Penjelasan Ciri-Ciri Helicobacter Pylori Dalam Biologi

Diposting pada

Pengertian Helicobacter Pylori, Ciri, Diagnosis dan Pengobatan adalah bakteri yang menyebabkan peradangan lapisan lambung yang kronis (gastritis) pada manusia. Bakteri ini juga adalah penyebab yang paling umum dari borok-borok (ulcers) diseluruh dunia

helicobacter-pylori

Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Penjelasan Ciri-Ciri Bacillus Anthracis Dalam Biologi

Pengertian Helicobacter Pylori

Helicobacter adalah nama genus kuman yang berbentuk spiral atau batang bengkok dan berflagela yang mengalami adaptasi untuk dapat hidup dalam mukus (lendir) lambung yang menutupi selaput lendir (mukosa) lambung yang bersuasana asam kuat. Kuman ini dapat bertahan hidup dalam suasana asam kuat dengan cara memproduksi enzim urease. Enzim urease akan mengubah urea yang ada dalam cairan lambung menjadi amoniak. Tubuh kuman Helicobacter selalu diliputi oleh awan amoniak ini, dan karenanya dapat bertahan terhadap asam lambung.


Kuman ini bersifat pleomorfik artinya dapat dijumpai dalam beberapa bentuk. Dalam keadaan normal kuman ini berbentuk spiral atau batang bengkok, tetapi dalam keadaan tertentu yang kurang baik akan merubah dirinya menjadi bentuk kokoid yang merupakan bentuk pertahanan yang resisten. Kuman ini termasuk kuman mikroaerofilik artinya hanya tumbuh dalam suasana dimana didapatkan oksigen dalam kadar rendah. Kuman ini mati pada suasana dengan kadar oksigen normal, dan mati dalam keadaan anaerobik sempurna.


Helicobacter pylori (H. pylori) adalah suatu bakteri yang menyebabkan peradangan lapisan lambung yang kronis (gastritis) pada manusia. Bakteri ini juga adalah penyebab yang paling umum dari borok-borok (ulcers) diseluruh dunia. Infeksi H. pylori kemungkinan besar didapat dengan memakan makanan dan air yang tercemar (terkontaminasi) dan melalui kontak orang ke orang. Di Amerika, 30% dari populasi orang dewasa terinfeksi. 50% dari orang-orang yang terinfeksi adalah terinfeksi pada umur 60 tahun. Infeksi lebih umum pada kondisi-kondisi hidup yang penuh sesak dengan sanitasi yang jelek. Pada negara-negara dengan sanitasi yang jelek, 90% dari populasi dewasa dapat terinfeksi. Individu-individu yang terinfeksi biasanya membawa infeksi terus menerus (tak terbatas) hingga mereka dirawat dengan obat-obat untuk membasmi bakteri. Satu dari setiap tujuh pasien dengan infeksi H. pylori akan mengembangkan borok-borok duodenum (usus dua belas jari) atau lambung. H. pylori juga berhubungan dengan kanker perut dan suatu tipe yang jarang dari tumor lymphocytic dari perut yang disebut MALT lymphoma. Mendiagnosis Infeksi Helicobacter Pylori


Infeksi Helicobacter  pylori  (Hp) pada  saluran  cema bagian atas mempunyai  variasi klinis yang luas, mulai dari kelompok asimtomatik sampai tukak peptik, bahkan dihubungkan dengan keganasan di lambung seperti adenokarsinoma  tipe  intestinal  atau mucosal associated lymphoid  tissue (MAIJI) Limfoma

Kuman Helicobacter pylori  bersifat mikroaerofilik  dan hidup di lingkungan yang unik,  dibawah mukus dinding lambung yang bersuasana  asam. Kuman  ini mempunyai  enzim urease  yang dapat memecah ureum menjadi amonia  yang bersifat  basa,  sehingga tercipta lingkungan mikro yang memungkinkan kuman  ini bertahan  hidup.  Karena itu prosedur diagnostik  cukup sulit  karena  harus melakukan tindakan yang invasif yaitu dengan  melakukan  gastroskopi untuk mendapatkan  spesimen  yang diperlukan  untuk pemeriksaan  langsung,  histopatologi  ataupun kultur mikrobiologi. Selain  itu terdapat pemeriksaan  non  invasif seperti  tes serologi  dan urea breath  test (UBT).


Sebagian besar individu yang terkena infeksi H. pylori tidak mengalami keluhan walaupun pada pemeriksaan biopsi mukosa lambung pada kasus-kasus asimptomatik sebagian besar didapatkan gambaran gastritis kronik aktif.

Cara penegakkan diagnosa yang banyak dipakai dengan  hasil yang baik adalah dengan diagnosa histologis.Cara lain adalah tes napas urea (urea breath test) dan pemeriksaan serologik. Kedua cara ini tidak memerlukan endoskopi.Belakangan  ini ditemukan cara diagnosa infeksi H. pylori dengan cara deteksi antigen kuman H. pylori pada tinja penderita dengan metoda Elisa


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Penjelasan Ciri-Ciri Clostridium Tetani Dalam Biologi


Epidemiologi Helicobacter Pylori

Prevalensi infeksi Helicobacter Pylori di negara berkembang lebih tinggi dibandingkan negara maju. Prevalensi pada populasi negara maju sekitar 30-40%, sedangkan di negara berkembang mencapai 80-90%. Dari jumlah tersebut hanya sekitar 10-20% yang akan menjadi penyakit gastroduodenal.

Studi seroepidemiologi di Indonesia menunjukkan prevalensi 36-46,1% dengan usia termuda 5 bulan. Pada kelompok usia muda dibawah 5 tahun 5,3-15,4% telah terinfeksi, dan diduga infeksi pada usia dini berperan sebagai faktor resiko timbulnya degenerasi maligna pada usia yang lebih lanjut, karena kenyataannya prevalensi kanker lambung di indonesia relatif rendah, demikian pula prevalensi tukak peptik. Agaknya selain faktor bakteri, faktor pejamu dan faktor lingkungan yang berbeda akan menentukan terjadinya kelainan patologis akibat infeksi.


Secara umum telah diketahui bahwa infeksi HP merupakan masalah global, tetapi mekanisme transmisi apakah oral-oral atau fekal oral belum diketahui dengan pasti. Studi di Indonesia menunjukkan hubungan antara tingkat sanitasi lingkungan dengan prevalensi infeksi HP, sedangkan data diluar negeri menunjukkan hubungan antara infeksi dengan penyediaan atau sumber air minum.

Data penelitian klinis di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi tukak peptik pada pasien dispepsia yang di endoskopi berkisar antara 5,78% di Jakarta sampai 16,91 % di medan. Data penelitian prevalensi infeksi HP pada pasien tukak peptik dapat dilihat pada tabel 1.


