakkan konstitusi apabila terjadi pelanggaran konstitusi lembaga eksekutif dan legislatif sebagai pembuat undang-undang.


Sebuah undang-undang merupakan hasil keputusan bulat dari 55 orang di DPR. Akan tetapi apabila ada satu orang saja yang melayangkan gugatan atas putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi tetap harus menerima dan melakukan pemeriksaan terhadap gugatan tersebut. Produk Undang-Undang tidak boleh menimbulkan ketidakadilan, tidak boleh melanggar hak konstitusional warga negara meskipun hanya satu orang[1].

[1] Ibid., hlm. 43.

Kedudukan MK

Menurut Harjono, antara MA dengan MK, keduanya merupakan lembaga tinggi Negara yang terpisah, tetapi memiliki hubungan yang bersifat horizontal fungsional. Artinya, kedua lembaga tersebut tidak saling mensubordinasikan, tetapi masing-masing mempunyai kompetensi secara mandiri. Akan tetapi walaupun keduanya memiliki kompetensi dan kewenangan yang berbeda, masing-masing tetap dalam fungsi besarnya, yaitu sebagai lembaga tinggi Negara yang memiliki kekuasaan kehakiman atau judicial power.


Sebagai lembaga kekuasaan kehakiman, MK mempunyai kekuasaan.[1] MA bersama MK berkedudukan sebagai lembaga kekuasaan kehakiman (judicial power) yang merdeka dan mandiri dengan tugas menyelenggarakan peradilan dengan tujuan menegakkan hukum dan kedailan. Di mana untuk melihat pencapaian tujuan dari kedua lembaga kehakiman tersebut (MA dan MK) adalah bagaimana kedua lembaga itu bekerja berdasarkan kekuasaan dan kewenangannya untuk terpenuhinya penegakkan hukum dan keadilan.[2]


Seiring dengan pergeseran paradigma ketatanegaraan Indonesia setelah dilakukannya proses politik hukum yang sangat panjang dengan melalui sebuah proses amandemen konstitusi (UUD 1945), dimana menurut A. Mukhtie Fadjar perubahan paradigma tersebut ialah : dari paradigm Negara ke paradigm masyarakat dengan semangat penguatan civil society; dari paradigm integralistik ke paradigm kedaulatan rakyat/demokrasi dengan semangat penghormatan HAM; dari paradigm Negara kekuasaan (marchtstate) ke paradigma Negara hukum (rechtstate) dengan semangat supremasi hukum, yang adil dan responsif.


Salah satu dari sekian perubahan paradigm  di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang dianut dalam UUD 1945 pasca amandemen ialah tidak ditempatkannya lagi MPR pada posisi yang lebih tinggi dari lembaga-lembaga Negara lainnya. Melainkan MPR ditempatkan pada posisi lembaga tinggi Negara yang kedudukannya sejajar dengan semua lembaga tinggi lainnya, tak terkecuali MK.[3]


Dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan oleh kekuasaan eksekutif (Presiden), maka MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman (yudicial of power) yang lahir dari ketidak-adilan dan pelanggaran konstitusi (UUD 1945) merupakan lembaga mandiri  yang tidak dapat diintervensi oleh lembaga manapun, meskipun keanggotaan dari 9 (Sembilan) hakim konstistusi berasal dari 3 orang hakim yang dipilih oleh Presiden, di mana tugas, wewenang struktur dalam hukum acaranya diatur dalam UUD yang notabene disahkan oleh Presiden. Meskipun demikian tidak berarti kedudukan MK subordinasi dari kedudukan Presiden, melainkan kedudukan MK sejajar.[4]

[1] Soimin, SH., M.Hum dan Mashuriyanto, S.IP, Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2013), hlm. 62
[2] Soimin, SH., M.Hum dan Mashuriyanto, S.IP, Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2013), hlm. 74-75
[3] Soimin, SH., M.Hum dan Mashuriyanto, S.IP, Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2013), hlm. 78-79
[4] Soimin, SH., M.Hum dan Mashuriyanto, S.IP, Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2013), hlm. 83-84

Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi adalah keputusan terakhir yang diambil dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) Konstitusi. Rancangan putusan disusun oleh Anggota Hakim Panel yang mengani perkara tersebut yang menyetujui isi keputusan akhir. Jika semua anggota hakim panel tersebut mempunyai pendapat berbeda dengan putusan yang disetujui oleh RPH, tugas pernacang putusan diserahkan kepada hakim lain yang mempunyai pendapat yang sama dengan RPH.


Isi putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat :

  • Kepala Putusan yang berbunyi :”Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”;
  • Identitas Pemohon dan Termohon;
  • Ringkasan pemeriksaan yang memuat:

    1. Tanggal diterima dan diperbaikinya permohonan;
    2. Isi permohonan;
    3. Alat-alat bukti yang diajukan oleh Para Pihak;
    4. Hasil peemriksaan terhadap Termohon;
    5. Keterangan Pihak Terkait;

  • Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;
  • Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan, mengenai:
    1. Kedudukan hukum (Legal Standing) Pemohon;
    2. Kewenangan Mahkamah Konstitusi;, dan
    3. Pokok Perkara;

  • Amar putusan, dapat berupa pernyataan bahwa permohonan:
    1. Tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard), jika pemohon tidak mempunyai legal standing atau Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai keweangan memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan;
    2. Dikabulkan, jika pemohon beralasan, atau;
    3. Ditolak, jila permohonan pemohon tidak beralasan.

7.)        Pendapat berbeda (dissenting opinion) dari hakim yang tidak menyetujui isi putusan, dan alasan berbeda (corcurring opinion) dari hakim yang menyetujui putusan, tetapi dengan alasan yang berbeda dengan alasan yang tercantum dalam pertimbangan perkara; dan


8.)        Hari, tanggal putusan disetujui dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dan diucapkan, nama hakim, dan panitera pengganti.


