Sejarah Suku Tolaki

Diposting pada

Untuk pembahasan kali ini kami akan mengulas mengenai suku tolaku yang dimana dalam hal ini meliputi sejarah, bahasa, mata pencaharian, kekerabatan, agama dan kepercayaan, nah agar lebih memahami dan dimengerti simak ulasannya dibawah ini.

Sejarah-Suku-Tolaki

Sejarah Suku Tolaki

Suku Tolaki adalah sebuah komunitas masyarakat yang mendiami pulau Sulawesi di sebelah Tenggara persisnya di Kota Kendari, Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara. Kebanyakan dari mereka punya profesi sebagai petani yang rajin dalam bekerja. Selain itu mereka juga punya semangat gotong royong yang tinggi.

Nama suku Tolaki tidak begitu saja ada dan terjadi dibalik nama tersebut tentu mengandung arti atau sejarahnya, nama suku Tolaki ini berasal dari kata TOLAKI, TO=orang atau manusia, LAKI= Jenis kelamin laki-laki, jadi artinya adalah manusia yang memiliki kejantanan yang tinggi, berani dan menjunjung tinggi kehormatan diri/harga diri.

Sehingga dari hal tersebut  akhirnya Suku Tolaki menjadi salah satu suku terbesar yang ada di Propinsi Sulawesi Tenggara di samping Suku Buton dan Suku Muna yang tersebar di Kab. Kendari dan Kab. Kolaka,  yang berada di Kab. Kolaka dan mendiami daerah Mowewe, Rate-rate dan Lambuya sedangkan yang berada di Kab. Kendari mendiami daerah Asera, Lasolo, Wawotobi, Abuki dan Tinanggea. Orang Tolaki pada mulanya menamakan dirinya Tolohianga (orang dari langit). Mungkin yang dimaksud “langit” adalah “kerajaan langit” sebagaimana dikenal dalam budaya Cina. Dalam dugaannya, ada keterkaitan antara kata “hiu” yang dalam bahasa Cina berarti “langit” dengan kata “heo” (Tolaki) yang berarti “ikut pergi ke langit”.


Bahasa Suku Tolaki

Bahasa Tolaki tergolong dalam kelompok bahasa-bahasa Bungku-Laki, bahasa ini memiliki beberapa dialek seperti dialek Mekongga, Konawe, Nawoni, Moronene, Kalisus dan Kabaena.


Mata Pencaharian Suku Tolaki

Mata pencaharian pokok orang Tolaki ialah bertanam padi disawah dan ladang. Sagu masih dimanfaatkan sebagai salah satu bahan makanan pokok pengganti. Ternak yang banyak mereka pelihara ialah kerbau dan sapi. Mata pencaharian lain seperti meramu hasil hutan, berburu binatang liar dengan tombak dan sumpit serta menangkap ikan di sungai dan laut juga banyak dilakukan.


Kekerabatan Suku Tolaki

Orang Tolaki menganut sistem hubungan kekerabatan yang parental sifatnya, keluarga baru segera membentuk rumah tangga sendiri tak lama setelah pernikahan. Pihak laki-laki harus menyediakan mas kawin yang besarnya disesuaikan dengan kedudukan pihak wanita dalam masyarakat, selain itu mas kawin untuk anak perempuan yang paling tua juga lebih besar jumlahnya.

Pada masa dulu dalam sistem perkawinan Tolaki ini dikenal pula adat memberi jasa kepada mertua untuk waktu tertentu. Karena itu ada kesan adat menetap sesudah menikah yang matrilokal, tapi segera dilanjutkan dengan adat neolokal. Pengaruh sistem pemerintahan kerajaan tradisional zaman dulu menyebabkan orang Tolaki pernah mengenal pelapisan sosial yang cukup tajam. Golongan bangsawan keturunan raja atau pembesar negeri disebut anakia, rakyat biasa disebut maradika dan dibawah sekali terdapat golongan budak tawanan perang dan hamba sahaya.


Agama Dan Kepercayaan Suku Tolaki

Orang Tolaki telah sejak lama memeluk agama Islam, akan tetapi sisa-sisa kepercayaan sebelum Islam masih dimiliki oleh beberapa kelompok kecil masyarakat. Kepercayaan animisme Tolaki meyakini adanya roh-roh yang mendiami semua benda, yang disebut sanggelo. Makhluk halus yang mereka padang sebagai dewa disebut sangia, baik sanggelo maupun sangia ada yang baik dan ada pula yang jahat. Sanggelo yang baik disebut sanggelo mbae dan sangia yang jahat disebut sangia mbongae.