Tabel 1. Prevalensi HP pada pasien tukak peptik di Indonesia

Peneliti

Daerah

Tukak

Metoda Diagnosis

Prevalensi (%)

Manan CH Jakarta Duodeni CLO 100
Jayapranata Surabaya Duodeni CLO 93,9
Jayapranata Surabaya Gaster CLO 85,7

Pada kelompok pasien dispepsia non ulkus. Prevalensi infeksi HP yang dilaporkan berkisar antara 20-40%, dengan metoda diagnostik yang berbeda yaitu seologi, kultur dan histopatologi. Angka tersebut memberi gambaran bahwa pola infeksi di Indonesia tidak terjadi pada usia dini tetapi pada usia yang lebih lanjut, tidak sama dengan pola negara berkembang lain seperti di Afrika. Agaknya yang berperan adalah faktor lingkungan dan juga faktor perbedaan ras.

Tingginya prevalensi infeksi dalam masyarakat tidak sesuai dengan prevalensi penyakit SCBA seperti tukak peptik ataupun karsinoma lambung. Diperkirakan hanya sekitar 10-20% saja yang menimbulkan penyakit gastroduodenal.


Strain Helicobacter  Pylori yang Patogen

Infeksi Helicobacter  pylori  (Hp) pada  saluran  cema bagian atas mempunyai  variasi klinis yang luas, mulai dari kelompok asimtomatik sampai tukak peptik, bahkan dihubungkan dengan keganasan di lambung seperti adenokarsinoma  tipe  intestinal  atau mucosal associated lymphoid  tissue (MAIJI) Limfoma.

Data epidemiologis  dari berbagai bagian duniamenunjukkan adanya  perbedaan geografis dan  juga korelasi  yang tidak sesuai antara prevalensi  infeksi dengan  prevalensi  spektrum klinis  seperti tukak peptik ataupun kanker  lambung.  Di Indonesia  prevalensi  Hp berdasarkan studi seroepidemilogi termasuk  cukup tinggi,  tetapi sebaliknya  prevalensi berbagai  keiainan klinis  seperti  tukak peptik maupun  kanker  lambung sangat  rendah. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan  peran  faktor pejamu  termasuk  faklor genetik maupun  faktor  lingkungan yang selain mempengaruhi  kuman Hp agaknya  juga mungkin  dapat mempengaruhi  fisiologi maupun imunologi pejamu.


Situasi yang berbeda  terjadi di Jepang,  suatu negarayang maju, dengan prevalensi Hp yang relatif  rendah  tetapi dengan prevalensi kanker  lambung yang tinggi. Dari sisikuman Hp diketahui  terdapat  beberapa strain  yanglebih virulen sehingga selalu ditemukan  pada pasien dengan tukak peptik,  gastritis  kronik, maupun  kanker lambung. Gen Vac A selalu dapat  ditemukan  pada kuman Hp,  tetapi  tidak semuanya  menghasilkan  sitotoksin. Ternyata struktur gen ini sangat  heterogen  di mana  pada strain penghasil sitotoksin yang  linggi terdapat sekuen signal yang tertentu.


Gen CagA  hanya ditemukan  pada  sebagian  strain,  dan merupakan  salah satu dari kelompok  yang terdiri dari 20 gen lain, membentuk  apa yang disebut sebagai pulau patogenesitas ( pathogenicity  island). Asosiasi antara CagA dengan  tukak  peptik atau kanker  lambung mungkin melalui  respons  inflamasi yang meningkat  terhadap  Hp yang mengandung CagA.

 Untuk tukak peptik, CagA merupakan  petanda  yang paling  baik,  tetapi di daerah  dengan  prevalensi  CagA  yang tinggi  tidak mungkin untuk membuktikan asosiasi  tersebut dengan melakukan  suatu panelitian  kasus kelola.  Berbagai strain Hp menghasilkan  vacuolating  cytotoxin, mengandung  kluster  gen CagA  yang dapat menginduksi IL-S. Protein CagA dan gen CagA mungkin merupakan satu petanda straln yang ulserogenik dan karsinogenik. Di Jepang.  antibodi anti CagA  tidak memberi  petunjuk  yang berguna terhadap  kemungkinan  kelainan  tersebut. Struktur gen CagA daur strain yang menyebabkan  tukak  lambung dan  tukak duodenum di Jepang  sangat berbeda. Hal tersebut memberi  petunjuk perlunya  diketahui profil antibodi anti CagA secara  lebih  rinci untuk dapat menjelaskan  makna klinis strainHp  tersebut.


Penelitian diversitas genetik Hp dan interaksi  dengan respons antibodi  pejamu merupakan  kunci untuk memahami  diversitas  penyakit akibat  infeksi Hp. Di Indonesia  belum ada data penelitian  tentang prevalensi  infeksi  strain Hp, tetapi di masa depan hal ini perlu dilakukan agar dapat ditetapkan  hubungannya dengan kelainan patologis  saluran  cerna bagian atas.


Patogenesis

Mukosa gaster  terlindungi  sangat baik  dari  infeksi bakteri, namun H. Pylori memiliki  kemampuan  adaptasi yang sangat baik  terhadap lingkungan ekologi  lambung,  dengan serangkaian  langkah  unik masuk  ke dalam mukus,  berenang dan orientasi  spasial  di dalam mukus, melekat pada sel epitel  lambung, menghindar  dari respons  immun,  dan sebagai  akibatnya  terjadi  kolonisasi dan  transmisi persisten.


Setelah memasuki  saluran  cerna, baktei H. Pylori  harus menghindari aktivitas bakterisidal yang terdapat dalam  isi lumen  lambung, dan masuk ke dalam lapisan mukus. Produksi urease  dan motilitas sangat  penting berperan pada  langkah  awal  infeksi  ini. Urease  menghidrolisis  urea menjadi  karbondioksida dan ammonia, sehingga H. Pylori mampu  bertahan  hidup  dalam lingkungan  yang asam. Aktivitas enzim  ini diatur oleh suatu  saluran  urea yang tergantung pH (PH-gated urea channel), Ure-I, yang terbuka pada pH yang  rendah, dan menutup  aliran urea pada keadaan  netral. Motilitas  bakteri sangat penting  pada kolonisasi,  dan flagel H. Pylori  sangat baik beradaptasi pada  lipatan-lipatan/relung-relung  lambung.

Patogenesis

Pylori dapat terikat /melekat erat pada sel-sel epitel melalui berbagai  komponen  permukaan  bakteri. Adhesin yang sangat dikenal  baik karakteristiknya  adalah BabA, suatu  protein membran  luar yang  terikat pada group anti- gen darah  Lewis B. Beberapa protein  lain famili Hop protein (protein membran  luar)  juga merupakan  mediasi adhesi pada  sel epitel. Bukti-bukti  menunjukkan  bahwa adhesi, terutama  oleh BabA, sangat  relevan dengan penyakit- penyakit  terkait H. Pylori dan dapat mempengaruhi  derajat beratnya penyakit, meskipun  beberapa  hasil  studi  terdapat pula yang  bertentangan.Sebagian  besar strain H. Pylori mengeluarkan  suatu eksotoksin,  Vac A (vacuolating cytotoxin). Toksin  tersebut masuk ke dalam membran  sel epitel  dan membentuk  suatu saluran  tergantung  voltase, suatu anion  hexamer  selektif, yang mana melalui  saluran  tersebut bikarbonat dan anion- anion organik dapat dilepaskan,  tampaknya  juga untuk menyediakan nutrisi bagi bakteri.


