Kerajaan Sriwijaya
Latar Belakang Kerajaan Sriwijaya
Wilayah Indonesia terdiri dari pulau besar dan kecil yang dihubungkan oleh selat dan laut, hal ini menyebabkan sarana pelayaran merupakan lalu lintas utama penghubung antar pulau. Pelayaran ini dilakukan dalam rangka mendorong aktivitas perdagangan. Pelayaran perdagangan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia, bukan hanya dalam wilayah Indonesia saja, tetapi telah jauh sampai ke luar wilayah Indonesia.
Pelayaran dan perdagangan di Asia semakin ramai setelah ditemukan jalan melalui laut antara Romawi dan China. Rute jalur laut yang dilalui dalam hubungan dagang China dengan Romawi telah mendorong munculnya hubungan dagang pada daerah-daerah yang dilalui, termasuk wilayah Indonesia. Karena posisi Indonesia yang strategis di tengah-tengah jalur hubungan dagang China dengan Romawi, maka terjadilah hubungan dagang antara Indonesia dan China beserta India.
Agama Hindu-Budha diperkirakan masuk ke Indonesia pada awal Tarikh Masehi, dibawa oleh para musafir dari India. Raja-raja dan para bangsawan yang pertama kali menganut agama ini kemudian membangun kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha seperti Kerajaan Kutai yang terletak di Kalimantan Timur, Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat, Kerajaan Holing, Kerajaan Melayu di Sumatra Selatan dan berpusat di Jambi, Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Mataram Kuno, Kerajaan Kediri, Kerajaan Singasari, Kerajaan Bali dan Pajajaran, serta Kerajaan Majapahit.
Masing-masing kerajaan tentu memiliki sejarah dan peninggalan-peninggalan yang harus kita ketahui. Salah satunya adalah Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan yang terletak di Sumatera Selatan dan beribukota di Palembang ini memiliki nilai sejarah yang tinggi untuk kita ketahui seperti historiografi, sejarah berdirinya, lokasi kerajaan, prasasti-prasasti peninggalan, hubungan regional dan luar negeri, masa kejayaannya, masa kemunduran maupun aspek-aspek kehidupan apa saja yang terkandung dalam kerajaan ini.
Silsilah Raja Kerajaan Sriwijaya
Dari abad ke-7 sampai ke-13 Masehi, Kerajaan Sriwijaya pernah di pimpin oleh raja-raja di bawah ini, yaitu:
- Dapunta Hyang Sri Jayanasa
- Sri IndravarmanChe-li-to-le-pa-mo
- Rudra VikramanLieou-t’eng-wei-kong
- Maharaja WisnuDharmmatunggadewa
- Dharanindra Sanggramadhananjaya
- Samaragrawira
- Samaratungga
- Balaputradewa
- Sri UdayadityavarmanSe-li-hou-ta-hia-li-tan
- Hie-tche (Haji)
- Sri CudamanivarmadevaSe-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa
- Sri MaravijayottunggaSe-li-ma-la-pi
- Sumatrabhumi
- Sangramavijayottungga
- Rajendra Dewa KulottunggaTi-hua-ka-lo
- Rajendra II
- Rajendra III
- Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa
- Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa
- Srimat Sri Udayadityawarma Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa
Catatan Sejarah Kerajaan Sriwijaya
Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam koran berbahasa Belanda dan Indonesia. Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap “San-fo-ts’i”, sebelumnya dibaca “Sribhoja”, dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.
Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts’i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sanskerta dan bahasa Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan. Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang adanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.
Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang), tepatnya di sekitar situs Karanganyar yang kini dijadikan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya. Pendapat ini didasarkan dari foto udara tahun 1984 yang menunjukkan bahwa situs Karanganyar menampilkan bentuk bangunan air, yaitu jaringan kanal, parit, kolam serta pulau buatan yang disusun rapi yang dipastikan situs ini adalah buatan manusia.
Bangunan air ini terdiri atas kolam dan dua pulau berbentuk bujur sangkar dan empat persegi panjang, serta jaringan kanal dengan luas areal meliputi 20 hektar. Di kawasan ini ditemukan banyak peninggalan purbakala yang menunjukkan bahwa kawasan ini pernah menjadi pusat permukiman dan pusat aktifitas manusia. Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang), dengan catatan Malayu tidak di kawasan tersebut.
jika Malayu pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens, yang sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam catatan I Tsing, serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus). Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).
Lokasi Kerajaan Sriwijaya
Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar yang pernah membawa kejayaan kepulauan Nusantara di masa lampau. Bukan saja dikenal di wilayah Indonesia, tetapi hampir setiap bangsa yang berada jauh di luar Indonesia mengenal Kerajaan Sriwijaya. Hal ini disebabkan karena letak Sriwijaya yang sangat strategis dan dekat dengan jalur perdagangan antar bangsa yakni Selat Malaka. Selat Malaka pada masa itu adalah jalur perdagangan ramai yang menghubungkan pedagang-pedagang Cina dengan India maupun Romawi.
George Coedes, seorang sejarawan, menulis karangan berjudul Le Royaume de Crivijaya pada tahun 1918 M. Coedes kemudian menetapkan bahwa Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan. Lebih lanjut, Coedes juga menetapkan bahwa letak ibukota Sriwijaya adalah Palembang, dengan bersandar pada anggapan Groeneveldt dalam karangannya, Notes on the Malay Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Source, yang menyatakan bahwa, San-fo-ts‘I adalah Palembang yang terletak di Sumatera Selatan, yaitu tepatnya di tepi Sungai Musi atau sekitar kota Palembang sekarang.