Walaupun dalam Pasal 57 ayat (3) ditentukan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan pengujian undang-undang wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat dalam 30 hari kerja sejak putusan diucapkan, hal itu tidak berarti putusan Mahkamah Konstitusi berlaku sejak dimuat dalam Berita Negara. Permuatan putusan dalam Berita Negara berfungsi sebagai registrasi dan sosialisasi, bukan bermakna sebagai pernyataan pemberlakuan putusan.[2]


Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 57 UU Nomor 24 Tahun 2003, putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap (berlaku) sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 58 UU tersebut, khusu dalam pokok pengujian undang-undang, undang-undang yang tengah diuji tetap berlaku sebelum adanya putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD NRI 1945. Sementara itu sesuai dengan ketentuan Pasal 63 masih dalam UU yang sama, dalam perkara sengketa kewenangan lembaga negara, Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan kepada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai adanya putusan dari Mahkamah Konstitusi.


Permohonan yang sudah diputus oleh Mahkamah Konstitusi tidak dapat diajukan kembali. Hal tersebut diatur dalam Pasal 60 UU Nomor 24 Tahun 2003 yang mengatakan bahwa “Terhadap materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.”

[1] Achmad Roestandi, Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab, Cet. 1, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), hlm. 212.
[2] Ibid., hlm. 214.

Jenis Putusan Mahkamah Konstitusi

Seperti halnya perkara pengujian undang-undang, putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional antarlembaga negara tetap terdiri atas tiga kemungkinan, yaitu permohonan dinyatakan tidak dapat diterima, permohonan ditolak, atau permohonan dikabulkan. Namun, selain putusan final tersebut, khusus dalam perkara sengketa kewenangan, Mahkamah Konstitusi berdasarkan ketentuan Pasal 63 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau


termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat mengenai hal itu. Penetapan yang berisi perintah penghentian sementara tersebut merupakan putusan sela atau putusan provisi yang dapat dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi atas permintaan dari pemohon.[1]


Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa berdasarkan Pasal 56 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, dinyatakan bahwa:

  • (1) dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dan Pasal 51, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima.

  • (2) dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.

  • (3) dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  • (4) dalam hal pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.

  • (5) dalam hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.

            Dari ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa jenis putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terdiri dari tiga macam yaitu:


  • Putusan tidak dapat diterima

Putusan ini dikeluarkan apabila MK berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dan Pasal 51 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UUMK). Maksud dari tidak memenuhi syarat di sini dapat ditinjau dari dua hal. Pertama, mengenai kewenangan MK dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukan. Kedua, berkaitan dengan kedudukan hukum (legal standing) pemohon. Untuk menilai apakah pemohon memiliki legal standing atau tidak diukur dari:


  1. Kualifikasi sebagai Pemohon, apakah sudah memenuhi ketentuan dalam Pasal 51 ayat (1) UUMK atau tidak.
  2. Hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkoan pengujian.
  3. Kerugian gak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.

  • Putusan dikabulkan

Putusan ini dikeluarkan apabila MK berpendapat bahwa permohonan pemohon cukup beralasan. Pemohon harus menguraikan alasan yang cukup bahwa suatu materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam suatu undang-undang bertentangan dengan UUD NRI 1945 atau suatu pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD NRI 1945.


  • Putusan ditolak

Putusan ini dikeluarkan apabila MK berpendapat bahwa undang-undang yang diajukan pemohon untuk diuji tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan.

[1] Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, Cet. 1, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), hlm. 226.

Kekuatan Hukum Putusan MK

Secara umum, putusan hakim mempunyai tiga macam kekuatan, yaitu:

  1. Kekuatan mengikat

Suatu putusan pengadilan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Penyerahan sengketa kepada pengadilan mengandung arti bahwa pihak-pihak yang bersangkutan akan tunduk dan pastih pada putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan. Putusan harus dihormati dan para pihak tidak boleh bertindak bertentangan dengan putusan.[1] Terikatnya para pihak pada putusan menimbulkan beberapa teori yang hendak mencoba memberi dasar tentang kekuatan mengikat sebuah putusan.[2]


  1. Kekuatan hukum yang pasti

Suatu putusan memperoleh kekuatan hukum yang pasti atau tetap apabila tidak ada lagi upaya hukum biasa tersedia. Termasuk upaya hukum biasa adalah perlawanan, badning, dan kasasi. Dengan memperoleh kekuatan hukum yang pasti maka putusan itu tidak dapat diubah, sekalipun oleh pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan upaya hukum yang khusus, yaitu request civil dan perlawanan oleh pihak ketiga.[3] Kekuatan pasti suatu putusan yang secara negatif dapat diartikan bahwa hakim tidak boleh lagi memutus perkara pemohonan yang sebelumnya pernah diputuskan.


Kekuatan mengikat dari putusan itu tidak meliputi penetapan-penetapan mengenai peristiwa. Apabila hakim dalam suatu putusan telah mengkonstanstir suatu peristiwa tertentu berdasarkan alat-alat bukti tertentu, maka dalam sengketa lain peristiwa tersebut masih dapat disengketakan.[4] Kekuatan mengikat dari putusan tidak pula meliputi hukum objektif. Sebagai contoh misalnya putusan hakim yang menetapkan apa yang dimaksudkan dengan alas hak dalam pasal 584 KUHPerdata, sedangkan mengenai peristiwanya sendiri tidak disengketakan.[5]


  1. Kekuatan pembuktian

Penuangan putusan dalam bentuk tertulis merupakan akta otentik, bertujuan sebagai alat bukti bagi para pihak, yang mungkin diperlukan untuk mengajukan banding kasasi atau pelaksanaannya.[6] Putusan MK yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara politis bahwa apa yang diputuskan oleh hakim itu telah benar.[7] Pasal 66 UUMK menentukan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan untuk diuji kembali. Dengan demikian adanya putusan MK yang telah menguji satu undang-undang, merupakan alat bukti yang dapat digunakan bahwa telah diperoleh satu kekuatan pasti.


