Penjelasan Ciri Hewan Sapi Dalam Biologi

Diposting pada

Pengertian Sapi

Sapi adalah hewan ternak terpenting sebagai sumber daging, susu, tenaga kerja, dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% kebutuhan daging di dunia, 95% kebutuhan susu dan 85% kebutuhan kulit Sapi berasal dari famili Bovidae, seperti halnya bison, banteng, kerbau (Bubalus), kerbau Afrika (Syncherus), dan Anoa (Sugeng, 2003). Menurut Sugeng (2003), domestikasi sapi mulai dilakukan sekitar 400 tahun SM.


Sapi diperkirakan berasal dari Asia Tengah, kemudian menyebar ke Eropa, Afrika dan ke seluruh wilayah Asia. Menjelang akhir abad ke-19, sapi Ongole dari India dimasukkan ke Pulau Sumba dan sejak saat itu pulau tersebut dijadikan tempat pembiakan sapi Ongole murni. Sapi merupakan salah satu genus dari Bovidae.


Produktivitas sapi potong sangat dipengaruhi oleh faktor genotipe dan lingkungan. Pertumbuhan anak sebelum dan sesudah disapih mempunyai arti sangat penting dalam usaha ternak sapi, karena kedua hal tersebut erat hubungannya dengan kemampuan untuk menghasilkan pertumbuhan yang efisien pada anak yang dilahirkan ditentukan sebagai berikut : P = G + E, dimana P= Performans ; G = genetic ; dan E = lingkungan.


Salah satu faktor lingkungan adalah iklim (Komarudin Ma’sum dkk, 1991). Iklim meliputi temperatur, kelembaban, curah hujan, musim (musim hujan dan kemarau) dapat berpengaruh terhadap produktivitas. Darmadja (1980) menyatakan di dalam bidang peternakan produktivitas ternak merupakan potensi yang dapat dimanifestasikan dalam rangka meningkatkan nilai manfaatnya dan tercakup dalam dua aspek yaitu aspek reproduksi dan aspek produksi. Adapun produktivitas berkaitan dengan karakter yang dimiliki ternak. Dalam produksi ternak yang bersifat komersial, pendugaan produktivitas digunakan sebagai pedoman.


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Hewan Herbivora


Ciri-Ciri Fisik

Dalam hal ini ciri-ciri fisik termasuk warna dan penempatan telinga, juga bervariasi antara keturunan sapi. Mereka memiliki penglihatan tepi yang baik untuk dapat mendeteksi predator yang mendekat dan mereka dapat mendengar suara pada nada yang tinggi. Jangka untuk hidup alami rata-rata sapi ialah 25 tahun, tetapi banyak yang mati pada usia 3 sebagai bagian dari praktek pertanian modern.


Hewan sapai pada umumnya memakan rumput dan batang, ketika mereka makan mereka melengkungkan lidah mereka di sekitar tanaman dan mengiris dengan gigi bawah mereka. Mereka merupakan ruminansia dan memiliki perut dengan empat ruang untuk mencerna tanaman berserat. Bakteri memecah bahan tanaman dalam perut mereka untuk menciptakan biak, yang kembali memasuki tenggorokan sehingga sapi dapat menguyah lagi. Untuk total waktu dalam pencernaan pada sapi dapat sebanyak 100 jam.


Dalam penelitian Universitas Northampton sekitar tahun 2011 menunjukkan bahwa emosi sapi mungkin lebih dalam dari yang diperkirakan sebelumya. Hewan sapi dapat membentuk hubungan sosial dan biasanya tenang dan damai. Namun, catatan penelitian mereka juga dapat menjadi pengganggu agresif. Induk sapi sering sangat protektif terhadap anak sapi mereka, dan banyak sapi yang ingin tahu mengenai hal-hal yang baru tapi takut pada waktu yang sama.


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Hewan Vivipar


Manfaat Sapi bagi Kesehatan

Sapi merupakan hewan penghasil daging yang sangat dibutuhkan. Selain karena rasanya yang enak, sapi memiliki banyak manfaat bagi kesehatan manusia. Berikut ini beberapa bagian-bagian dari sapi yang bermanfaat bagi kesehatan manusia.