Dari tepian Sungai Musi di Sumatera Selatan, pengaruh Kerajaan Sriwijaya semakin meluas. Mencakup wilayah Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Bangka, Laut Jawa bagian barat, Bangka, Jambi Hulu, Jawa Barat (Tarumanegara), Semenanjung Malaya hingga ke Tanah Genting Kra.
WILAYAH KEKUASAAN Kerajaan Sriwijaya
Dalam sejarahnya, kerajaan Sriwijaya menguasai bagian barat Nusantara. Salah satu faktor yang menyebabkan Sriwijaya bisa menguasai seluruh bagian Barat Nusantara adalah runtuhnya kerajaan Fu-nan di Indocina. Sebelumnya, Funan adalah satu-satunya pemegang kendali di wilayah perairan Selat Malaka. Faktor lainnya adalah kekuatan armada laut Sriwijaya yang mampu menguasai jalur lalu lintas perdagangan antara India dan Cina.
Dengan kekuatan armada yang besar, Sriwijaya kemudian melakukan ekspansi wilayah hingga ke pulau Jawa. Dalam sumber lain dikatakan bahwa, kekuasaan Sriwijaya sampai ke Brunei di pulau Borneo.
Dari prasasti Kota Kapur yang ditemukan JK Van der Meulen di Pulau Bangka pada bulan Desember 1892 M, diperoleh petunjuk mengenai Kerajaan Sriwijaya yang sedang berusaha menaklukkan Bumi Jawa. Meskipun tidak dijelaskan wilayah mana yang dimaksud dengan Bhumi Jawa dalam prasasti itu, beberapa arkeolog meyakini, yang dimaksud Bhumi Jawa itu adalah Kerajaan Tarumanegara di Pantai Utara Jawa Barat.
Selain dari isi prasasti, wilayah kekuasaan Sriwijaya juga bisa diketahui dari persebaran lokasi prasasti-prasasti peninggalan Sriwjaya tersebut. Di daerah Lampung ditemukan prasasti Palas Pasemah, di Jambi ada Karang Berahi, di Bangka ada Kota kapur, di Riau ada Muara Takus. Semua ini menunjukkan bahwa, daerah-daerah tersebut pernah dikuasai Sriwijaya.
Sumber lain ada yang mengatakan bahwa, kekuasaan Sriwijaya sebenarnya mencapai Philipina. Ini merupakan bukti bahwa, Sriwijaya pernah menguasai sebagian besar wilayah Nusantara.
Sumber Sejarah Kerajaan Sriwijaya
Sejarah berdirinya Kerajaan Sriwijaya yang mendukung keberadaan Kerajaan Sriwijaya berasal dari berita asing dan prasasti-prasasti.
Berikut beberapa sumber dari luar negeri dan dalam negeri :
-
Sumber Cina
Kunjungan I-sting, seorang peziarah Budha dari China pertama kali pada tahun 671 M. Dalam catatannya disebutkan bahwa saat itu terdapat lebih dari seribu orang pendeta Budha di Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta Budha tersebut sama dengan aturan dan upacara yang dilakukan oleh para pendeta Budha di pusat ajaran agama Budha, India. I-tsing tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya untuk belajar bahasa Sansekerta, setelah itu ia berangkat ke Nalanda, India.
Setelah lama belajar di Nalanda, tahun 685 I-tsing kembali ke Sriwijaya dan tinggal selama beberapa tahun untuk menerjemahkan teks-teks Budha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina. Catatan Cina yang lain menyebutkan tentang utusan Sriwijaya yang datang secara rutin ke Cina, yang terakhir pada tahun 988 M.
-
Sumber Arab
Orang-orang Arab sering menyebut Sriwijaya dengan nama Sribuza, Sabay atau Zabaq. Mas‘udi, seorang sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya pada tahun 955 M. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan besar, dengan tentara yang sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kardamunggu, gambir dan beberapa hasil bumi lainya. Bukti lain yang mendukung adalah ditemukannya perkampungan-perkampungan Arab sebagai tempat tinggal sementara di pusat Kerajaan Sriwijaya.
-
Sumber India
Kerajaan Sriwijaya pernah menjalin hubungan dengan raja-raja dari kerajaan-kerajaan di India seperti Kerajaan Nalanda dan Kerajaan Chola. Dengan Kerajaan Nalanda disebutkan bahwa Raja Sriwijaya mendirikan sebuah prasasti yang dikenal dengan nama Prasasti Nalanda. Dalam prasasti tersebut dinyatakan bahwa Raja Nalanda yang bernama Raja Dewa Paladewa berkenan membebaskan 5 desa dari pajak.
Sebagai gantinya, kelima desa tersebut wajib membiayai para mahasiswa dari Kerajaan Sriwijaya yang menuntut ilmu di Kerajaan Nalanda. Di samping menjalin hubungan dengan Kerajaan Nalanda, Kerajaan Sriwijaya juga menjalin hubungan dengan Kerajaan Chola (Cholamandala) yang terletak di India Selatan. Hubungan ini menjadi retak setelah Raja Rajendra Chola ingin menguasai Selat Malaka.