  1. Kekuatan eksekutorial atau kekuatan untuk dilaksanakan

Sebagai satu perbuatan hukum pejabat negara yang dimaksudkan untuk mengakhiri sengketa yang akan meniadakan atau menciptakan hukum yang baru, maka tentu saja diharapkan bahwa putusan tersebut tidak hanya merupakan kata-kata mati di atas kertas. Suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan mentapkan hak dan hukumnya. Ini tidak berarti semata-mata hanya menetapkan hak atau hukumnya saja melainkan juga realisasi atai pelaksanaannya (eksekusinya) secara paksa.


Kekuatan mengikat saja dari suatu putusan pengadilan belumlah cukup dan tidak berarti apabila putusan tersebut tidak dapat direalisasikan atau dilaksanakannya. Oleh karena itu putusan itu menetapkan dengan tegas hak atau hukumnya untuk kemudaian direalisir, maka putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara.


Satu putusan yang mengikat para pihak dalam perkara perdata memberi hak para pihak yang dimenangkan untuk meminta putusan tersebut dieksekusi jikalau menyangkut penghukuman atas pihak yang kalah untuk melakukan sesuatu atau membayar sejumlah uang. Dalam hal demikian dikatakan bahwa putusan yang telah berkekuatan hukum tetap itu mempunya kekuatan eksekutorial yaitu agar apa yang diputuskan dilaksanakan dan jika perlu dengan kekuatan paksa (met sterke arm).


Berkaitan dengan putusan MK dalam pengujian konstitusionalitas Undang-Undang, di dalam Pasal 57 ayat (3) UU MK, dijelaskan bahwa “Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan.” Ketentuan tersebut mempertegas bahwa hakim MK adalah legislator dan putusannya berlaku sebagai undang-undang sehingga dengan putusan tersebut tidak diperlukan lagi amandemen atas undang-undang yang bagian tertentu yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara hukum.


Dengan diumumkannya putusan MK pada Berita Negara sebagaimana diperintahkan Pasal 57 ayat (3) UU MK di atas, berarti putusan MK telah dieksekusi. Dengan ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa putusan MK tidak memberi hak pada pemohon untuk meminta dilaksanakannya putusan tersebut dalam bentuk perubahan undang-undang yang telah diuji MK tersebut karena dengan dimuatnya putusan MK dalam Berita Negara berarti putusan telah diesksekusi.


Pada putusan MK yang berkaitan dengan wewenang lainnya, yaitu dalam hal mengadili sengketa antara lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD dan berkaitan degan penyelesaian sengketa perselisihan hasil pemilihan umum, sedikit agak berbeda dengan pengujian undang-undang. Dalam hal penyelesaian sengketa antar lembaga negara, terdapat dua pihak yang berhadapan yaitu pemohon dan termohon yang sama-sama menganggap mempunyai wewenang yang sah.


Dalam putusan sela MK yang dikeluarkan sebelum putusan akhir diambil dapat memerintahkan agar termohon sebagai lembaga negara tidak melaksanakan wewenang yang dipersengketakan sebelum pokok perkara diputus. Jika putusan akhir membenarkan putusan sela dan dinyatakan termohon sebagai lembaga negara yang tidak berhak menjalankan wewenang yang dipersengketakan kedua belah pihak terikat dan wajib mematuhi putusan tersebut. Dalam hal termohon tidak melaksanakan putusan tersebut, bahwa menurut hukum pemohon sebagai pihak yang dibenarkan oleh MK berhak meminta dilaksanakannya putusan tersebut.


Dalam putusan yang menyangkut perselisihan hasil pemilihan umum, jelas kiranya bahwa pemohon mempunyai hak untuk meminta dan mengikat (final and binding). Artinya tidak dimungkinkan lagi adanya upaya hukum.


Dalam menjalani Putusan Mahkamah Konstitusi, organ undang-undang terkadang tidak mematuhinya secara penuh. Ketidakpatuhan (non complience) ini dapat dicegah terjadi dengan beberapa instrumen, antara lain :

  • Instrumen putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) yang disertai dengan instrumen judicial review, yaitu pengujian terhadap rancangan undang-undang yang belum disahkan menjadi undang-undang. Melalui cara ini, Mahkamah Konstitusi turut serta dalam pembentukan undang-undang sehingga tidak ada lagi perbedaan tafsir yang akan akan terjadi untuk ke depannya pada saat undang-undang tersebut diterapkan. Ada beberapa alasan mengapa instrument ini dapat mengatasi ketidakpatuhan organ undang-undang dalam menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu :

  1. Dapat membongkar kejahatan yang dilakukan oleh organ undang-undang yang disebabkan pemaksaan kehendakan atau kepentingan dan ketidakmampuan organ undang-undang dalam menjalankan tugasnya.

  2. Mahkamah Konstitusi akan mengeluarkan norma hukum untuk memaksa orang undang-undang untuk menjalankan keputusan tersebut. Akibatnya masyarakat dapat menilai keseriusan dari organ undang-undang dalam menjalankan tugasnya.

  3. Kontrol dari masyarakat yang berakibat lebih besar dari putusan Mahkamah Konstitusi sendiri. Perhatian dari masyarakat atas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut secara tidak langsung akan membuat organ undang-undang untuk menaati dan melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
[1] Sudikno Mertokusumo, hlm., 206
[2] Ibid.
[3] Ibid., hlm. 208.
[4] Ibid., hlm. 209.
[5] Ibid.
[6] Ibid., hlm. 210.
[7] Yance Arizona, op.cit., hlm. 14.

Putusan Konstitusional Bersyarat

Putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) adalah hal-hal baru yang dilakukan oleh Mahkamah Agung, untuk beberapa tahun belakangan ini, selama tugasnya dalam menguji konstitusionalitas suatu undang-undang yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Yance Arizona, konstitusional bersyarat adalah putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyartan pada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu undang-undang untuk memperhatikan penafsiran Mahkamah Konstitusi atau konstitusionalitas ketentuan undang-undang yang suda diuji tersebut. Menurut Jimly Asshiddiqie, suatu norma yang ada di masyarkat baru dapat dikatakan  sebagai norma konstitusional bersyarat apabila konstitusionalitasnya digantungkan kepada :


  • Tafsir dan penafsiran atas norma tersebut menurut dasar pertimbangan dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam memutuskannya;
  • Pada pelaksanaan lebih lanjut dari norma tersebut dalam peraturan pelaksanaannya yan nantinya akan ditetapkan dalam pelaksana undang-undang yang bersangkutan; atau
  • Pada penerapan norma ke depannya apakah sesuai dengan substansi putusan Mahkamah Konstitusi dalam membenarkan norma tersebut.