Manfaat Kulit Sapi untuk Kesehatan

Kulit sapi yang diolah untuk di jadikan kerupuk, mengandung zat yang bermanfaat bagi tubuh, diantaranya adalah :

  1. Protein, Berdasarkan penelitian, sebagai produk hewan tanpa campuran, kandungan protein yang terdapat pada kerupuk kulit adalah sebesar 82,91%.

  2. Lemak, Kandungan lemak kerupuk kulit sapi yang mentah umumnya rendah yaitu 3,84% per 100 g. Setelah di goreng, kandungan lemak meningkat menjadi 20-30 kali lipat tergantung pada bahan yang di gunakan dan cara menggorengnya (ditiriskan atau tidak). Dengan demikian, kerupuk kulit yang sudah digoreng merupakan sumber konsumsi minyak yang menguntungkan bagi individu yang membutuhkannya, namun merugikan bagi individu yang harus membatasi konsumsi minyak.


  3. Mineral, Kadar mineral yang terkandung dalam kerupuk kulit hanya sebesar 0,04% . Mineral ini umumnya terdiri dari kalsium, fosfor, besi dan mineral lainnya yang berasal dari bahan dasar kerupuk tersebut .


  4. Natrium glutamat atau MSG atau NaG bebas, yang terkandung pada kerupuk kulit sebesar 0,8 g – 5,3 g per 100 g kerupuk kulit dengan rata-rata 3,05 g per 100 g. Kelompok glutamat sebagai garam kalsium, kalium dan natrium merupakan kelompok bahan tambahan makanan (BTM) yang berfungsi sebagai penguat rasa atau meningkatkan rasa enak.


Manfaat Daging Sapi bagi Kesehatan

  1. Mengandung aneka gizi penting untuk pertumbuhan tubuh dan otak /kecerdasan anak,sajikan menu masakan daging sapi 3 – 4 kali seminggu.

  2. Cegah Anemia Gizi dengan Zat Besi. Anemia karena kekurangan zat besi merupakan masalah gizi yang umum terjadi didunia. Jika menyerang anak-anak, wanita subur, dan terutama wanita hamil, bisa menjadi masalah serius. Namun anemia gizi bisa derita pria dan wanita yang lebih tua. Anemia bisa menyebabkan tubuh lesu,sulit konsentrasi,terhambatnya pertumbuhan(kerdil), penurunan daya tahan tubuh terhadap infeksi, kegagalan perkembangan mental, dan motorik dalam jangka panjang, kecerdasan tidak berkembang maksimal. masalah kehamilan, hingga kematian ibu saat melahirkan.


  3. Daging sapi merupakan salah satu daging yang jamak digunakan dalam kehidupan manusia guna memenuhi kebutuhan akan makanan. Hal ini dikarenakan daging sapi mengandung banyak sekali kandungan gizi yang bermanfaat bagi manusia, yakni antara lain:


Kandungan Vitamin dan Protein dalam Sapi

Zat Besi

  • Daging merah (sapi) adalah sumber terkaya zat besi.
  • Zat besi pada daging lebih mudah diserap tubuh ketimbang zat besi pada sayuran atau makanan olahan, seperti sereal.
  • Zat besi penting untuk pengangkutan oksigen, produksi energi, dan perkembangan otak.

Seng dan Selenium

  • Daging merah juga menjadi sumber seng yang baik.
  • Kebutuhan seng 50 persen lebih tinggi bagi individu yang tidak makan daging sama sekali.
  • Seng dan selenium penting untuk sistem imunitas, pertumbuhan, serta penyembuhan luka.

Vitamin Grup B

  • Daging merah mengandung vitamin grup B, termasuk riboflavin, niacin, pantothenic acid, vitamin B6, dan vitamin B12.
  • Vitamin B12 tidak ditemukan dalam makanan dari tumbuh-tumbuhan.
  • Kekurangan vitamin B12 merugikan fungsi neurologi, termasuk daya ingat dan konsentrasi.