-
Sumber lain
Pada tahun 1886, Beal mengemukakan pendapatnya bahwa Shih-li-fo-shih merupakan suatu daerah yang terletak di tepi Sungai Musi. Sumber lain, yakni Kern, pada tahun 1913 M telah menerbitkan tulisan mengenai Prasasti Kota Kapur, prasasti peninggalan Sriwijaya yang ditemukan di Pulau Bangka. Namun, saat itu, Kern menganggap Sriwijaya yang tercantum pada prasasti itu adalah nama seorang raja, karena Cri biasanya digunakan sebagai sebutan atau gelar raja.
-
Sumber Lokal atau Dalam Negeri
Sumber dalam negeri berasal dari prasasti-prasasti yang dibuat oleh raja-raja dari Kerajaan Sriwijaya. Prasasti-prasasti dari Kerajaan Sriwijaya sebagian besar menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. Prasasti itu antara lain sebagai berikut.
-
Prasasti Kota Kapur
Prasasti ini merupakan yang paling tua, bertarikh 682 M, menceritakan tentang kisah perjalanan suci Dapunta Hyang dari Minana dengan perahu, bersama dua laksa (20.000) tentara dan 200 peti perbekalan, serta 1.213 tentara yang berjalan kaki. Sumber lain menyatakan prasasti ini berisi tentang penaklukan Bumi Jawa yang tidak setia kepada Sriwijaya. Prasasti Kota Kapur ditemukan di Pulau Bangka.
-
Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti berangka tahun 683 M itu menyebutkan bahwa raja Sriwijaya bernama Dapunta Hyang yang membawa tentara sebanyak 20.000 orang berhasil menundukan Minangatamwan. Dengan kemenangan itu, Kerajaan Sriwijaya menjadi makmur. Daerah yang dimaksud Minangatamwan itu kemungkinan adalah daerah Binaga yang terletak di Jambi. Daerah itu sangat strategis untuk perdagangan.
-
Prasasti Talangtuo
Prasasti berangka tahun 684 M itu menyebutkan tentang pembuatan Taman Srikesetra atas perintah Raja Dapunta Hyang.
-
Prasasti Karang Berahi
Prasasti berangka tahun 686 M itu ditemukan di daerah pedalaman Jambi, yang menunjukan penguasaan Sriwijaya atas daerah itu.
-
Prasasti Ligor ( Malaysia )
Tempat ditemukan prasasti ini adalah di daerah Ligor Semenanjung Malaya. Berangka tahun 775 Masehi. Isinya menerangkan bahwa Kerajaan Sriwijaya (Sumatera) mendirikan sebuah pangkalan di Semenanjung Malaya, daerah Ligor untuk mengawasi pelayaran perdagangan di Selat Malaka.
-
Prasasti Nalanda ( India )
Prasasti itu menyebutkan Raja Balaputra Dewa sebagai Raja terakhir dari Dinasti Syailendra yang terusir dari Jawa Tengah akibat kekalahannya melawan Kerajaan Mataram dari Dinasti Sanjaya. Dalam prasasti itu, Balaputra Dewa meminta kepada Raja Nalanda agar mengakui haknya atas Kerajaan Syailendra. Di samping itu, prasasti ini juga menyebutkan bahwa Raja Dewa Paladewa berkenan membebaskan 5 buah desa dari pajak untuk membiayai para mahasiswa Sriwijaya yang belajar di Nalanda.
-
Prasasti Telaga Batu
Prasasti ini ditemukan di sekitar Palembang pada tahun 1918 M. Berbentuk batu lempeng mendekati segi lima, di atasnya ada tujuh kepala ular kobra, dengan sebentuk mangkuk kecil dengan cerat (mulut kecil tempat keluar air) di bawahnya.
Menurut para arkeolog, prasasti ini digunakan untuk pelaksanaan upacara sumpah kesetiaan dan kepatuhan para calon pejabat. Dalam prosesi itu, pejabat yang disumpah meminum air yang dialirkan ke batu dan keluar melalui cerat tersebut. Sebagai sarana untuk upacara persumpahan, prasasti seperti itu biasanya ditempatkan di pusat kerajaan, maka diduga kuat Palembang merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya.
Candi Peninggalan Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya merupakan Kerajaan maritim yang sangat besar, tidak banyak peningalan berupa candi dari kerajaan sriwijaya yang dapat ditemukan. Mengapa demikian, karena letak sriwijaya yang berada di daerah rawa, dikelilingi hutan, serta tidak adanya gunung berapi sebagai sumber batu untuk material bangunan membuat bangunan disana sebagian besar terbuat dari kayu yang hanya dapat bertahan selama 200 tahun.
-
Candi Muara Takus
Situs Candi Muara Takus merupakan situs candi Buddha yang terletak di di Riau. Di dalam kompleks ini terdapat beberapa bangunan candi yang disebut dengan Candi sulung /tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa dan Palangka. Para pakar purbakala belum dapat menentukan secara pasti kapan situs candi ini didirikan, namun candi ini dianggap telah ada pada zaman keemasan Sriwijaya, sehingga beberapa sejarahwan menganggap kawasan ini merupakan salah satu pusat pemerintahan dari kerajaan Sriwijaya.