TARIAN SUKU TOLAKI

TARIAN-SUKU-TOLAKI

Mengenakan busana tradisional berwarna kuning menyala, dilengkapi selendang biru, dan ikat kepala merah, serta aksesoris kalung etnik. Para penari wanita muda dan cantik ini berlenggak-lenggok atraktif dan kadang gemulai mengikuti irama musik. Tarian itu kerap disuguhkan di berbagai acara khusus untuk menerima atau menjemput tamu kehormatan.

Soal seni budaya, Kota Kendari pun tak kalah dengan daerah lain. Kalau Aceh identik dengan Tari Seudati, Jakarta tersohor dengan Tari Topeng Betawi, maka Kota Kendari pun memiliki beberapa tarian tradisional yang khas dan pantas dibanggakan, seperti Tari Monotambe dan Lulo.

Tari Monotambe atau tari penjemputan misalnya merupakan tarian khas Suku Tolaki yang kerap ditampilkan saat ada event berskala besar untuk menjemput tamu besar. Misalnya saat pembukaan Festival Tekuk Kendari (Festek) yang kerap dihadiri beberapa tamu penting dari Jakarta dan daerahlain. Sebagai catatan Suku Tolaki merupakan penduduk asli Kota Kendari sebagaimana Suku Betawi di Kota Jakarta.

Tarian ini dilakoni oleh 12 penari perempuan muda dan 2 penari lelaki sebagai pengawal. Para penari perempuanyya mengenakan busana motif Tabere atau hiasan, sarung tenun Tolaki, dan aksesoris seperti Ngaluh atau ikat kepala, dan kalung. Dalam tarian berdurasi sekitar 5 sampai 10 menit ini, beberapa penari perempuan membawa Bosara atau bokor dari rotan, sedangkan dua penari lelakinya memegang senjata tradisional.

Sementar Tari Lulo merupakan tari pergaulan khas Sulawesi Tenggara yang juga populer di Kota Kendari. Tarian ini biasanya dilakukan oleh kawula muda sebagai ajang perkenalan. Kini Tari Lulo juga kerap disuguhkan saat ada tamu kehormatan sebagai tanda persahabatan antara warga Kota Kendari dengan pendatang, dalam hal ini wisatawan.

Gerakan Tari Lulo tidaklah serumit tarian tradisonal lain. Para penarinya saling berpegang tangan satu sama lain membetuk lingkaran yang saling menyambung. Dalam sebuah acara besar yang dihadiri pengujung dari luar Kota Kendari, para penari Lulo selalu mengajak tamu dengan ramah untuk ikut menari. Setiap tamu yang tidak bisa menari akan dianjarkan cara melangkah atau menari ala Tari Lulo oleh penari yang mengajaknya hingga terbiasa.

Tari Lulo ini pun kerap ditampilkan pada Festek. Bahkan pada perayaan tersebut, tari ini pernah ditampilkan secara kolosal dengan mengikutsertakan warga kota dan wisatawan yang datang.


RUMAH ADAT SUKU TOLAKI

RUMAH-ADAT-SUKU-TOLAKI

Rumah adat Tolaki telah lenyap. Upaya rekonstruksi digalakkan, antara lain lewat Seminar Penelusuran Arsitektur Tradisional Tolaki Fak. Tek. Universitas Haluoleo, Maret 2004 . Dari studi intensif dan keterangan para nara sumber yang ada, beberapa hal dapat disimpulkan (Faslih, 2004). Antara lain, bahwa rumah adat Tolaki dapat berupa komali (rumah istana raja) atau laika (rumah tempat orang tinggal). Namun antara rumah raja dan rumah rakyat, yang membedakan adalah besar dan luasnya saja: rumah raja 40 depa rumah rakyat minimal 3 depa. Rumah hanya salah satu dari beberapa jenis shelter dalam peradaban arsitektur Tolaki, yaitu: tempat berlindung sementara (pineworu), pondok berlantai tanah ditengah ladang (laikawatu), tempat berlindung yang dipindah-pindahkan (payu), dangau (patande) dan lumbung (o ala). Pola tatanan permukiman pun tak lepas dari konsep kalo: konsentrik dengan posisi rumah raja/kepala suku berada di bagian tengah (Tarimana 1993).