Vitamin D

  • Studi di Inggris menunjukkan bahwa daging merah mengandung vitamin D.
  • Vitamin D penting bagi kesehatan tulang.

Asam Lemak Omega 3

  • Daging merah adalah sumber alami omega 3.
  • Omega 3 penting untuk sistem saraf dan kesehatan jantung.
  • Daging merah relatif rendah lemak jenuh dan lemak trans.

Protein

  • Daging merah mengandung protein yang tinggi.
  • Sebanyak 100 gram daging merah mentah mengandung sekitar 20-25 gram protein.
  • Fungsi protein adalah membangun kembali sel-sel yang rusak dalam tubuh.
  • Protein juga membentuk zat-zat pengatur, seperti enzim dan hormon.

Di antara beberapa jeroan lain yang selama ini dianggap kaya akan manfaat bagi kesehatan adalah Manfaat Hati Sapi. Pada sebagian orang, makan hati hewan ternak cukup dianjurkan, karena kandungan hati sapi memang mengandung zat besi yang tinggi. Zat besi adalah unsur penting dalam pembentukan sel darah merah, karena itu hati bagus dikonsumsi mereka yang memiliki kadar haemoglobin (Hb) rendah.


Kandungan hati sapi yang juga mengandung vitamin A, vitamin B12, asam folat, vitamin C, fosfor, seng, dan zat besi, bagus dikonsumsi mereka yang dalam masa penyembuhan dari sakit, dan ibu hamil. Hati juga dipercaya mengandung zat kolin yang berperan penting untuk perkembangan fungsi otak. Karenanya, bagus untuk dikonsumsi anak balita.


Hati sapi sangat kaya akan zat gizi, terutama kandungan retinol yang mencapai 13303 ug/100 g. Nutrisi lain yang tidak kalah pentingnya adalah protein 19.7 g, lemak 3.2 g, kalsium 7 mg, fosfor 358 mg dan zat besi 6.6 mg. Jika Anda mau sedikit berkreasi, dengan pengolahan yang sederhana, daging sapi bisa diolah menjadi hidangan yang lezat dan sehat


Mengonsumsi hati juga perlu berhati-hati, karena organ hati adalah organ penyaring racun dalam sistem pencernaan tubuh, karenanya rentan tercemar zat kimia, pestisida, ataupun racun lainnya. Karena itulah, bila ingin mengonsumsi hati ternak, Anda harus cermat memilih. Hati harus masih dalam keadaan segar, tidak berwarna abu-abu, dan harus dicuci berulang kali hingga bersih, dan direbus sampai matang sebelum diolah.


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Hewan Ovovivipar


Siklus Reproduksi

Reproduksi adalah suatu kemewahanfungsi tubuh yang secara fisiologik tidak vital bagi kehidupan individual, tetapi sangat penting bagi kelanjutan keturunan suatu jenis atau bangsa hewan. Dalam hal ini berarti ternak harus memperoleh pakan yang baik dan gizi yang cukup agar fungsi fisiologi reproduksinya dapat bekerja dengan baik dan optimal.


Pada umumnya reproduksi baru dapat berlangsungsetelah hewan mencapai pubertas atau dewasa kelamin. Prosesini diatur oleh sistem syarafserta kelenjar-kelenjar endokrin dan hormon-hormon yang dihasilkannya. Reproduksi padahewan betina merupakan suatu proses yang kompleks, dan mudah mendapat gangguan pada berbagai stadium siklus reproduksi. Kegagalan reproduksi sapi dapat diakibatkan oleh interaksi berbagai faktor, seperti pakan, lingkungan, keterampilan manusia dan manajemen pemeliharaan, gangguan fungsional (hormonal) dan penyakit.