-
Candi Muaro Jambi
Situs Purbakala Kompleks Percandian Muaro Jambi merupakan sebuah kompleks percandian agama Hindu-Buddha terluas di Indonesia yang kemungkinan besar merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Melayu. Sejak tahun 2009 Kompleks Candi Muaro Jambi telah dicalonkan ke UNESCO untuk menjadi Situs Warisan Dunia.
-
Candi Biaro Bahal
Candi Bahal, Biaro Bahal, atau Candi Portibi yang merupakan candi Buddha aliran Vajrayana terletak Sumatera Utara. Candi ini merupakan kompleks candi (dalam istilah setempat disebut biaro) yang terluas di provinsi Sumatera Utara, karena arealnya melingkupi kompleks Candi Bahal I, Bahal II dan Bahal III.
-
Gapura Sriwijaya
Candi ini terletak di sumatera selatan, dan sedang dalam proses penelitian oleh Koordinator Tim Napak Tilas Gapura Kerajaan Sriwijaya. Mereka menjelaskan di situs Rimba Candi ini keseluruhannya berjumlah 9 gapura. Namun yang baru ditemukan baru tujuh gapura. Kondisi seluruh gapura kerajaan Sriwijaya yang berada di situs Rimba Candi ini dalam keadaan roboh. faktor penyebab gapura tersebut roboh, kemungkinan diakbiatkan oleh faktor alam seperti gempa, erosi dan sebagainya.
-
Candi Kota Kapur
Jangan membayangkan candi di Kota Kapur seperti candi di Jawa yang megah. Lokasi struktur candi terkubur di antara tanaman karet, durian, dan kelapa sawit. Plastik hitam itu berfungsi melindungi batu dari pelapukan, sekaligus untuk mempermudah pencarian kalau suatu saat dilakukan penggalian. Keberadaan Situs Prasasti Kota Kapur sangat erat kaitannya dengan perairan Selat Bangka yang sering dilintasi oleh kapal-kapal nelayan setempat maupun asing.
Menurut sejarah, pada tahun 1700-an di perairan yang jaraknya sekitar 21 mil dari Pantai Kota Kapur (Penagan) tersebut sering terjadi perampokan terhadap kapal-kapal yang melintas oleh para penyamun dan bajak laut yang bersembunyi di sekitar selat Bangka (Kota Kapur dan sekitarnya). Kabar mengenai merajalelanya para bajak laut terdengar oleh Raja Sriwijaya. Menyikapi kondisi tersebut, Raja Sriwijaya mengirimkan pasukan untuk memberantasnya.
Utusan Raja Sriwijaya berhasil menaklukkan para perampok dan penyamun tersebut. Kemudian, agar tidak ada lagi gangguan terhadap kapal-kapal yang melintas dan juga membahayakan Kerajaan Sriwijaya, maka dibuatlah sebuah prasasti yang berisi tentang perjanjian para penyamun dengan Raja Sriwijaya. Ditempat ditemukanya prasasti inilah Candi Kota Kapur ditemukan.
-
Struktur Birokrasi Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya menerapkan struktur birokrasi yang bersifat langsung, karena raja berperan penting dalam pengawasan terhadap tempat-tempat yang dianggap strategis. Raja dapat memberikan penghargaan terhadap penguasa daerah yang setia dan sebaliknya dapat menjatuhi hukumanterhadap penguasa daerah yang tidak setia kepada kerajaan.
Dalam beberapa prasasti disebutkan tentang pelaksanaan suatu keputusan raja, lengkap dengan perincian hadiah atau sanksi yang dapat diterima dalam suatu peristiwa. Selain itu, ditemukan prasasti-prasasti yang mencatat masalah-masalah penyelesaian hokum sengketa antarwarga.
Hal yang menarik bahwa sebagian prasasti memuat ancaman-ancaman atau kutukan-kutukan yang ditujukan kepada keluarga raja itu sendiri. Walaupun kedengarannya aneh, namun ada pendapat yang menganggap bahwa hal itu sangat mungkin terjadi, karena keluarga-keluarga raja yang menjadi ancaman itu, kekuasaannya berada di luar pengawasan langsung dari raja yang berkuasa.
Masa Kejayaan Kerajaan Sriwijaya
Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim, mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.
Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.
Sriwijaya juga disebut berperan dalam menghancurkan kerajaan Medang di Jawa, dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang kemungkinan merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.
Faktor yang mendorong Sriwijaya muncul menjadi kerajaan besar
- Letaknya yang sangat strategis di jalur perdagangan.
- Kemajuan pelayaran dan perdagangan antara Cina dan India melalui Asia
- Runtuhnya Kerajaan Funan di Indocina. Dengan runtuhnya Funan memberikan kesempatan kepada Sriwijaya untuk berkembang sebagai negara maritim menggantikan Funan.
- Sriwijaya mempunyai kemampuan untuk melindungi pelayaran dan perdagangan
di perairan Asia Tenggara dan memaksanya singgah di pelabuhan-pelabuhan.
Masa Kemunduran/Keruntuhan Kerajaan Sriwijaya
Tahun 1025, Rajendra Chola, Raja Chola dari Koromandel, India selatan menaklukkan Kedah dari Sriwijaya dan menguasainya. Kerajaan Chola meneruskan penyerangan dan penaklukannya selama 20 tahun berikutnya ke seluruh imperium Sriwijaya. Meskipun invasi Chola tidak berhasil sepenuhnya, invasi tersebut telah melemahkan hegemoni Sriwijaya yang berakibat terlepasnya beberapa wilayah dengan membentuk kerajaan sendiri, seperti Kediri, sebuah kerajaan yang berbasiskan pada pertanian.