VacA  juga menyerang membran mitikondria,  sehingga  menyebabkan  lepasnya sitokrom c dan mengakibatkan  apoptosis. Peran patogenik dari dari  toksin masih  diperdebatkan.  Pada studi-studi hewan,  bakteri mutan tanpa VacA  juga dapat melakukan kolonisasi  , dan strain dengan  gen VacA  yang  inaktif telah pula diisolasi  dari pasien-pasien,  menunjukkan  bahwa VacA tidak  esensial untuk  kolonisasi. Namun demikian, mutan tanpa VacA  kalah  kompetisi dari wild-type bakteri  pada suatu studi pada  tikus, menunjukkan  bahwa VacA meningkatkan  vitalitas  bakteri. Analisis  peran VacA dipersulit  oleh  kenyataan  variabilitas  VacA  yang luas. Di negara-negara  barat, varian gen-gen VacA  tertentu berhubungan  dengan  keadaan penyakit  yang lebih berat. Namun  demikian, hubungan  seperti  itu  tidak ditemukan  di Asia, dan dasar  fungsional  yang mendasari  hubungan tersebut  tidak diketahui.


Beberapa  strain H. Pylori memllikt cag-PAI (cag  pathogenicity  island),  suatu  fragmen  genom yang mengandung 29 gen. Beberapa gen  ini menyandi  komponen-komponen sekresi yang men-translokasi CagA  kedalam  sel pejamu. Setelah memasuki  sel epitel, CagA  difosforilasi  dan terikat pada SHP-2  tirosin fosfatase,  menimbulkan  respons  selular growthfactor-like danproduksi  sitokil oleh sel pejamu.


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Reproduksi Virus – Pengertian, Cara, Strategi, Bakteriofage, Virus Hewan, Contohnya

Respons Pejamu Terhadap  H.Pylori

Pylori menyebabkan peradangan lambung  yang  terus- menerus. Respon  peradangan  ini mula-mula  terdiri dari penarikan neutrofil, diikuti  limfosit  T dan B, sel plasma, dan makrofag,  bersamaan  dengan  terjadinya kerusakan  sel epitel. Karena H. Pylori  sangat  jarang menginvasi  mukosa gaster,  respon pejamu  terutama  dipicu  oleh menempel/ melekatnya  bakteri pada  sel epitel.  Patogen  tersebut dapat terikat  pada molekul MHC c/ass 11 di permukaan  sel epitel gaster dan menginduksi  terjadinya  apoptosis.  Perubahan lebih  lanjut  dalam  sel epitel tergantung  pada protein-protein yang disandi  pada  cag-PAI dan  translokasi CagA kedalam  sel epitel gaster. Urease  H. Pylori  dan porin juga dapat  berperan  pada  terjadinya ekstravasasi  dan kemotaksis  neutrofil.


Epitel gaster pasien yang terinfeksi H. Pylori meningkatkan  kadar  interleukin-1B,  interleukin-2, interleukin-6,  interleukin-8, dan tumor nekrosis  faktor  alfa. Di antara semua itu, interleukin-S,  suatu neutrophil-acti- vating  chemokine  yang poten  yang diekspresikan  oleh sel epitel  gaster,  tampaknya berperan  penting.  Shain 11. Pylori yang mengandung cag-PAl menimbulkan  respons interleukin-8  yang  jauh lebih kuat dibandingkan  strain yang  tidak mengandung  cag, dan  respons  ini tergantung pada aktivasi  nuclear  factor-rcB  (NF-KB)  dan  respons segera  dari  faldor  transkripsi  activator protein  I (AP-l).

Infeksi H. Pylori merangsang  timbulnya  respons humoral mukosa  dan  sistemik. Produksi  antibodi yang terjadi  tidak dapat menghilangkan/eradikasi  infeksi,  bahkan menimbulkan  kerusakan  jaringan. Pada  beberapa pasien yang  terinfeksi H. Pylorl  timbul  respons autoantibodi terhadap H+/I(+-ATPase  sel-sel parietal lambung  yang berkaitan dengan meningkatnya  atrofi korpus gaster.


Selama respons  immun  spesifik,  subgroup  sel T yang berbeda  timbul.  Sel-sel  ini berpartisipasi  dalam proteksi mukosa  lambung, dan membantu  membedakan  antara bakteri  patogen  dan komensal.  Sel T helper  immatur  (Th 0) berdiferensiasi  menjadi 2 subtipe  fungsional: sel Th-1, mensekresi  interleukin  2 dan  interferon gamma; dan Th-2, mensekresi IL4,  IL-5, dan IL- 10. Sel Th2 menstimulasi  sel B sebagai respons terhadap patogen  ekstrasel,  sedangkan Thl  terutama  timbul sebagai  respons  terhadap patogen intrasel. Karena H. Pylori bersifat  tidak invasif dan merangsang  timbulnya  respons humoral yang kuat, maka yang diharapkan adalah  respons  sel TM. Namun  timbul paradoks, sel-sel mukosa  gaster yang spesifik terhadap H. Pylori umumnya justru menunjukkan  fenotip Thl. Studi- studi menunjukkan bahwa  sitokin Thl menyebabkan  gastritis, sedangkan sitokin Th2 protektis  terhadap peradangan  lambung. Orientasi Thl  tersebut  tampaknya meningkatkan produksi  interleukin-l8  di antrum sebagai respons terhadap  infeksi H. Pylori.  Bias Thl tersebut, bersama dengan apoptosis  yang dimediasi Fas, menyebabkan  infeksi H. pylori menjadi persisten.


Kerusakan  sel epitel  lambung  juga disebabkan oleh reactive oxygen  dan nitrogen species  yang dihasilkan  oleh neutrofil teraktivasi.  Inflamasi  kronik  juga meningkatkan turn over sel epitel dan apotosis.  Polimorfisme proinflamasi dari gen  interleukin-lB mengarahkan  perkembangan gastritis  terutama terjadi di korpus  gaster  dan berkaitan dengan  hipoklorhidria, atrofi  gaster,  dan adenokarsinoma gaster. Bila polimorfisme  proinflamasi  tidak ada, gastritis akibat tL Pylori berkembang  terutama  di antrum, dan berkatan  dengan kadar sekrepi asam yang normal  atau tinggi.