Sebagai contoh, apabila ada pemohon yang mengajukan permohonan atas inkonstitusioanlitas suatu pasal berdasarkan pada kekhawatiran yang mungkin akan terjadi untuk masa yang akan datang apabila pasal tersebut tetap berlaku. Mahkamah Konstitusi masih mengatakan bahwa pasal tersebut berlaku dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar NRI 1945. Bisa disimpulkan bahwa, konstitusional bersyarat atas norma yang diuji.


            Sebagai perbandingan, konstitusional bersyarat di negara lain adalah putusan constitutional requirement yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi Hungaria tahun 1993. Dalam amar putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi Hungaria menyatakan akibat hukum dari uji konstitusional undang-undang, dan menentukan persyaratan konstitusional apa saja yang tidak dipenuhi oleh undang-undang tersebut agar tidak terjadi kekosongan hukum.


Hal ini dikarenkan untuk membatalkan suatu ketentuan yang dianggap tidak konstitusional harus dilihat dari isinya terlebih dahulu (constitutional content) dari norma hukum tersebut. Pada kasus yang terjadi adalah pekara hak seorang anak untuk dapat menyatakan keturunannya. Sebenarnya ada undang-undang yang berkaitan dengan perkara tersebut, namun dinilai telah menghalangi hak anak tersebut untuk menyatakan keturunannya.


            Pada tahap constitutional requirement, putusan hakim konstitusi menggunakan 2 (dua) macam definisi terhadap undang-undang yang akan duji, yaitu :

  • Definisi positif (Positif definition), yaitu menyatakan bahwa produk hukum tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi. Hal ini berakibat dengan ditolaknya permohonan dari pemohon yang mendalilkan suatu pasal dalam undang-undang bertentangan dengan konstitusi.
  • Definisi negatif (Negative definition), yaitu menyatakan bahwa produk hukum tersebut memang bertentangan dengan konstitusi. Oleh sebab itu, pasal-pasal yang bertentangan dengan konstitusi, yang dimohonkan oleh pemohon akan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Definisi tersebut yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam menolak atau mengabulkan suatu permohonan atas pengujian dari produk hukum.

            Putusan bersyarat baru terjadi pada tahun 2003 dalam kinerja Mahkamah Agung. Mahkamah Agung dalam mengeluarkan putusan bersyarat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu secara implisit dan eksplisit. Impisit di sini maksudnya adalah tidak secara jelas disebutkan bahwa putusan tersebut bersifat konstitusional bersyarat. Sedangkan yang dimaksudkan dengan eksplisit adalah secara jelas disebutkan bahwa putusan tersebut adalah putusan konstitusional bersyata. Sampai saat ini sudah ada beberapa putusan konstitusional bersyarat yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung antara lain :


  • Putusan Perkara Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 tentang Penguasaan Negara Atas Sumber Daya Air
  • Putusan Perkara Nomor 003/PUU-IV/2006 tentang Perbuatan Hukum Materiil Dalam Tindak Pidana Korupsi
  • Putusan Perkara Nomor 14-17/PUU-V/2007 tentang Persyaratan Tidak Pernah Dipidana Untuk Menduduki Jabatan Publik
  • Putusan Perkara Nomor 21-22/PUU/2007 tentang Kekuasaan Negara Dalam Kegiatan Penanaman Modal
  • Putusan Perkara Nomor 29/PUU-V/2007 tentang Ketentuan Sensor Film
  • Putusan Perkara Nomor 10/PUU-VI/2008 tentang Syarat Domisili Bagi Calon Anggota DPD
  • Putusan Perkara Nomor 15/PUU-VI/2008 tentang Syarat Tidak Pernah Dipidana Bagi Calon Anggota DPR
  • Putusan Perkara Nomor 026/PUU-III/2005 tentang Ketentuan Pengalokasian Dana Pendidikan Kurang Dari 20% (dua puluh persen) dalam APBN Tahun 2008
  • Putusan Perkara Nomor 012-016-019/PUU-VI/2006 tentang Kekuasaan KPK dan Kebebasan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
  • Putusan Perkara Nomor 18/PUU-V/2007 tentang Keterlibatan DPR Dalam Proses Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc.

Pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam menetapkan Konstitusional Bersyarat (Conditionally Constitutional)

Pertimbangan MK dalam menetapkan putusan konstitusional bersyarat

Judul Perkara Pertimbangan Mahkamah Konsttusi (syarat konstitusionalitas)
Putusan tentang Penguasaan negara atas Sumber Daya Air Bahwa UU SDA tetap konstitusional apabila peraturan pelaksana UU SDA sesuai dengan hak penguasaan negara atas sumber daya air, yaitu merumuskan kebijaksanaan (beleid); melakukan tindakan pengurusan (bestuurdaad); melakukan pengaturan (regelendaad); melakukan pengelolaan (beherersdaad); dan melakukan pengawasan (toezichthoundendaad) sebagai pelaksanaan atas kewajiban pemerintah didalam menghormati (respect), melindungi (protect), dan memenuhi (fulfill) hak warga negara atas air.

 

Putusan tentang Perbuatan Hukum Materiil Dalam Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 ayat (1) UU PTPK tetap konstitusional sepanjang dalam pelaksanaannya oleh aparat hukum ditafsirkan bahwa unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus dapat dihitung meskipun belum terjadi.