Antara tahun 1079 – 1088, orang Tionghoa mencatat bahwa Sriwijaya mengirimkan duta besar dari Jambi dan Palembang. Tahun 1082 dan 1088, Jambi mengirimkan lebih dari dua duta besar ke China. Pada periode inilah pusat Sriwijaya telah bergeser secara bertahap dari Palembang ke Jambi. Ekspedisi Chola telah melemahkan Palembang, dan Jambi telah menggantikannya sebagai pusat kerajaan.
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni Sriwijaya dan Jawa (Kediri). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat Sriwijaya memeluk Budha. Berdasarkan sumber ini pula dikatakan bahwa beberapa wilayah kerajaan Sriwijaya ingin melepaskan diri, antara lain Kien-pi (Kampe, di utara Sumatra) dan beberapa koloni di semenanjung Malaysia.
Pada masa itu wilayah Sriwijaya meliputi; Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Trengganu), Ling-ya-ssi-kia (Langkasuka), Kilan-tan (Kelantan), Fo-lo-an, Ji-lo-t’ing (Jelutong), Ts’ien-mai, Pa-t’a (Batak), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor), Kia-lo-hi (Grahi, bagian utara semenanjung Malaysia), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-t’o (Sunda), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), and Si-lan (Srilanka).
Pada tahun 1288, Singosari, penerus kerajaan Kediri di Jawa, menaklukan Palembang dan Jambi selama masa ekspedisi Pamalayu. Di tahun 1293, Majapahit pengganti Singosari, memerintah Sumatra. Raja ke-4 Hayam Wuruk memberikan tanggung jawab tersebut kepada Pangeran Adityawarman, seorang peranakan Minang dan Jawa. Pada tahun 1377 terjadi pemberontakan terhadap Majapahit, tetapi pemberontakan tersebut dapat dipadamkan walaupun di selatan Sumatra sering terjadi kekacauan dan pengrusakan.
Kedudukan Sriwijaya makin terdesak karena munculnya kerajaan-kerajaan besar yang juga memiliki kepentingan dalam dunia perdagangan, seperti Kerajaan Siam di sebelah utara. Kerajaan Siam memperluas kekuasaannya ke arah selatan dengan menguasai daerah-daerah di Semenanjung Malaka termasuk Tanah Genting Kra. Jatuhnya Tanah Genting Kra ke dalam kekuasaan Kerajaan Siam mengakibatkan lemahnya kegiatan pelayaran dan perdagangan di Kerajaan Sriwijaya.
Di masa berikutnya, terjadi pengendapan pada Sungai Musi yang berakibat tertutupnya akses pelayaran ke Palembang. Hal ini tentunya sangat merugikan perdagangan kerajaan. Penurunan Sriwijaya terus berlanjut hingga masuknya Islam ke Aceh yang disebarkan oleh pedagang-pedagang Arab dan India. Di akhir abad ke-13, Kerajaan Pasai di bagian utara Sumatra berpindah agama Islam.
Maka sejak akhir abad ke-13 M Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan kecil dan wilayahnya terbatas pada daerah Palembang. Kerajaan Sriwijaya yang kecil dan lemah akhirnya dihancurkan oleh Kerajaan Majapahit pada tahun 1377 M.
Pada tahun 1402, Parameswara, pangeran terakhir Sriwijaya mendirikan Kesultanan Malaka di Semenanjung Malaysia.
Faktor runtuhnya Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya mundur sejak abad ke-10 disebabkan oleh faktor-faktor berikut.
- Perubahan keadaan alam di sekitar Palembang. Sungai Musi, Ogan Komering, dan sejumlah anak sungai lainnya membawa lumpur yang diendapkan di sekitar Palembang sehingga posisinya menjauh dari laut dan perahu sulit merapat.
- Letak Palembang yang makin jauh dari laut menyebabkan daerah itu kurang strategis lagi kedudukannya sebagai pusat perdagangan nasional maupun internasional. Sementara itu, terbukanya Selat Berhala antara Pulau Bangka dan Kepulauan Singkep dapat menyingkatkan jalur perdagangan internasional sehingga Jambi lebih strategis daripada Palembang.
- Dalam bidang politik, Sriwijaya hanya memiliki angkatan laut yang diandalkan. Setelah kekuasaan di Jawa Timur berkembang pada masa Airlangga, Sriwijaya terpaksa mengakui Jawa Timur sebagai pemegang hegemoni di Indonesia bagian timur dan Sriwijaya di bagian barat.
- Adanya serangan militer atas Sriwijaya. Serangan pertama dilakukan oleh Teguh Dharmawangsa terhadap wilayah selatan Sriwijaya (992) hingga menyebabkan utusan yang dikirim ke Cina tidak berani kembali. Serangan kedua dilakukan oleh Colamandala atas Semenanjung Malaya pada tahun 1017 kemudian atas pusat Sriwijaya pada tahun 1023 – 1030.
Dalam serangan ini, Raja Sriwijaya ditawan dan dibawa ke India. Ketika Kertanegara bertakhta di Singasari juga ada usaha penyerangan terhadap Sriwijaya,
namun baru sebatas usaha mengurung Sriwijaya dengan pendudukan atas wilayah Melayu. Akhir dari Kerajaan Sriwijaya adalah pendudukan oleh Majapahit dalam usaha menciptakan kesatuan Nusantara (1377).