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Penjelasan Ciri-Ciri Borrelia Burgdorferi Dalam Biologi

Karakteristik Helicobacter Pylori

Karakteristik  relevansi klinis patofisiologi infeksi H. Pylori adalah:

  • Eksotoksin Vac A disekresi oleh sebagian besar/ mayoritas  strain 1L Pylori. Polimorfisme gen Vac A berkaitan dengan keadaan penyakit yang lebih berat.
  • Tingginya kadar fosfolipase A (PLA) memungkinkan,F1p memasuki / penetrasi  ke dalam mukus  Kadar PLA yang tinggi disekresi  oleh strain Hp  yang diisolasi dari pasien-pasien  kanker  lambung.
  • Hp menyebabkan peradangan  pada antrum  (antritis) atau korpus  (korpusitis)  gaster, atau sering  pula pada keduanya  (pangastritis).  Pada antritis, terjadi hipergastrilemia, meningkatnya  produksi asam, dan suatu  risiko  tinggi  terjadinya ulkus  Mengapa  hanya sekitar 2 – 20%o  dari antritis yang berkembang  menjadi  ulkus  duodenum  masih belum jelas.
  • Duodenitis terjadi disebabkan  kolonisasi  pulau-pulau metaplasia gaster di dalam  bulbus  duodenum,  yang dicetuskan  (triggeredl oleh tingginya  produksi
  • Korpusitis Hp berkaitan dengan  ulkus  gaster,  atrofi mukosa  gaster, menurunnya  sekresi asam  sehingga terjadi 2,5 kali peningkatan  risiko kanker

Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Jenis, Habitat, Pengertian Bakteri Beserta Bakteri Penyebab Penyakit


Diagnosis  Infeksi Helicobacter Pylori

Kuman Helicobacter pylori  bersifat mikroaerofilik  dan hidup di lingkungan yang unik,  dibawah mukus dinding lambung yang bersuasana  asam. Kuman  ini mempunyai  enzim urease  yang dapat memecah ureum menjadi amonia  yang bersifat  basa,  sehingga tercipta lingkungan mikro yang memungkinkan kuman  ini bertahan  hidup.  Karena itu prosedur diagnostik  cukup sulit  karena  harus melakukan tindakan yang invasif yaitu dengan  melakukan  gastroskopi untuk mendapatkan  spesimen  yang diperlukan  untuk pemeriksaan  langsung,  histopatologi  ataupun kultur mikrobiologi. Selain  itu terdapat pemeriksaan  non  invasif seperti  tes serologi  dan urea breath  test (UBT).


Tujuan pemeriksaan diagnostik  infeksi  Hp adalah untuk menetapkan  adanya  infeksi  sebelum memberikan pengobatan atau untuk  penelitian epidemiologi.  Selain  itu untuk mengamati  apakah  telah  tercapai  eradikasi  sesudah pemberian  obat antibiotik.

Ada 2 macam cara diagnosa infeksi H. pylori yaitu diagnosa invasif yang memerlukan endoskopi dan biopsi mukosa lambung, dan diagnosa noninvasif yang tidak memerlukan endoskopi dan biopsi.

  • Diagnosa invasif meliputi :
    1. Deteksi kuman H. pylori dengan cara pemeriksaan histopatologik
    2. Tes urease cepat yang mendeteksi adanya enzim urease dalam spesimen biopsi lambung.
    3. Pembiakan kuman H. pylori dari spesimen biopsi lambung.
    4. Pemeriksaan PCR spesimen biopsi lambung
  • Diagnosa noninvasif meliputi :
    1. Tes Nafas Urea (Urea Breath Test) untuk mengukur enzim urease yang ada dalam lambung yang diproduksi oleh kuman H. pylori.
    2. Tes Immunoserologic untuk deteksi antibodi terhadap kuman H. pylori dalam darah penderita.
    3. Deteksi antigen fekal untuk mendeteksi fragmen kuman H. pylori yang didapatkan dalam tinja.

Serologi

Pemeriksaan  serologi  banyak  digunakan  dalam penelitian epidemiologi  karena  relatif murah  dan dapat  diterima oleh kelompok  pasien asimtomatik  atau anak-anak  yang  tidak mau diperiksa dengan cara yang  invasif seperti gastroskopi.

Pada umumnya yang  diperiksa  adalah antibodi IgG terhadap  kuman Helicobacter  pylori. Cara ini sering digunakan untuk penetitian  epidemiologi atau untuk evaluasi  sebelum pemberian  terapi eradikasi.  Teknik yang dipakai  adalah  dengan menggunakan ELIS A, Westernblot, fiksasi  komplemen,  dan  imunofluoresen.  ELISA paling  luas penggunaannya.  Studi prevalensi di Indonesia  dilakukan dengan menggunakan  metode PHA, Sedangkan  studi  klinik umunnya.  menggunakan ELISA.


Dewasa ini secara  komersial  telah cukup banyak  tes ELISA yang tersedia dengan  cara  penggunaan yang relatif sederhana dan hasil yang akurat. Yang menjadi masalah adalah sensitivitas dan spesifisitas  yang  bervariasi secara geografis. Hal ini diduga  karena pengaruh  faktor  antigen lokal yang berbeda  atau akibat  titer  yang relatif rendah, misalnya pada kelompok pasien  anak atau populasi tertentu. Dengan  demikian  dianggap  perlu untuk melakukan validasi  tes sebelum digunakan  secara meluas di suatu wilayah.  Sebagai contoh,  studi di Jakarta menggunakan  tes Elisa buatan Roche menunjukkan sensitivitas  dan spesifisitas  yang  relatif  lebih  rendah dibandingkan  dengan laporan  dari negara  Barat. Untuk meningkatkan  sensitivitas dan spesifisitasnya,  dapat dilakukan  dengan menetapkan  cut offpoint sebagai  batas hasil yang positif  dan negatif dalam  suatu  populasi. Penelitian  di Jakarta menunjukkan,  dengan menetapkan cut offpoint 1800 EU/L dapat  ditingkatkan  sensitivitas  tes ELISA.


Dalam perkembangannya  cara ELISA  telah dipakai pula untuk  tes di ruang praktek  dokter,  in ffice Hp  test, dengan cara yang  sederhana,  tanpa sentrifugasi,  bersifat  kualitatif dan hasilnya  diperoleh dalam waktu 5 – l0 menit.

Selain  serum, tes ELISA  telah dilakukan  pula pada saliva pasien  terutama  pada  anak. Sensitivitas  dan spesifisitasnya lebih  rendah  dibandingkan  dengan  serum tetapi diduga kadar antibodi  dalam saliva menurun  lebih awal  pasca  terapi eradikasi  sehingga  mungkin dapat digunakan  untuk menilai hasil  terapi  antimikrobial.