 

Putusan tentang Persyaratan tidak pernah dipidana untuk menduduki jabatan publik

 

Bahwa persyaratan tidak pernah dipidana untuk menduduki jabatan publik sebagaimana diatur dalam undang-undang yang dimohonkan adalah konstitusional hanya jika: (i) tidak mencakup tindak pidana yang timbul karena kealpaan ringan (culpa levis), dan (ii) tidak mencakup kejahatan politik.
Putusan tentang Kekuasaan Negara Dalam Kegiatan Penanaman Modal Bahwa Pasal 12 ayat (2) huruf b UU Penanaman Modal tetap konstitusional sepanjang di tafsirkan bahwa selain bidang-bidang usaha yang telah dinyatakan sebagai bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal asing oleh undang-undang a quo (yaitu produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang), juga terdapat bidang-bidang lain yang undang-undang lain secara eksplisit dinyatakan tertutup bagi penanaman modal asing.
Putusan tentang Ketentuan Sensor Film Bahwa UU Perfilman tetap konstitusional sepanjang dalam pelaksanaanya dimaknai dengan semangat baru untuk menjunjung tinggi demokrasi dan HAM
Putusan tentang Syarat domisili bagi calon anggota DPD Pasal 12 huruf C UU Pemilu tetap konstitusional sepanjang dimaknai memuat syarat domisili di propinsi
Putusan tentang Syarat tidak pernah dipidana bagi calon anggota DPR Bahwa pasal 50 ayat (1) huruf g UU Pemilu yang menyatakan “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima ) tahun” tetap konstitusional sepanjang dimaknai tidak menyangkut kejahatan politik dan tindak pidana karena kealpaan ringan (culpa levis)
Putusan tentang ketentuan pengalokasian dana pendidikan kurang dari 20 persen dalam APBN tahun 2008 Bahwa UU APBN 2006 tetap mengikat secara hukum dapat dilaksanakan sebagai dasar hukum sepanjang pelaksanaan APBN dengan mewajibkan bagi Pemerintah dan DPR untuk mengalokasikan kelebihan dana yang akan diperoleh dari hasil penghematan belanja negara dan/atau hasil peningkatan pendapatan pada anggaran pendidikan APBN-P 2006
Putusan tentang Kekuasaan KPK dan Kebebasan pengadilan tindak pidana korupsi Bahwa Pasal 53 UU KPK tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan Undang-Undang (pembentukan undang-undang dengan semangat pemberantasan korupsi) paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung putusan diucapkan
Putusan tetntang Keterlibatan DPR dalam proses pembentukan pengadilan HAM Ad-Hoc Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM harusnya ditafsirkan bahwa DPR dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM Ad-hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan  penyidikan dari institusi yang berwenang untuk itu. Oleh karena itu, DPR tidak akan serta merta menduga sendiri tanpa memperoleh hasil penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu dari institusi yang berwenang, dalam hal ini Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai penyidik sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000

Ciri dan Karakteristik Putusan Konstitusional Bersyarat (Conditionally Constitusional)

Berdasarkan analisa pada putusan-putusan konstitusional bersyarat diatas, ditemukan beberapa ciri dan karakteristik putusan konstitusionalitas bersyarat, yang beberapa diantaranya bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Adapun ciri dan karakteristik putusan konstitusinal bersyarat (conditionally constituonal) sebagai berikut:

Ciri dan karakteristik putusan konstitusionalitas bersyarat (conditionally constitutional) Undang-Undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
  • Putusan konstitusional bersyarat memuat secara eksplisit ataupun implisit syarat/content konstitusionalitas undang-undang
Tidak diatur dalam UU MK
  • Tafsiran MK dalam putusan konstitusional bersyarat mengikat kepada organ undang-undang dalam pernafsiran, pembentukan, maupun praktek pelaksanaan peraturan perundang-undangan
Tidak diatur dalam UU MK
  • Putusan konsititusional bersyarat tidak bersifat final yang mengikat. Undang-Undang yang pernah diuji dapat dimohonkan pengujian kembali, manakala pembentukan peraturan perundang-undangan maupun praktek pelaksanaan peraturan perundang-undangan tidak sesuai atau bertentangan dengan tafsiran MK dalam putusan konstitusional bersyarat
Pasal 10

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :

  1. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesua tahun 1945
  2. ……..

Pasal 60

terhadap materi muatan ayat, pasal, dan atau bagian dalam unda ng-undang yang telah tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.

  • MK mengalami kesulitan dalam menentukan amar putusan dikarenakan tidak adanya kesesuaian antara pertimbangan-pertimbangan MK dengan ketentuan yang ada dalam UU MK. Misalnya: Tidak ada kesesuaian antara pertimbangan MK dengan amar putusan dalam UU MK.
Pasal 56

(1)   Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 50 dan 51, amar putusan meyatakan bahwa permohonan tidak dapat diterima.

(2)   dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohona  beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.

(3)   Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945

(4)   Dalam hal pembentukan UU yang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UU NRI Tahun 1945, amar putusannya menyatakan permohonan dikabulkan.

(5)   Dalam hal UU dimaksud tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, ama putusannya menyatakan permohonan ditolak.

  • Sebagian besar putusan konstitusionalitas bersyarat, terjadi dalam permohonan yang dinyatakan tidak beralasan, sehingga apabila mengacu dalam UU MK seharusnya permohonan dinyatakan ditolak
  • Putusan konstitusional bersyarat dapat terjadi (karena permohonan beralasan, undang-undang yang dimohonkan bertentangan secara terbatas dengan UUD NRI 1945, dan undang-undang tetap dinyatakan berkekuatan hukum mengikat)
Pasal 57

(1)   Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

(2)   Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan undang-undang berdasarkan dengan UUD NRI tahun 1945, Undang-Undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

  • Putusan konstitusional bersyarat dapat juga terjadi (karena permohonan  beralasan, undang-undang yang dimohonkan bertentangan dengan UUD NRI 1945, dan undang-undang tetap dinyatakan berkekuatan hukum mengikat)
  • Putusan konstitusional bersyarat dimaksudkan untuk menghindari kekosongan hukum akibat putusan MK
  • Putusan Konstitusional bersyarat telah mengantarkan MK tidak hanya sebagai penafsir Undang-Undang, melainkan sekaligus sebagai pembentuk undang-undang (positive legislator). Dalam beberapa putusan konstitusional bersyarat MK telah menguji norma yang secara eksplisit tidak tercantum dalam undang-undang-undang
Pasal 51 (3)

Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa:

  1. Pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD NRI tahun 1945
  2. Materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan  UUD NRI tahun 1945
  • Dalam putusan konstistusional bersyarat, konstitusionalitas UU digantungkan pada keadaan waktu atau batas wPaktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam putusan MK
Pasal 47

Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum

 

Perbandingan antara putusan MK menurut UU MK dengan putusan konstitusionalitas bersyarat (consitionally constitutional), dapat digambarkan sebagai berikut :

Putusan pengujian UU menurut UU MK Putusan konstitusional bersyarat dalam praktek Keterangan
Sifat putusan Final dan Mengikat (Legally binding) Tidak bersifat final dan mengikat (not final dan binding) Dalam putusan konstitusionalitas bersyarat, undang- undang yang pernah diuji dapat iuji kembali. Konstitusionalitas undang-undang digantungkan pada penafsiran, pembentukan, praktek pelaksanaan peraturan perundang-undangan, keadaan waktu tertentu dan batas waktu tertentu
Jenis putusan Declaratoir of constitutief Condemnatoir declaratoir constitutief Putusan konstitusional bersyarat selain  meniadakan keadaan hukum atau membentuk keadaan hukum baru, dapat juga memerintahkan organ undang-undang untuk melaksanakan putusan MK
Norma yang diujikan Secara eksplisit tercantum dalam undang-undang Secara eksplist dan implisit Dalam putusan konstitusional bersyarat, memungkinkan MK menguji norma yang tidak secara ekspilist tercantum dalam undang-undang, artinya MK menguji norma yang tidak ada terhadap UUD NRI 1945
Peran MK Negative legislator Negative legoslator dan positove legoslator Dalam putusan konstitusional bersyarat, MK membentukn norma baru yang sifatnya mengatur.

 

Akibat Hukum Putusan

Amar dan putusan Tidak memnuhi syarat (tidak diterima), tidak beralasan (ditolak), beralasan (dikabulkan) Tidak beralasan, putusan (conditionally constitutional); beralasan (conditionally constitutional) Putusan konstitusional bersyarat dapat terjadi dalam hal amar putusan tidak beralasan atau beralasan namun putusannya tidak dapat dimasukkan dalam salah satu jenis putusan menurut UU MK
Peraturan Terkait Permohonan dikabulkan, peraturan terkait tidak mepunyai kekuatan hukum Permohonan dikabulkan, peraturan tekait tetap mempunyai kekuatan hukum namun berlakunya dengan persyaratan tertentu.

Putusan MK bersifat final dan mengikat, yaitu setelah diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum, seketika putusan MK menjadi hukum (legally binding), dan tidak ada lagi upaya hukum setelah itu. Sementara itu, putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) masih memungkinkan untuk dilakukan pengujian kembali (rejudicial review). Dalam putusan konstitusional bersyarat, konstitusional undang-undang digantungkan pada syarat-syarat konstitusionalitas menurut tafsiran MK. Apabila organ undang-undang dalam penafsiran, pembentukan, dan praktek pelaksanaan peraturan perundang-undangan, tidak sesuai dengan tafsiran MK, maka undang-undang yang pernah diujikan ke MK memungkinkan untuk dimohonkan pengujian kembali (rejudicial review)


  • Putusan konstitusional bersyarat dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Dalam putusan konstitusional bersyarat, undang-undang yang pernah diuji dapat dimohonkan pengujian kembali (rejudicial review), apabila syarat-syarat konstitusionalitas undang-undang sebagaimana tafsiran MK ditaati organ undang-undang
  • Putusan konstitusionalitas bersyarat dapat menyebabkan krisis konstitusionalitas undang-undang, karena memungkinkan pengujian yang terus menerus terhadap yang sama. Adanya potensi pengujian konstitusioanlitas undang-undang yang sama secara terus menerus kepada MK, secara tidak langsung telah menyimpangi ketentuan UU MK dan UU NRI 1945.

Pasal 60 UU MK menyatakan bahwa “terhadap materi muatan, ayat, pasal, dan atau bagian dalam undang-undang yag telah diuji tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.” Pembentuk undang-undang telah menetapkan MK sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang, dengan putusan yang bersifat fianl dan terbuka untuk umum.


Artinya, setelah dibacakan putusan MK, tidak ada lagi upaya hukum yang dapat ditempuh dan putusan MK mengikat kepada seluruh Warga Negara Indonesia dan organ Undang-Undang. Putusan kosntituisonal bersyarat memberikan peluang pengujian kembali (rejudicial review) undang-undang yang pernah diujikan kepada MK. Dengan demikian, putusan konstitusional bersyarat telah mendapatakan sifat final dan mengikat putusan MK sebagaimana ditentukan dalam UUD NRI 1945 maupun UU MK.


Ketidaksesuaian antara desain pengujian konstitusionalitas undang-undang yang ditetapkan UUD NRI 1945 maupun UU MK dengan oraktek putusan konstituisionalitas bersyarat yang terjadi secara berulang-ulang, sama saja membiarkan penyimpangan konstitusional secara terus menerus oleh organ undang-undang. Keadaan tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidaktaatan terhadap UUD NRI 1945 dan UU MK yang daoat meyebabkan krisis konstitusional yang membayahakan dalam ketatanegaraan Indonesia.

  • Putusan konstitusional bersyarat telah mengantarkan MK terjebak dalam ranah kekuasaan legislatif (positive legislator). Dalam putusan konstitusionalitas bersyarat MK tidak sekedar menguji konstitusionalitas undang-undang atau menetapkan pembatalan sebuah norma dalam undang-undang, menetepkan norma baru dalam sebuah undang-undang, dan juga dapat menetapkan putusan yang sifatnya mengatur organ undang-undang dan seluruh Warga Negara Indonesia.