Siklus reproduksi adalah serangkaian kegiatan biologik kelamin yang berlangsung secara periodik hingga terlahir generasi baru dari suatu makhluk hidup. Jika siklus reproduksi dari suatu makhluk terputus maka kehadiran makhluk tersebut didunia menjadi terancam. Proses-proses biologik yang dimaksut meliputi proses reproduksi dalam tubuh makhluk jantan dan betina sejak makhluk tersebut lahir sampai dapat melahirkan lagi. Kemampuan reproduksi hewan dimulai saat dewasa kelamin atau pubertas. Kesiapan alat reproduksi betina tidak hanya mencakup kemampuan oosit tetapi juga untuk kosepsi, inplantasi embrio. Plasentasi dan kebuntingan dan berakhir pada kelahiran . untuk itu siklus reproduksi mencakup pubertas, siklus birahi, ovigenesis, fertilisasi, kebuntingan dan kelahiran pada hewan betina, serta spermatogenesis dan pemasakan spermatozoa pada hewan jantan.


Siklus birahi didefinisikan sebagai waktu antara dua periode birahi. Rata-rata lama birahi pada berbagai ternak hapir sama, kira-kira 17 hari pada domba, 21 pada sapi dan kambing, 22 hari pada kuda dan 20 hari pada babi. variasi pajang siklus terjadi diantara individu. Variasi panjang siklus birahi adalah pada sapi antara 17-24 hari, pada kuda antara 19-25 hari dan pada kambing antara 15-35 hari. Variasi panjang siklus birahi pada dasarnya diharapkan normal, namun adakalanya terjadi penyimpangan dan merupakan gejala adannya suatu kelainan.


Untuk memudahkan petani dalam melakukan menejemen perkawinan pada ternak yang dipeliharanya, maka pencatatan reproduksi ternak mutlak diperlukan. Hal–hal yang perlu dicatat adalah sebagai berikut:


  • Siklus birahi, jika sapi perah induk yang dipelihara memiliki siklus birahi antara 18–24 hari, maka sapi perah induk tersebut memiliki sisitem reproduksi yang normal. TOELIHERE (1993) dan PENNINGTON (2007) menerangkan bahwa siklus berahi pada sapi yangnormal 18–24 hari, dengan rataan 21 hari


  • Lama berahi, menurut DRANSFIELD (1998) rata–rata 7 jam dengan kisaran 33 menit sampai 36 jam. Sedangkan menurut PENNINGTON (2007) lamaberahi antara 12 sampai18 jam.


  • Waktu mengawinkan, pentingnya catatan ini adalah peternak dapat mengetahui apakah ternaknya sudah bunting atau belum, dengan melihat apakah sapi perah induk tidak minta kawin kembali (NR) dalam waktu 28–35 atau 60–90 hari setelah dikawinkanTOELIHERE (1993). Penetuan keberhasilan kebuntingan dengan melihat ada tidaknya berahi pada 90 hari setelah sapi induk dikawinkan dilakukan juga oleh WIJONO et al. (1997) dan SUGIARTI et al. (1998), kemudian dilakukan palpasi reektal.


  • Waktu kelahiran, catatan ini penting, untuk mengetahui umur sapi perahanak yang dilahirkan secara tepat dan akurat, selain itu berguna untukmenentukan umur penyapihan dan waktu mengawinkan kembali sapi perah induk setelah beranak agar jarak beranak dapat diperpendek


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Hewan Omnivora – Pengertian, Ciri, Adaptasi, Keuntungan, Kerugian, Contoh


Pubertas Hewan Sapi

Pubertas pada ternak didefinisikan sebagai suatu fase atau keadaan dimana ternak mulai mampu berfungsi untuk menghasilkan keturunan (anak). Pada ternak peliharaan definisi pubertas (dewasa kelamin) adalah jika ternak jantan telah menghasilkan spermatozoa yang hidup dan fertil pada semen dan dapat mengawini betina, sedangkan pada ternak betina adalah umur pada saat ekspresi birahi terlihat untuk pertama kalinya dan disertai ovulasi. Semua ternak mencapai dewasa kelamin sebelum tubuh dewasa mencapai sempurna. Jika ternak dikawinkan saat pubertas, maka tigkat kesulitan semakin tinggi.