Urea Breath Test (UBT)

Pemeriksaan  ini merupakan baku  emas untuk deteksi  infeksi H. pylori secara non  invasif yang pertama kali dikemukakan  pada  tahun 1987 oleh Graham dan Bell. Cara kerjanya adalah  dengan menyuruh  pasien menelan urea yang mengandung  isotop  Carbon, baik 13C ataupun  l4C. Bila ada aktivitas urease  dari kuman H. pylori akan dihasilkan  isotop karbon dioksida yang diserap  dan dikeluarkan melalui  pernapasan. Hasilnya dinilai  dengan membandingkan kenaikan ekskresi  isotop dibandingkan dengan  nilai dasar. Bila hasilnya  positif berarti  terdapat infeksi  kuman H. pylori.  l3C merupakan  isotop nonradioaktif, ditemukan  pada  l,ll % karbon  dioksida yang  keluar melalui  udara pernapasan normal. Dianggap positif bila  terjadi kenaikan minimal 0,01 % kadar  isotop, sehingga dibutuhkan  alat mass spectrometer  yang sangat sensitif  tetapi  harganya  sangat mahal. Mula-mula  diambil sampel  udara  pernapasan untuk menentukan nilai dasar. Kemudian diberikan tes mealberupacairan  dengan  kalori tinggi atau  larutan  0,1 N asam sitrat untuk memperlambat pengosongan  lambung  sehingga  kontak antara  isotop dengan  mukosa  lambung  lebih baik.


Dosis 13C yang diberikan adalah dalam  bentuk urea sebanyak 75-100 mg yang memberikan akurasi  lebih dari Terdapat berbagai modifikasi  protokol sehingga setiap perubahan memerlukan  validasi  untuk mempertahankan  akurasi pemeriksaan.

Isotop 14 C memancarkan  radiasi yang dapat dianalisis dengan  scintillation  counter. Pengambilan sampel dilakukan sesudah  10 dan 20 menit  baik  dengan  atau tanpa tes meal. Cara ini relatif murah,  tetapi  harus diperhatikan standar keamanan  yang  baik, walaupun sebenamya dosis radiasi sangat kecil. Cara  ini tidak dianjurkan pada perempuan hamil  ataupun anak-anak.


Dalam  hal akurasi,  kedua cara  ini setara,  dengan sensitivitas dan spesifisitas  lebih  dari 90 %. Hasil positif palsu harus dipertimbangkan bila diduga ada mikroorganisme  lain yang  juga menghasilkan  urease pada keadaan  aklorhidria.  Hasil negatifpalsu  dapat  terjadi bila pasien mendapat antibiotik. antasid- bismuth. atau anti sekresi asam.  Karena  itu dianjurkan  unruk menghentikan obat  tersebut  dua minggu  sebelum  dilakukan  pemeriksaan. Penggunaan  UBT mempunyai kelebihan  dibandingkan dengan  tes yang meng-eunakan  spesimen  biopsi karena mewakili  seluruh  permukaan  mukosa lambung. Aplikasi klinis digunakan  untuk deteksi infeksi pada studi epidemiologi  dan  individu pasien dan konfirmasi keberhasilan  terapi  eradikasi  yang  dilakukan sesudah 4 Minggu kemudian.


Dapat  disimpulkan bahwa  indikasi  tes serologi dan UBT agak  tumpang  tindih,  sehingga  pemanfaatannya harus disesuaikan  dengan  tujuan  yang ingin dicapai. Pemeriksaan serologi  lebih mudah, murah sehingga  sangat cocok untuk suatu penelitian  populasi yang luas. Pemeriksaan UBT  tidak memerlukan  validasi  lokal, menetapkan  adanya  infeksi  yang aktif, dan merupakan pemeriksaan  baku  emas untuk konfirmasi  hasil terapi eradikasi.  Dengan adanya pemeriksaan  noninvasif,  terbuka kesempatan untuk melakukan penatalaksanaan pasien dispepsia  ditingkat  pelayanan  primer  oleh dokter umum, dengan memperhatikan  latar  belakang  prevalensi  infeksi H. pylori sertapenyakit  yang menyertainya,  terutama  tukak peptik  dan keganasan  lambung.


Pemeriksaan lnvasif

Pemeriksaan  invasif untuk  diagnosis  infeksi H. Pylori dilakukan dengan mengambil spesimen  biopsi mukosa lambung  secara  endoskopik.  Selanjutnya spesimen  yang diambil dengan persyaratan  dan cara  tertentu  akan diperiksa  dengan  teknik khusus sesuai dengan  tujuan diagnostik yatg akan dicapai. Persyaratan  yang dimaksudkan  adalah upaya untuk mengurangi kemungkinan  terjadinya hasil negatif palsu akibat pengaruh obat-obatan yang dipergunakan  sebelum pengambilan  sampel  biopsi. Biasanya dianjurkan  untuk menghentikan  obat antibiotik, anti sekresi asam  lambung terutama  golongan  inhibitor pompa proton, bismuth selama satu atau dua minggu sebelum pemeriksaan. Biopsi  standar  untuk diagnosis  infeksi H. pylori diambil dari antrum (2) dankorpus  (2), sedangkan untuk menilai adanya metaplasia  intestinal biasanya diambil  biopsi pada angulus. Spesimen  untuk kultur mikrobiologi harus diambil pertama  kali karena harus dilakukan secara steril.  kemudian  untukbiopsy  urease  test dan histopatologi.


Biopsy Urease Test  (BUT)

Tersedia  berbagai pilihan mulai yang dibuat  sendiri  dalam bentuk  cairan ataupun  padat seperti tes CLO. Dasarnya adalah adanya enzim urease dari kuman H. pylori yang mengubah urea menjadi  amonia  yang bersifat  basa sehingga  terjadi  perubahan warna media menjadi merah. Hasilnya  dapat  dibaca dalam beberapa menit  sampai 24 jam, dan pengambilan  lebih dari  satu spesimen  akan meningkatkan  akurasi pemeriksaan  ini. Sensitivitas pemeriksaan  ini sekitar 89-98%  sedangkan  spesifisitasnyamencapai  l00%.

Penggunaan antibiotik atau penghambat  pompa proton akan menghambat  pertumbuhan kuman sehingga harus dihentikan  satu minggu sebelumnya. Cara  ini tidak  dapat digunakan  untuk menilai  hasil pengobatan terapi eradikasi.


Histopathology

Pemeriksaan  histopatologi  dapat digunakan  untuk mendeteksi  infeksi H. pylori  serta menilai  derajat  inflamasi gastritis.Pemeriksaan standar  dengan  pewarnaan  H & E untuk  deteksi kuman mempunyai  sensitivitas  93 % dari spesifisitas  87%  dengan  akurasi  92o/o.Pewarnaan  khusus secara Giemsa, Genta atau Warthin-Starry  memberikan gambaran H. pylori yang  lebih  jelas, sedangkan  dengan pewarnaan Genta gambaran metaplasia gastrik  akan tampak  lebih  jelas. Densitas kuman  akan menurun  bila sebelumnya diberikan  obat antibiotik  atau  inhibitor  pompa proton, sehingga akan menurunkan  sensitivitas pemeriksaan.