-
Kehidupan SISTEM POLITIK DAN PEMERINTAHAN Kerajaan Sriwijaya
Dalam catatan sejarah Indonesia, Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan terbesar pertama yang memiliki pengaruh kuat di Asia Tenggara. Sriwijaya menguasai dan mengontrol seluruh jalur perdagangan di Asia Tenggara, baik yang melalui Selat Sunda, Malaka, Karimata, dan Tanah Genting Kra. Di samping itu, Sriwijaya juga berhasil menguasai daerah Indonesia sebelah barat, Semenanjung Melayu, dan bagian selatan Filipina. Oleh karena itu, Sriwijaya disebut juga Kerajaan Thelasocrasi, yakni kerajaan yang berhasil menguasai pulau-pulau di sekitarnya.
Kebesaran Sriwijaya seperti yang pernah diceritakan para penulis Arab dan Cina itu tak pernah lengkap dan utuh. Raja-raja yang pernah memerintah di sana hanya diketahui tiga nama saja. Sementara itu, bukti-bukti sejarah menunjukkan Kerajaan Sriwijaya berusia cukup panjang, sejak abad ke-7 hingga abad ke-14. Ketiga nama raja itu ialah Raja Dapunta Hyang, Raja Balaputradewa, dan Raja Sanggrama Wijayattunggawarman.
Setelah itu, nama Sriwijaya tenggelam. Selanjutnya, penjelasan mengenai Sriwijaya diperoleh dari sumber yang berasal dari tahun 1477. Penjelasan itu menerangkan bahwa Raja Majapahit mengirimkan tentaranya untuk menaklukan raja-raja Sumatera yang memberontak terhadap kekuasaan Majapahit. Salah satu di antaranya ialah Raja Sriwijaya. Dengan ditaklukannya Kerajaan Sriwijaya oleh Majapahit maka berakhirlah riwayat kerajaan itu.
Raja-raja yang berhasil diketahui pernah memerintah Kerajaan Sriwijaya diantaranya sebagai berikut :
- Raja Dapunta Hyang.
Berita mengenai raja ini diketahui melalui Prasasti Kedukan Bukit (683 M). Pada masa pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang telah berhasil memeperluas wilayak kekuasaannya sampai ke wilayah Jambi, yaitu dengan menduduki daerah Minangatamwan. Daerah ini memiliki arti yang sangat strategis dalam bidang perekonomian, karena daerah ini dekat dengan jalur perhubungan pelayaran perdagangan di Selat Malaka. Sejak awal pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang telah mencita-citakan agar Kerajaan Sriwijaya menjadi Kerajaan Maritim.
- Raja Balaputra Dewa.
Pada awalnya, Raja Balaputra Dewa adalah raja dari kerajaan Syailendra (di Jawa Tengah). Ketika terjadi perang saudara di Kerajaan Syailendra antara Balaputra Dewa dan Pramodhawardani (kakaknya) yang dibantu oleh Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya), Balaputra Dewa mengalami kekalahan. Akibat kekalahan itu, Raja Balaputra Dewa lari ke Sriwijaya. Di Kerajaan Sriwijaya berkuasa Raja Dharma Setru (kakek dari Raja Balaputra Dewa) yang tidak memiliki keturunan, sehingga kedatangan Raja Balaputra Dewa di Kerajaan Sriwijaya disambut baik.
Kemudian, ia diangkat menjadi raja. Pada masa pemerintahan Raja Balaputra Dewa, Kerajaan Sriwijaya berkembang semakin pesat. Raja Balaputra Dewa meningkatkan kegiatan pelayaran dan perdagangan rakyat Sriwijaya. Di samping itu, Raja Balaputra Dewa menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan yang berada di luar wilayah Indonesia, terutama dengan kerajaan-kerajaan yang berada di India, seperti Kerajaan Benggala (Nalanda) maupun Kerajaan Chola. Bahkan pada masa pemerintahannya, kerajaan Sriwijaya menjadi pusat perdagangan dan penyebaran agama Budha di Asia Tenggara.
- Raja Sanggrama Wijayattunggawarman.
Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Sriwijaya mendapat ancaman dari Kerajaan Chola. Di bawah pemerintahan Raja Rajendra Chola, Kerajaan Chola melakukan serangan dan berhasil merebut Kerajaan Sriwijaya. Raja Sriwijaya yang bernama Sanggrama Wijayattunggawarman berhasil ditawan. Namun pada masa pemerintahan Raja Kulotungga I di Kerajaan Cho, Raja Sanggrama Wijayattunggawarman dibebaskan kembali.