Sebagai contoh misalnya. Putusan konstitusional bersyarat dalam putusan perkara nomor 1/PUUI/2008 tentang syarat domisili calon anggota DPD pada pemilu 2009. MK menguji norma yang secara eksplisit tidak tercantum dalam UU Pemilu. Dalam putusannya, MK menetapkan syarat domisili sebagai salah satu syarat calon anggota DPD. Dalam hal ini, MK telah menambah dan membuat norma baru, yang sebenarnya tidak tercantum pada pasal 12 dan Pasal 16 UU Pemilu.


Berkaitan dengan putusan MK yang mulai ekspansif kedalam kekuasaan legislatif, Moh. Mahfud MD, dalam makalahnya berjudul Mahkamah Konstitusi dan Independence of Judiciary dalam Negara Hukum Yang Demokratis.[1] Menyebutkan mengenai 10 rambu yang harus dijadikan landasan MK dan para hakimnya dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya, diantaranya adalah: (i) MK tidak boleh membuat putusan yang sifatnya mengatur, pembatalan UU tidak boleh disertai pengaturan, karena pengaturan adalah ranah legislatif.


MK hanya boleh mengatakan suatu UU atau isinya konstitusional atau tidak konstitusional; (ii) MK tidak boleh membuat ultra petita, sebab ultra petita berarti mengintervensi ranah legislatif. (iii) MK tiak boleh mendalilkan UU sebagai dasar pembatalan UU lainnya, sebab tugas MK itu menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD, bukan UU terhadap UU lainnya. Tumpang tindih antara berbagai UU menjadi bagian legislative review.[2]


  • Putusan konstitusional bersyarat dapat menyebabkan ketidakharmonisan di antara organ undang-undang. Beberapa karakteristik putusan konstitusional bersyarat adalah dalam putusan tersebut, MK dapat menafsirkan dan menentukan knstitusionalitas undang-undangberdasarkan otoritasnya sendiri, MK dapat membentuk dan menetapkan norma baru yang tidak ada dalam undang-undang, MK dapat menetapkan putusan yang sifatnya mengatur organ undang-undang dan seluruh WNI, dan dalam putusan konstituisonal bersyarat MK juga dapat memerintahkan organ undang-undang dan pihak terkait untuk melaksanakan putusan MK. Beberapa karakteristik putusan konstitusional bersyarat diatas, telah menjadikan MK sebagai lembaga superbody, penafsir tunggal konstitusi yang tidak ada penyeimbangnya , selain Tuhan Yang Maha Kuasa.

Putusan konstitusional bersyarat secara perlahan telah mengambil sebagian fungsi dan kewenangan organ undang-undang lainnya. Padahal belum ada amandemen terhadap UUD NRI 1945 yang menambahkan atau mengurangi fungsi dan kewenangan MK dan organ undang-undang lainnya. Ekspansi kekuasaan MK kedalam kekuasaan organ lainnya dapat menimbulkan konflik dengan organ undang-undang lainnya. Apabila konflik ini terjadi, maka dapat menghambat pelaksanaan putusan MK. Akibat jaminan terhadap hak-hak konstitusional warga negara tidak terlaksana.


Putusan konstitusiona bersyarat telah menjadi praktek dalam peradilan konstitusi di Indonesia dan beberapa negara lain didunia. Putusan konstitusional bersyarat telah menjadi preseden dala pengujian konstitusionalitas undang-undang di Indonesia. Selama kurun waktu lima tahun awal pembentukan MK, MK telah mempraktekkan putusan konstitusional bersyarat tidak kurang dari sepuluh kali. Beberapa putusan diantaranya, MK menggunakan pertimbangan-pertimbangan yang sama seperti putusan konstitusionalitas bersyarat sebelum-belumnya. Artinya, MK telah beberapa kali mengulang putusan  dengan pertimbangan yang sama. Akibat dari putusan MK tersebut tidak hanya berlaku pada pihak pemohon, melainkan seluruh warga negara dan lembaga-lembaga negara (orga emnes), maka dengan preseden ini, menjadikan MK tidak dapat mengelak dalam mengadili perkara yang sama dikemudian hari.


Tabel

Organ undang-undang yang terkait dengan putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional)

 

Syarat konstitusional undang-undang

 

Organ undang-undang terkait

UU SDA tetap konstitusional apabila peraturan pelaksana UU SDA sesuai dengan hak penguasaan negara atas sumber daya air, yaitu merumuskan kebijaksanaan (beleid); melakukan tindakan pengurusan (bestuurdaad); melakukan pengaturan (regelendaad); melakukan pengelolaan (beherersdaad); dan melakukan pengawasan (toezichthoundendaad) sebagai pelaksanaan atas kewajiban pemerintah didalam menghormati (respect), melindungi (protect), dan memenuhi (fulfill) hak warga negara atas air.  

 

 

Eksekutif

Pasal 2 ayat (1) UU PTPK tetap konstitusional sepanjang dalam praktek ditafsirkan bahwa unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus dapat dihitung meskipun belum terjadi.  

Yudikatif

Persyaratan dalam ketentuan yang dimohonkan dipandang memenuhi tuntutan objektif bagi penentuan persyaratan untuk menduduki suatau jabatan publik adalah konstitusional hanya jika: (i) tidak mencakup tindak pidana yang timbul karena kealpaan ringan (culpa levis), dan (ii) tidak mencakup kejahatan politik.  

 

Eksekutif dan Legislatif

Pasal 12 ayat (2) huruf b UU Penanaman Modal tetap konstitusional sepanjang di tafsirkan bahwa selain bidang-bidang usaha yang telah dinyatakan sebagai bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal asing oleh undang-undang a quo (yaitu produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang), juga terdapat bidang-bidang lain yang undang-undang lain secara eksplisit dinyatakan tertutup bagi penanaman modal asing.  