Sebab kondisi badannya masih dalam proses pertumbuhan, dengan demikian tubuhnya harus menyediakan makanan untuk pertumbuhan induknya dan anaknya. Faktor sosial sangat mempengaruhi saat tercapainya pubertas. Adanya pejantan disekitar anak-anak sapi betina, mempercepat tercapainya pubertas : sedangkan jika disekumpulan ternak betina tidak ada jantannya maka akan mengalami perlambatan saat mencapai pubertasnya.


Sejumlah faktor lingkungan juga mempengaruhi faktor pubertas, pada umumnya berbagai faktor yang memperlambat pertumbuhan dan potensi genetik, akan memperlambat pubertas. Sapi perah FH jika diberi pakan sesuai denan anjuran akan mempercepat pubertas pada umur 11 bulan, tetapi jika pakan yang diberikan hanya 62% dari level energi yang dianjurkan akan memperlambat pubertas pada umur lebuh dari 20 bulan.


Suhu lingkungan yang tinggi juga akan memperlampat pubertas. Pada sapi potong, jika dipelihara pada suhu 10ºC akan mempercepat pubertas pada umur 10,5 bulan tetapi jika sapi dara dipelihara pada suhu 27ºC akan mencapai puertas pada umur lebih dari 13 bulan.


Buruknya sanitasi lingkungan menjadi pengaruh pubertas dan kesehatan hewan, lingkungan yang tidak baik akan memperlambat pubertas dan menurunkan ukuran dewasa dari ternak. Tetapi berat pubertas tidak terlalu terpengaruh. Sapi dara engan nutrisi rendah akan 84% tampak lebih tua tetapi hanya 7% yang lebih kecil ukurannya.


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Adaptasi – Pengertian, Tujuan, Jenis, Manusia, Tingkah Laku, Hewan, Tumbuhan, Para Ahli


Periode Siklus Birahi Sapi

Siklus birahi pada dasarnya sama pada semua hewan, walaupun semua jenis hewan mmiliki ciri khas masing-masing. Siklus birahi dapat dibagi menjadi 4 atau 5 periode. Tiap periode akan beralih ke periode berikutnya, adapun periode tersebut adalah :


  • Estrus
  • Medestrus
  • Diestrus
  • Proestrus
  • Anestrus (kusus untuk hewan-hewan monoestrus)

Periode siklus birahi terbagi atas estrus (birahi), medestrus, diestrus dan proestrus. Periode ini akan berjalan dalam suatu siklus keculai pada periode anestrus selama kebuntingan dan setelah melahirkan untuk semua spesies. Menurut banyaknya siklus birahi, tiap tahun hewan dapat dibagi menjadi 4 golongan.


  1. Hewan-hewan monestrus: ialah hewan yang mengalami siklus birahi dalam setahun misal pada anjing betina
  2. Hewan-hewan diestrus: hewan yang mengalami dua kali siklus birahi dalam setahun misalnya pada kucing
  3. Hewan-hewan polyestrus ialah hewan yang meangalami beberapa kali siklus birahi dalam satu tahun. Terdapat pada hewan ternak seperti sapi, babi, domba, kambing dan rodensia.
  4. Hewan-hewan polyestrus bermusim (seasonal polyestrus) hewan-hewan yang mengalami siklus birahi beberapa kali secara periodik hanya selama musim yang baik, seperti pada domba pada musim gugur dalam setahun.

Faktor-faktor yang mempengaruhi siklus birahi.

Banyak sekali faktor yang mempengaruhi lamanya siklus birahi dan kelahiran terutama dalam panjangnya siklus birahi sering sekali terlihat pada hewan ternak.


  1. Keadaan makanan dan keadaan sekeliling yang baik menimbulkan lebih banyak siklus birahi pada hewan yang monoestrus atau diestrus, misal pada anjing yang umumnya hanya dua kali mengalami siklus birahi pada satu tahun, dapat mengalami siklus birahi lebih dari dua kali dalam setahun. Pada domba dan babi dikenal “flushing” yaitu pemberian makanan yang berlebih sebelum musim birahi, sehingga dicapai masa birahi yang dipercepat. Sebaliknya setiap kekurangan makanan, sehingga mengakibatkan kelaparan dari kekurusan pada hewan betina dapat menghasilkan produksi hormon gonadotropin dari kelenjar hipofisa anterior sehingga siklus birahi dapat sangat diperpanjang atau tidak berlangsung sama sekali.