-
- Sri Indrawarman (terdapat dalam Berita Cina tahun 724 Masehi)
-
- Rudrawikrama (terdapat dalam Berita Cina tahun 728 Masehi)
-
- Wishnu (terdapat dalam Prasasti Ligor tahun 775 Masehi)
-
- Maharaja (terdapat dalam Berita Arab tahun 851 Masehi)
-
- Sri Udayadityawarman (terdapat dalam Berita Cina tahun 960 Masehi)
-
- Sri Udayaditya (terdapat dalam Berita Cina tahun 962 Masehi)
-
- Sri Sudamaniwarmadewa (terdapat dalam Prasasti Leiden tahun 1044 Masehi)
- Marawijayatunggawarman (terdapat dalam Prasasti Leiden tahun 1044 Masehi)
-
Kehidupan Ekonomi Kerajaan Sriwijaya
Dilihat dari letak geografis, daerah Kerajaan Sriwijaya mempunyai letak yang sangat strategis, yaitu di tengah-tengah jalur pelayaran perdagangan antara India dan Cina. Di samping itu, letak Kerajaan Sriwijaya dekat dengan Selat Malak yang merupakan urat nadi perhubungan bagi daerah-daerah di Asia Tenggara.Kerajaan Sriwijaya mempunyai hubungan perdagangan yang sangat baik dengan saudagar dari Cina, India, Arab dan Madagaskar.
Hasil bumi Kerajaan Sriwijaya merupakan modal utama bagi masyarakatnya untuk terjun dalam aktifitas pelayaran dan perdagangan. Hasil bumi dari Kerajaan Sriwijaya diantaranya; cengkeh, kapulaga, pala, lada, pinang, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, timah, emas, perak, kayu hitam, kayu sapan, rempah-rempah dan penyu. Barang-barang tersebut dijual atau dibarter dengan kain katun, sutera dan porselen melalui relasi dagangnya dengan Cina, India, Arab dan Madagaskar.
Kekayaan Kerajaan Sriwijaya pun juga diperoleh dari:
- Bea masuk dan keluar bandar-bandar Sriwijaya
- Bea cukai semua kapal yang melalui perairan Asia Tenggara.
- Upeti persembahan dari raja-raja negara vasal.
- Hasil keuntungan perdagangan.
Penguasaan Kerajaan Sriwijaya di urat nadi perhubungan pelayaran dan perdagangan Asia Tenggara yaitu di Selat Malaka, mempunyai arti penting bagi perekonomian kerajaan. Karena banyak kapal-kapal asing yang singgah untuk menambah air minum, perbekalan makanan, istirahat, atau melakukan aktivitas perdagangan. Karena bertambah ramainya kegiatan perdagangan di Selat Malaka, Sriwijaya membangun ibukota baru di Semenanjung Malaka, yaitu di Ligor yang dibuktikan dengan Parasasti Ligor (755 M).
Pendirian ibukota Ligor tersebut bukan berarti meninggalkan ibukota di Sumatera Selatan, melainkan hanya untuk melakukan pengawasan lebih dekat terhadap aktivitas perdagangan di Selat Malaka atau menghindari penyeberangan yang dilakukan oleh para pedagang melalui Tanah Genting Kra.
Menurut catatan asing, bumi Sriwijaya menghasilkan cengkeh, kapulaga, pala, lada, pinang, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, timah, emas, perak, kayu hitam, kayu sapan, rempah-rempah dan penyu. Barang-barang tersebut dijual atau dibarter dengan kain katu, sutera dan porselen melalui relasi dagang dengan Cina, India, Arab dan Madagaskar.
Kehidupan Sosial Dan Budaya Kerajaan Sriwijaya
Sriwijaya yang merupakan kerajaan besar penganut agama Budha, serta merupakan pusat agama Budha yang penting di Asia Tenggara dan Asia Timur. Agama Budha yang berkembang di Kerajaan Sriwijaya adalah agama Budha Mahayana. Menurut berita dari Tibet, seorang pendeta bernama Atica datang dan tinggal di Sriwijaya (1011-1023 M) untuk belajar agama Budha dari seorang guru bernama Dharmapala. Menurutnya, Sriwijaya merupakan pusat agama Budha di luar India.
Peninggalan-peninggalan Kerajaan Sriwijaya banyak ditemukan di daerah Palembang, Jambi, Riau, Malaysia, dan Thailand. Ini disebabkan karena Sriwijaya merupakan kerajaan maritim yang selalu berpindah-pindah, tidak menetap di satu tempat dalam kurun waktu yang lama. Prasasti dan situs yang ditemukan di sekitar Palembang, yaitu Prasasti Boom Baru (abad ke7 M), Prasasti Kedukan Bukit (682 M), Prasasti Talangtuo (684 M), Prasasti Telaga Batu ( abad ke-7 M), Situs Candi Angsoka, Situs Kolam Pinishi, dan Situs Tanjung Rawa.
Peninggalan sejarah Kerajaan Sriwijaya lainnya yang ditemukan di Jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu, yaitu Candi Kotamahligai, Candi Kedaton, Candi Gedong I, Candi Gedong II, Candi Gumpung, Candi Tinggi, Candi Kembar batu, Candi Astono dan Kolam Telagorajo, Situs Muarojambi. Di Lampung, prasasti yang ditemukan adalah Prasasti Palas Pasemah dan Prasasti Bungkuk (Jabung). Di Riau, ditemukan Candi Muara Takus yang berbentuk stupa Budha.
-
Hubungan Regional dan Luar Negeri Kerajaan Sriwijaya
Meskipun catatan sejarah dan bukti arkeologi jarang ditemukan, tetapi beberapa menyatakan bahwa pada abad ke-7, Sriwijaya telah melakukan kolonisasi atas seluruh Sumatra, Jawa Barat, dan beberapa daerah di Semenanjung Melayu. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Palembang mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, Melayu, dan India.