Biakan Mikrobiologi

Dalam  penatalaksanaan penyakit  akibat  infeksi  H. pylori. kultur  tidak dilakukan secara  rutin karena  dua alasafi. Cara diagnostik  lain baik yang non invasif maupun yang  invasif memberikan hasil yang memuaskan  dengan akurasi  yang tinggi. Selain  itu pemeriksaan  kultur sendiri tidak mudah dilakukan,  dengan  sensitivitas yang relatif rendah,  berkisar Antara 66-98  %. Teknik  yang dianjurkan  adalah  dengan  tes difusi agar atau dengan E test di mana sekaligus dapat ditentukan konsentrasi inhibisi minimal dari antibiotik yang diuji. Pemeriksaan  kultur akan sangat membantu untuk pengobatan kegagalan  terapi eradikasi,  sehingga dapat dipilih  antibiotik yang  sesuai.


Polymerase Chain Reaction (PCR)

Polymerase  Chain Reaction merupakan  pilihan  yang menarik  karena  sensitivitas yang  tinggi  (94-100%)  serta spesifisitas  yang  tinggi  pula  (100 %  Bahan yang digunakan adalah  spesimen  biopsi  baik  yang  sudah diparafin  maupun bekas  tes urease seperti CLO. Keuntungannya  adalah kemampuannya  unfuk mendeteksi  infeksi dengan  densitas yang  rendah, bahkanjuga  ekspresi  dari berbagai  gen bakteri seperti Cag.A. Selain biopsi mukosa  lambung,  PCR  dapat pula mendeteksinfeksi  H. pylori dengan memeriksa cairan lambung,  yang perlu dijaga  jangan sampai  terjadi kontaminasi  baik dari skop  endoskopi maupun dari  rongga mulut atau plak gigi karena  dapat memberikan  hasil positif palsu.  PCR dapat  juga dipergunakan  untuk menilai  hasil terapi  eradikasi  . Cara  ini termasuk pemeriksaan  yang canggih dengan  biaya  yang  cukup mahal.


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Ciri-Ciri Bakteri Mycoplasma Dalam Biologi

Infeksi Hp, Gastritis  dan Sekresi Asam  Lambung

Terdapat hubungan  timbal  balik antara  infeksi Helicobacter pylori,  gastritis  dengan  asam  lambung.  Infeksi Hp yang predominan  di antrum akan meningkatkan  sekresi  asam lambung  dengan  konsekuensi  terjadinya  tukak duodenum. Inflamasi pada  antrum  akan menstimulasi sekresi gastrin, yang selanjutnya akan merangsang  sel parietal  untuk meningkatkan  sekresi asam  lambung. Infeksi  Hp akan meningkatkan  kadar Gastrin, yang terutama  berasal  dari mukosa antrum.  Selain  itu peningkatan  sekresi  gastrin  juga terjadi  akibat menurunnya kadar  somatostatin dalam mukosa antrum, yang berasal  dari sel D. Dalam  hal  ini  secara fisiologis  somatostatin  atau sel D berfungsi sebagai acid brake, menekan  fungsi  sel G dan sekresi asam  lambung oleh sel Parietal. Mekanisme  lain adalah melalui peran sitokin  lokal akibat  inflamasi  antrum yang  juga dapat mempengaruhi sekresi  somatostatin  maupun  gastrin.


Apabila  gastritis  akibat  infeksi Hp predominan di korpus, sekresi  asam lambung  akan menurun,  dengan  risiko  jangka panjang  yang lebih besar  untuk menjadi kanker  lambung. Inflamasi  korpus yangberat  atau luas, akan mengganggu atau menekan  fungsi  sel parietal yang menimbulkan hipo atau aklorhidria,  biasanya  disertai  pula  dengan atrofi mukosa korpus,  yang merupakan  lesi premaligna  untuk terjadinya keganasan lambung. Sebaliknya,  tingkat sekresi  asam lambung  yang mungkin dipengaruhi  faktor genetik  diduga berperan  temadap perbedaan predominasi gastritis akibat infeksi Hp. Bila sekresi  asam  lambung  tinggi,  akan  terjadi gastritis  predominan antrum, sedangkan  bila rendah akan terjadi  gastritis  predominan  korpus  dengan  akibat penyakit yang berbeda.


Manifestasi Klinis

Seperti  telah dikemukakan.  manifestasi  klinis akan  sangat bervariasi mulai dari tanpa  gejala, dispepsia fungsional,tukak peptik  sampai  kanker  lambung. Karena lamanya hasil pembiakan H. pylori maka  untuk mendapatkan hasil yang cepat maka sering digunakan rapid urease test, yang lebih dikenal dengan CLO test (CLO adalah singkatan dari Campylobacter Like Organism). Dalam tes ini spesimen biopsi mukosa lambung dimasukkan dalam medium agar yang dicampur urea dan indikator. Bila dalam bahan biopsi tersebut mengandung urease maka akan terjadi perubahan warna dari kuning menjadi merah.


Sebagian besar individu yang terkena infeksi H. pylori tidak mengalami keluhan walaupun pada pemeriksaan biopsi mukosa lambung pada kasus-kasus asimptomatik sebagian besar didapatkan gambaran gastritis kronik aktif.

  1. Dyspepsia dengan gambaran endoskopik yang bermacam-macam, mulai dari normal sampai dengan ulkus lambung atau ulkus duodeni, gastritis, duodenitis, gastritis atrofik, gastritis hypertrofik.
  2. MALT (Mucosal Associated Lifoid Tissue) limfoma dan kanker lambung di bagian destal (tipe intestinal).

Cara penegakkan diagnosa yang banyak dipakai dengan  hasil yang baik adalah dengan diagnosa histologis Cara lain adalah tes napas urea (urea breath test) dan pemeriksaan serologik. Kedua cara ini tidak memerlukan endoskopi. Belakangan  ini ditemukan cara diagnosa infeksi H. pylori dengan cara deteksi antigen kuman H. pylori pada tinja penderita dengan metoda Elisa


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Virus Pemakan Bakteri ( Bakteriofag ) Beserta Penjelasannya


Indikasi dan Evolusi Helicobacter Pylori

Indikasi Terapi Eradikasi Helicobacter Pylori

Sangat Dianjurkan. Ulkus duodeni, ulkus  ventrikuli, MALT Lymphoma  gaster derajat  keganasan  rendah, riwayat  kanker  lambung  di keluarga,  gastritis  kronik aktif (gambaran PA), Paska  reseksi kanker lambung  dini, gastritis atrofik.

Dianjurkan. Keinginan  pasien untuk diobati  setelah mendapat penjelasan yang memadai,  dispepsia fungsional (tidak ditemukan  kelainan  perendoskopi,  biokimiawi, atau laboratorium),  gastropati obat anti inflamasi  non  steroid (OAINS),  gastroesophageal reflux disease (GERD)  yang memerlukan  terapi antisekresi  asam  jangka panjang.