 

 

Eksekutif dan Legislatif

UU Perfilman tetap konstitusional sepanjang dalam pelaksanaanya dimaknai dengan semangat baru untuk menjunjung tinggi demokrasi dan HAM  

Eksekutif

Pasal 12 huruf C UU Pemilu tetap konstitusional sepanjang dimaknai memuat syarat domisili di propinsi  

Eksekutif dan Legislatif

pasal 50 ayat (1) huruf g UU Pemilu yang menyatakan “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima ) tahun” tetap konstitusional sepanjang dimaknai tidak menyangkut kejahatan politik dan tindak pidana karena kealpaan ringan (culpa levis)  

 

Eksekutif

UU APBN 2006 tetap mengikat secara hukum dapat dilaksanakan sebagai dasar hukum sepanjang pelaksanaan APBN dengan kewajiban bagi Pemerintah dan DPR untuk mengalokasikan kelebihan dana yang akan diperoleh dari hasil penghematan belanja negara dan/atau hasil peningkatan pendapatan pada anggaran pendidikan APBN-P 2006  

 

Eksekutif dan Legislatif

Pasal 53 UU KPK tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan Undang-Undang (pembentukan undang-undang dengan semangat pemberantasan korupsi) paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung putusan diucapkan  

Eksekutif dan Legislatif

Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM harusnya ditafsirkan bahwa DPR dalam merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM Ad-hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan  penyidikan dari institusi yang berwenang untuk itu. Oleh karena itu, DPR tidak akan serta merta menduga sendiri tanpa memperoleh hasil penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu dari institusi yang berwenang, dalam hal ini Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai penyidik sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000  

 

 

 

Legislatif

[1] Makalah untuk kelengkapan seleksi calon Hakim MK, 10 Maret 2008, hlm. 3.Dalam pendapat ahli pada putusan perkara nomor 10/PUU-I/2008, hlm. 135.
[2] Ibid., Hlm. 135.

Implementasi Putusan Konstitusionalitas Bersyarat (Conditionally Constitutional)

Dalam perkara perdata, suatu perjara diajukan oeh pihak yang bersangkutan kepada pengadilan adalah untuk medapatkan pemeahan atau penyelesaian. Pemeriksaan perkara tersebut diakhiri dengan putusan, akan tetapi dengan dijatuhkan putuasan saja belumlah selesai persoalannya. Putusan tersebut harus dapat dilaksanakan atau dijalankan. Suatu putusan pengadilan tidak ada artinya apabila tidak dapat dilaksanakan.[1] Begitu pula dengan putusan MK. Tentunya pemohon berharap dengan mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas undang-undang kepada MK, maka apabila MK megeluarkan putusan yang bersifat final dan mengikat, maka kerugian konstituisonal pemohon dapat segera terpulihkan. Putusan final dan mengikat tidak akan ada gunanya apabila tidak ada implementasi putusan tersebut oleh organ-organ undang-undang.


Persoalan implementasi putusan MK, menjadi satu persoalan krusial dalam pengujian undang-undang  Tidak diresponnya putusan yang bersifat final dan mengikat berarti telah menimbulkan krisis konstitusional. Yang dapat menyebabkan hilangnya kewibawaaan MK sebagai pengadilan pertama dan terakhir yang mendapatkan mandat konstitusi sebagai penjaga dan penafsir konstitusi.  Namun demikian, fakta menunjukkan bahwa banyak putusan MK yang tidak mendapatkan respon positif dari organ konstitusi lainnya, bahkan tidak jarang memperoleh tantangan sengit dari segelintir aktor-aktor negara nonjudicial.


Berkaitan dengan implementasi putusan MK, di dalam UUD NRI 1945 maupun UU MK telah secara tegas dinyatakan, pada Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945 dan Pasal 10 ayat (1) UU MK menegaskan bahwa “Mahkamah Kontitusi berhak mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945”.  Selanjutnya dalam dalam Pasal 57 UU MK, dinyatakan bahwa “Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusann diucapkan.” Hal ini dimaksudkan agar putusan diimplementasikan oleh organ undang-undang lainnya, maka UU MK memerintahkan kepada MK untuk menyerahkan putusan MK kepada organ Undang-Undang dasar lainnya.


Contoh dari implementasi Putusan konstitusional bersyarat yang terdapat pada Putusan Perkara Nomor 29/PUU-V/2007 tentang Ketentuan Sensor Film, yaitu pada bagian konklusi 4.1.2 :

“Bahwa untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum yang berakibat terjadinya ketidakpastian hukum, keberadaan UU Perfilman a quo beserta ketentuan tentang sensor dan lembaga sensor film yang termuat di 230 dalamnya, tetap dapat dipertahankan keberlakuannya, sepanjang dalam pelaksanaannya dimaknai dengan semangat baru untuk menjunjung tinggi demokrasi dan HAM atau dengan kata lain UU Perfilman a quo yang ada beserta semua ketentuan mengenai sensor yang dimuat di dalamnya bersifat conditionally constitutional (konstitusional bersyarat). Oleh karena itu, keberadaan sensor dan lembaga sensor (LSF) yang tercantum dalam UU Perfilman sepanjang memenuhi syarat-syarat tersebut di atas tetap konstitusional.”


[1] Sudikno Mertokusumo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, hal. 239

DAFTAR PUSTAKA
  • BUKU
Asshiddiqie, Jimly. 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
________________. 2006. Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Konstitusi Press, Jakarta.
_______________. 2006. Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
_______________. 2006. Setengah Abad Jimly Asshiddiqie Konstitusi Semangat, Sumber Agung, Jakarta.
Fadjar, Abdul Mukhtie. 2006. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta.
Mertokusumo, Sudikno. 1993. Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
____________________. 1999. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta
Roestandi, Achmad. 2006. Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 2006. Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2001. Penelitian Hukum Normatif, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Soimin  dan  Mashuriyanto. 2013.  Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta: UII Press

  • MAKALAH
Makalah untuk kelengkapan seleksi calon Hakim MK, 10 Maret 2008, hlm. 3. Dalam pendapat ahli pada putusan perkara nomor 10/PUU-I/2008, hlm. 135.
Arizona, Yance, ttt, Dibalik Konstitusionalitas Bersyarat Putusan Mahkamah Konstitusi,ttd, Jakarta
Mungkin Dibawah Ini yang Kamu Cari