Kerajaan Jambi merupakan kekuatan pertama yang menjadi pesaing Sriwijaya yang akhirnya dapat ditaklukkan pada abad ke-7 dan ke-9. Di Jambi, pertambangan emas merupakan sumber ekonomi cukup penting dan kata Suwarnadwipa (pulau emas) mungkin merujuk pada hal ini. Kerajaan Sriwijaya juga membantu menyebarkan kebudayaan Melayu ke seluruh Sumatra, Semenanjung Melayu, dan Kalimantan bagian Barat.
Pada abad ke-11 pengaruh Sriwijaya mulai menyusut. Hal ini ditandai dengan seringnya konflik dengan kerajaan-kerajaan Jawa, pertama dengan Singasari dan kemudian dengan Majapahit. Di akhir masa, pusat kerajaan berpindah dari Palembang ke Jambi.
Pada masa awal, Kerajaan Khmer juga menjadi daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand sebagai ibu kota terakhir kerajaan, walaupun klaim tersebut tidak mendasar. Pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit) dan Khirirat Nikhom.
Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, terutama dalam bidang kebudayaan dan agama. Sebuah prasasti tertahun 860 M mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan seorang biara kepada Universitas Nalada, Pala. Relasi dengan dinasti Chola di India selatan cukup baik dan menjadi buruk setelah terjadi peperangan di abad ke-11. Selain dengan Kerajaan Pala, Sriwijaya juga menjalin hubungan baik dengan Kerajaan Cholamandala.
Raja Sriwijaya yakni Raja Sanggrama Wijayatunggawarman mendirikan sebuah biara (1006 M) di Kerajaan Chola untuk tempat tinggal para bhiksu dari Kerajaan Sriwijaya. Namun, persaingan di bidang pelayaran dan perdagangan membuat keduanya bermusuhan.Raja Rajendra Chola melakukan serangan ke Kerajaan Sriwijaya sampai dua kali. Serangan pertama tahun 1007 M mengalami kegagalan. Pada serangan kedua (1023 M) Kerajaan Chola berhasil merebut kota dan bandar-bandar penting Sriwijaya, bahkan Raja Sanggrama Wijayatunggawarman berhasil ditawan.
- Kesimpulan
Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan bercorak Hindu terbesar di Indonesia, bahkan dijuluki sebagai pusat agama Hindu di luar India. Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan yang sangat kuat dan kaya raya. Terbukti dari sebutan negara maritimnya. Sejarah Kerajaan Sriwijaya dapat diakses dari prasasti-prasasti peninggalan kerajaan baik di dalam maupun di lur negeri serta dari berita-berita asing.
- Saran
Dari keberadaanya kerajaan Sriwijaya di wilayah kita pada masa yang lalu. Maka kita wajib mensyukurinya. Rasa syukur tersebut dapat di wujudkan dalam sikap dan perilaku dengan hati yang tulus serta di dorong rasa tanggung jawab yang tinggi untuk melestarikan dan memelihara budaya nenek moyang kita. Jika kita ikut berpartisipasi dalam menjamin kelestariannya berarti kita ikut mengangkat derajat dan jati diri bangsa. Oleh karena itu marilah kita bersama – sama menjaga dan memelihara peninggalan budaya bangsa yang menjadi kebanggaan kita semua
Daftar Pustaka :
Wikipedia Foundation. 2017. Kerajaan Sriwijaya. Diambil dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Sriwijaya (23 November 2017)
Tulas, Pratama. Kerajaan Sriwijaya. Diambil dari http://tulastulispratama.blogspot.co.id/2012/08/makalah-kerajaan-sriwijaya.html (23 November 2017)
2015, Taupan, Aswal Scorpio, Muhamad Arif, Samsul Farid, Nurlailah. 2015. Sejarah Berbasis Pendidikan Bangsa. Bandung: Penerbit SEWU.
Grafis Media. 2017 Sistem Pemerintahan Kerajaan Sriwijaya.
http://www.pendidikmulia.site/2017/06/sistem-pemerintahan-kerajaan-sriwijaya.html (25 November 2017)
http://septianputrapratama-tp-unbara.blogspot.co.id/2012/11/silsilah-kerajaan-sriwijaya.html
https://kumpulanmakalahdotblog.wordpress.com/2018/01/16/makalah-kerajaan-sriwijaya/
http://ganangalfianto.blogspot.com/2015/04/makalah-kerajaan-sriwijaya-dan-kalingga.html
http://irwanseptiawan90.blogspot.com/2015/05/makalah-kerajaan-sriwijaya-zona-iailm.html
Demikianlah pembahasan mengenai “Kerajaan Sriwijaya” Sejarah & ( Kejayaan – Keruntuhan – Peninggalan ) semoga dengan adanya ulasan tersebut dapat menambah wawasan dan pengetahuan kalian semua, terima kasih banyak atas kunjungannya. 🙂
Baca Juga:
- Kerajaan Kutai : Sejarah, Raja, Dan Peninggalan, Beserta Kehidupan Politiknya Secara Lengkap
- Kerajaan Banten : Sejarah, Raja, Dan Peninggalan, Beserta Masa Kejayaannya Secara Lengkap
- Kerajaan Demak : Sejarah, Raja, Dan Peninggalan, Beserta Masa Kejayaannya Secara Lengkap
- Kerajaan Majapahit : Makalah Sejarah, Raja, Agama, Dan Peninggalan