Evolusi Terapi Eradikasi Helicobacter Pylori

Pada  dasarnya dikenal  terapi kombinasi  yang didasarkan pada obat bismuth dan  terapi yang didasarkan pada penghambat  pompa  proton (PPI). Mula-mula digunakan senyawa  bismuth  sebagai  obat  tunggal, dengan  hasil yang kurang memuaskan  sehingga  dikembangkan  terapi kombinasi dual,  tripel bahkan  terapi kuadrapel. Waktu pemberian  juga  terus diusahakan  untuk  diberikan  sesingkat mungkin mulai dari 4, 2, dan dewasa  ini umumnya dianjurkan  untuk waktu satu minggu.  Perkembangan  ini sangat mendukung  kepatuhan  pasien,  karena  selain efektivitas yang cukup  tinggi, kemungkinan efek samping menjadi  lebih kecil. Walaupun  relatif cukup mahal,  terapi kombinasi dinilai  cukup cost effective  terutama  karena dapat menekan angka  kekambuhan  dalam  jangka panjang, misalnya  dalam pengobatan  tukak duodeni dan  tukak lambung.


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Penjelasan Reproduksi Bakteri Dalam Ilmu Biologi

Pengobatan dan Terapi Helicobacter Pylori

Terapi Eradikasi

Laporan  uji klinis terapi  infeksi Hp di Indonesia  pada mulanya menggunakan monoterapi menggunakan preparat bismuth dengan  tujuan supresi dan bukan  eradikasi. Dewasa  ini  regimen terapi  yang digunakan adalah  terapi

Tabel 2. Peran infeksi HP Pada berbagai penyakit gastroduodenal

Faktor Etiologi utama

Prevalensi

Tukak duodenum 100%
Tukak lambung 80-90%
Gastritis Kronik 40%

kombinasi  antara penghambat  pompa  proton dengan dua atau  tiga macam antibiotik. Pertemuan  konsensus nasional penatalaksanaan infeksi Helicobacter pylori di Jakarta  pada bulan  Januari 2003 menganjurkan  regimen  terapi  sebagai berikut:


Terapi lini pertama / terapi tripel
• Urutan Prioritas

  1. PPI +Amoksisilin + klaritromisin
  2. PPI + Metronidazol + klaritromisin
  3. PPI + Metronidazol + tetrasiklin

Pengobatan dilakukan selama 1 minggu
• Dosis

  1. Proton Pump Inhibitor
    Omeprazole 2x20mg
    Lansoprazole 2x30mg
    Rabeprazole 2x l0mg
    Esomeprazole 2x20mg
  2. Amoksisilin :2x l000mg/hari
  3. Klaritromisin :2x500mg/hari
  4. Metronidazol : 3x500mg/hari
  5. Tetrasiklin : 4x250mg/hari

Terapi lini kedua / terapi kuadrupel

Terapi lini kedua  dilakukanjika  terdapat  kegagalan  pada lini pertama. Kriteria  gagal : 4 minggu  pasca terapi, kuman H. Pylori tetap positif berdasarkan pemeriksaan  I-IBT/ HpSA  atau histopatologi.

  • Urutan prioritas
    – Collodial bismuth subcitrate +PPl+ Amoksisilin +klarihomisin
    – Collodial bismuth subcitrate + PPI + Metronidazol+ Klaritromisin
    – Collodial bismuth subcitrate +PPI + Metronidazol+ TetrasiklinPengobatan dilakukan selama I minggu.
  • Dosis collodial bismuth subcitrate.’ 4 x 120 mg Bila terapi lini kedua gagal, sangat dianjurkan pemeriksaan kultur dan resistensi H. Pylori dengan media transport MIU.
  • Regimen antibiotika yang baru

Timbulnya  resistensi  terhadap  antibiotika menyebabkan  kesulitan dalam  pemilihan  regimen terapi lini kedua. Oleh karena  itu, seleksi  terapi lini pertama harus sudah mempertimbangkan  pula  pilihan  regimen terapi  lini kedua yang mungkin  akan diimplementasikan bila regimen  terapi  lini pertama  gagal. Regimen  terapi dengan  efektivitas eradikasi > 80% yang  dianjurkan untuk digunakan  pada praklek klinis. Pada pasien-pasien  yang gagal dengan  regimen terapi dengan  basis klaritromisin,  regimen kombinasi  terdiri dari  lansoprazol  2×30 mg, amoksisilin  2 x I gram, dan levofloksasin 2 x 200 mg Dilaporkan menunjukkan eradikasi  69%.  Levofloksasin  dapat pula diberikan dengan  dosis  I x 500 mg. Kombinasi  lain yang dilaporkanefektif  adalah  PPI bid, rifabutin  300 mg qd (lx sehari), dan amoksisilin  2 x I gram. Dhekomendasikan  untuk menggunakan  kombinasi PAC (PPI  – Amoxycillin- Clarithromycin) sebagai  terapi  lini pertama, dan bila gagal  dapat dilanjutkan dengan  terapi kuadrupel  seperti P-BMT  (PPl-Bismuth-Metronida- zole-Tetracyclln).  Namun, pada komunitas  dengan prevalensi  tinggi resistensi  terhadap makrolid (> 20% resisten  terhadap klaritromisin),  terapi  lini pertama sebaiknya  terapi  kuadrupel.  Studi metanalisis  terapi kuadrupel sebagai  terapi  lini pertama menunjukkan tingkat  eradikasi  lebih dari 85%, bahkan pada area dengan  resistensi  terhadap metronidazol  yang  tinggi, dan 69% lebih  efektif dibandingkan  PAC pada keadaan terdapat  resistensi  terhadap  klaritromisin.  Analisa  cost effective  terapi  tripel atau  terapi kuadripel tampak serupa,  namun terapi  kuadrupel  tampaknya sedikit  lebih cost-effective.


Fluoroquinolon  atau Rifabutin dalam  kombinasi bersama amoksisilin  dan PPI menunjukkan  hasil  yang menjanjikan.  Terapi dengan  fufabutin  2 x 150 mg, Amoksisilin 2 x I gram, dan om eprazol2  x20 mg selama 14 hari menunjukkan   eradikasi  7 2oh padapasien-pasien yang gagal dengan  kombinasi terapi PAC dan P-BMT. Terapi  lini pertama  dengan LAE,  yaitu  levofloksasin 1 x 500 mg, azitromisin I kali 500 mg, dan esomeprazol 2x 20 mg selama 7 hari  lebih efektif (93,3%)  dibandingkan terapi standar tripel EAC  (70%). Terapi lini kedua helicobacter  pylori RLA, yaitu  rabeprazol2  x20 mg, levofloksasin  I x 500 mg, dan amoksisilin  2 x I gram selama  12 hari sama  efektiftya denganterapi  kuadrupel R-BMI namun lebih ditoleransi  dengan baik  dan menunjukkan  compliance  serta  tingkat  kepatuhan minum  obat  yang tinggi. Terapi  tripel selama  10 hari dengan  levofloksasin, esomeprazol, amoksisilin  / azitromisin  lebih efektif (86,6% /80%)  dibandingkan regimen klasik E-BMT (71,4%) dan menunjukkan compliance  yang lebih baik.