Menurut para nara sumber adat dalam hasil studi arsitektural dan etnografi, yang menjadi core element dalam rumah adat Tolaki adalah 9 jajar tiang dengan diperkuat balok melintang (powuatako) dan memanjang (nambea). Dalam jajaran tiang ini terdapat satu tiang utama yang disebut dengan tiang petumbu yang terletak ditengah baris dan lajur ke-9 tiang ini. Tiang petumbu adalah tiang yang pertama kali ditanam dan pemasangannya dilakukan pada waktu subuh (sebelum matahari terbit). Setelah petumbu didirikan, 4 hari atau lebih baru didirikan tiang-tiang lainnya dengan maksud untuk melihat dalam jangka waktu tertentu apakah akan terjadi sesuatu pada tiang petumbu. Jika tidak terjadi sesuatu maka dilakukan pemasangan ke-9 tiang yang lainnya.

Setelah ke-9 tiang berdiri yang pertama dipasang adalah balok powuatako (A) pada sisi dalam tiang arah bagian belakang rumah, selanjutnya balok B dan C. Setelah balok powuatako dipasang selanjutnya pemasangan balok nambea (1) dimulai dari arah kanan rumah, kemudian menyusul nambea 2 dan nambea 3. Semua Powuatako dan nambea, baik yang melintang maupun yang memanjang yang menempel pada tiang dipinggir luar badan bangunan, harus ditempatkan di belakang tiang. Agar setelah dinding dipasang tiang tak akan kelihatan dari luar, karena terhalang oleh dinding.

Rumah Komali berbentuk rumah panggung yang menggunakan tiang-tiang bundar (tusa), tidak menggunakan pondasi seperti halnya rumah-rumah adat yang lain. Tiang ditanam sedalam satu hasta, tiang yang akan ditanam ke dalam tanah sebelumnya dibakar pada bagian selubung (permukaan tiang) hingga menjadi arang, selanjutnya tiang yang dibakar tadi dibungkus dengan ijuk dan diikat persegmen dengan menggunakan rotan. Makna kedalaman satu hasta tidak ada, hanya terkait dengan kemudahan penggalian dan pengang-katan tanah ke permukaan. Tiamh dibakar dan dibung-kus bertujuan agar permukaan selubung tiang menjadi arang agar tiang tidak mudah dimakan rayap dan agar arang tersebut tetap melekat pada selubung tiang.

Tinggi tiang dari permukaan tanah hingga ke permukaan lantai diperkirakan kerbau bisa masuk dibawahnya, kurang lebih 2 m. Jumlah tiang untuk Komali adalah 40 tiang di luar tiang dapur dan tiang teras. Makna dari jumlah 40 tiang ini terkait dengan suatu jumlah yang disaratkan dalam meminang yaitu 40 pinang dan 40 lembar daun sirih. Jadi perwujudan ini diejawantahkan dalam tiang-tiang penopang rumah. Jika dianalisis dari segi fungsi maka jumlah 40 tiang merupakan jumlah tiang yang mewakili satu rumah besar, yang hanya dibangun oleh tokoh tertinggi adat (Mokole).

Hubungan antara balok powuatako, nambe dengan tiang, diikat dengan rotan. Cara mengikat; pertama rotan pengikat diikatkan pada powuatako atau nambea bukan pada tiang. Putaran pertama kali silang ke arah kanan sebanyak 4 putaran selanjutnya pada arah silang kiri sebanyak 3 kali putaran terakhir di tinohe di antara tiang dan powuatako atau nambea. Setelah pemasangan kesembilan tiang ini barulah bisa dilakukan pemasangan tiang-tiang tambahan lainnya sesuai dengan luasan dan kebutuhan yang dikehendaki.

Kesembilan tiang yang merupakan core element dalam rumah adat Tolaki merupakan symbol dari siwolembatohu yaitu delapan penjuru mata angin. Tiang petumbu merupakan pusat dari siwolembatohu. Oleh karena itu, inilah yang menjadi dasar pemikiran mengapa tiang petumbulah yang pertama kali dibangun bahkan dalam pemasangannya diikuti oleh upacara ritual dan pada bagian puncaknya diberi ramuan guna memohon kepada Tuhan agar seisi rumah yang menempati rumah ini dapat terhindar dari berbagai bahaya yang datang dari delapan penjuru mata angin.


Baca Juga :

Mungkin Dibawah Ini yang Kamu Cari