Kriteria Keberhasilan Terapi Eradikasi

Empat minggu setelah terapi selesai, dilakukan pemeriksaan UBT/HpSA atau histopatologi. Jika UBT negatif atau PA negatif  terapi dianggap berhasil  (sembuh).

Terapi  kombinasi  tersebut dianjurkan untuk diberikan selama  satu minggu. Mengingat cepatnya  terjadi resistensi Hp terhadap antibiotik,  kiranya perlu diadakan penelitian pola  resistensi  di Indonesia secara  berkala  agar  dapat menjadi dasar pilihan antibiotik yang  tepat. Masalah  lain adalah penilaian  keberhasilan  eradikasi yang harus menggunakan  metoda diagnostik  yang paling peka dan non  invasif,  terutama  untuk  penelitian  epidemiologis. Selain  standar  emas  kultur mikrobilogi agaknya pemeriksaan  tes Pernapasan urea (urea breath  test  l3C atau l4C) perlu diadakan  dan digunakan  secara meluas.


Dari  segi biaya,  regimen  terapi  dengan  eradikasi  lebih dari 90 % akan menyembuhkan tukak peptik,  tanpa perlu terapi pemeliharaan  sehingga  leblh cost effective dibandingkan  dengan  terapi  konvensional.  Terapi  tripel pada  awalnya jelas  lebih mahal,  tetapi  dalam  jangka panjang akan  lebih murah. apalagi  bila diperhitungkan  peningkatan kualitas hidup,  terbebas  dari keluhan dan gangguan penyakit.

Yang dimaksudkan  eradikasi  adalah  hilangnya kuman pada  pemeriksaan  4 minggu pasca  terapi  yang dibuktikan dengan metoda yang paling akurat. Dalam perkembangamya  dikenal  terapi mono,  dual,  tripel dan kuadripe  (tabel2). Dewasa ini dianjurkan  adalah  terapi kombinasi  dengan  penyembuhan  lebih dari 90%.


Kesepakatan yang dirumuskan dalam  konsensus nasional merupakan petunjuk yang dapat digunakan bersama,  sekaligus memberikan  kemungkinan  untuk mendapat  data penelitian  yang bersifat  nasional  tentang infeksi  Helicobacter  pylori  di Indonesia. Pola  terapi  ideal  yang mencakup efektivitas,  keamalan, kepatuhan  dan cost effectiveness mungkin belum  ada,  tetapi harus diupayakan  terapi optimal yang sesuai dengan lingkungan  dan kondisi  pasien.

Tabel 3. Terapi Eradikasi Helicobacter Pylori

Jenis Terapi                                                    

 

            Eradikasi

Terapi Mono

 

 

Bismuth subsalisilat 5-10%
Colloidal bismuth subcitrate  (BSS) 10-25%
Amoksisilin 15-25%
Klaritromisin 50%
lnhibitor  pompa proton  (lPP) 0-15%
 

Terapi Dual

Bismuth/amoksisilin 30-60%
Bismuth/metronidazol 30-60%
Amoksisilin/metronidazol 55-95%
IPP/Amoksisilin 55-95%
IPP/klaritromisin 70-90%
Ranitidin bismuth sitrat 70-80%
Terapi Tripel

 

Bismuth/metro/tetra 80-95%
IPP/metro/amoksilin atau klaritromisin 70-95%
I PP/amoksilin/klaritromisin

 

70-90%
Ranitidin/bismuth sitraVamoksilin,klaritromisin

 

80-90%
Terapi Kuadrupel
Bismuthimetro/tetra/l PP >90%

Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Ciri Ciri Bakteri


Ciri dan Tanda Helicobacter Pylori

Ciri-Ciri Helicobacter Pylori

Pada bakteri Helicobacter pylori ini ditemukan dalam saluran pencernaan manusia, bahkan ditemukan dalam saluran pencernaan pada bagian atas. Bakteri ini dapat ditemukan di usus sekitar 50% orang di dunia. Helicobacter pylori merupakan organisme penyebab pada 80% kasus ulkus lambung di dunia.


Infeksi Helicobacter pylori ini kebanyakan ditemukan di negara-negara dengan sanitasi yang buruk. Mereka yang terinfeksi oleh Helicobacter pylori rentan untuk mengembangkan kanker perut. Untuk gejala utama infeksi ialah sakit perut dan gastritis, bakteri Gram-negatif ini berbentuk heliks, memiliki panjang dan diamter 3 mikrometer dan o,5 mikrometer masing-masing. Pada Bakteri Helicobacter pylori ini biasanya tidak dapat menimbulkan masalah di masa kecil.


Namun, apabila tidak segera ditangani maka akan dapat menyebabkan penyakit pencernaan, termasuk gastritis (iritasi dan peradangan pada selpaut lambung), penyakit ulkus peptikum (ditandai dengan lukan yang terbentuk pada lambung atau bagian atas dari usus kecil yang disebut duodenum), dan bahkan kanker lambung di kemudian hari. Bakteri ini ditemukan di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang di mana sampai dengan 10% dari anak-anak dan 80% orang dewasa dapat memiliki bukti laboratorium infeksi H. pylori biasanya tanpa gejala.


Tanda Dan Gejala

Dalam hal ini siapapun dapat saja mengalami infeksi H. pylori tanpa menyadarinya karena kebanyakan infeksi H. pylori ini bersifat “diam” dan tidak menghasilkan gejala. Yang ketika bakteri yang menyebabkan gejala, mereka biasanya baik gejala gastritis atau penyakit ulkus peptikum.


Daftar Pustaka
1. Konsensus Nasional Penatalaksanaan infeksi Helicobacter pylori 2003.
2. KSHPI, Konsensus Nasional Penanggulangan Infeksi Helicobacter pylori, Jakarta: 1996 : 6.
3. Rani AA: Helicobacter pylori infection related gastroduodenal diseases in Indonesia. Journal of Helicobacter Research 2000;2: 4,t,2t – 24 ISSN 1342
4. Soeparyatmo JB, Soewignyo S, Muttaqin z. Suwei seroepidemiologik infeksi Helicobacter pylori di Suraka(a. Dalam Soewignyo S et at (ed) Seminar Nasional Helicobacter pylori dan Penyakit Gastroduodenal. Denpasar; 1995.93-101.
5. Soeswignyo. Muttaqin Z, Diarti MW, Muliartha K. The succes of oral therapeutic vaccination to eradicate Helicobacter murid arum infection in mice. Symposium on Immune Response and Host Defense. Nordwijk, The Netherland, 1996.
6. Solnick JV, Siddiqui J. Helicobacter pylori. In: Current Diagnosis and Treatment in Infectious Diseases. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill 2001.p. 581 – 86.
7. Suerbaum S, Michetti P Helicobacter pylori infection. N Engl J Med 2002;347 (15): 1175 – 86.
8. Thomson ABR. Helicobacter pylori : from infection to cure. Can Gastroenterol 1996; l0 (3) :167.
Mungkin Dibawah Ini yang Kamu Cari