  2. Musim dan cahaya matahari terutama dinegara-negara 4 musim hewan-hewan liar pada dasarnya musim kawin akan timbul sedemikian rupa sehingga anaknya dapat dilahirkan dalam musim terbaik bagi anak dan induknya. Musim terbaik ini adalah musim semi, sehingga faktor banyaknya cahaya matahari masih memegang peranan dalam menggertak timbulnya musim kawin pada hewan ternak.


  3. Suhu udara : pengaruh dari suhu sekitarnya terdapat berlangsungnya siklus birahi masih ada walaupun hal ini tidak terlalu menonjol. Hal ini sangat berkaitan dengan faktor banyaknya cahaya matahari yang diterima oleh hewan ternak itu.

  4. Umur : pada sapi dan babi, umumnya betina yang masih muda menunjukkan birahi dan siklus birahi yang sedikit lebih pendek daripada yang lebih dewasa. Ketuaan yang disertai kehilangan gigi, sehingga hewan sukar makan dan menjadi kurus umumnya mengakibatkan berhentinya siklus birahi.

  5. Penyakit-penyakit : penyakit umum yang kronis dan hebat sehingga menyebabkan kekurusan pada hewan betina itu dapat memberhentikan berlangsungnya siklus birahi.


  6. Genetik : kelainan genetik yang menyebabkan tidak timbulnya siklus birahi yang normal pada hewan betina juga terlihat diantara hewan ternak kelainan-kelainan genetik ternak dapat berupa hypofungsi dari kelenjar gonad (hypogonadism) sehingga ovarium tidak dapat bekerja sebagai mana mestinya. Hewan betina yang mengalami hypogonadism tidak akan terlihat adanya siklus birahi yang normal.


  7. Tumor tumor pada kelenjar hypophysa, ovarium atau kelenjar adrenal, dapat memberikan kelainan dalam siklus birahi.


  8. Kebuntingan, dapat langsung mnghentikan siklus birahi secara physcologis, siklus birahi akan normal kembali setelah partus.


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : 16 Ciri-Ciri Makhluk Hidup Hewan Dan Tumbuhan Beserta Gambarnya


Jenis-jenis Sapi

Sapi Limousine

Sapi Limousine

Sapi ini berasal dari Perancis dan merupakan tipe sapi potong ciri yang dimilki sapi ini adalah warna bulu merah cokelat, tetapi pada sekeliling mata dan kaki mulai dari lutut ke bawah berwarna agak terang ukuran tubuh besar dan panjang, pertumbuhan bagus. Tanduk pada jantan tumbuh keluar dan agak melengkung.berat badan sapi betina 650 kg, dan jantan 850 kg (Sugeng, 2003). Menurut Nuryadi dan Sri (2010) sapi Peranakan Limousin nilai S/C 1,34 dan nilai Conception Rate (CR) 66%.


Sapi Simental

Sapi Simental

Sapi Simmental adalah bangsa Bos taurus (Siregar, 1999), berasal dari daerah Simme di negara Switzerland tetapi sekarang berkembang lebih cepat di benua Eropa dan Amerika, merupakan tipe sapi perah dan pedaging, warna bulu coklat kemerahan (merah bata), dibagian muka dan lutut kebawah serta ujung ekor.  berwarna putih, sapi jantan dewasanya mampu mencapai berat badan 1150 kg sedang betina dewasanya 800 kg.


Bentuk tubuhnya kekar dan berotot, sapi jenis ini sangat cocok dipelihara di tempat yang iklimnya sedang. Persentase karkas sapi jenis ini tinggi, mengandung sedikit lemak. Dapat difungsikan sebagai sapi perah dan potong. Secara genetik, sapi Simmental adalah sapi potong yang berasal dari wilayah beriklim dingin, merupakan sapi tipe besar, mempunyai volume rumen yang besar, voluntary intake (kemampuan menambah konsumsi di luar kebutuhan yang sebenarnya) yang tinggi dan metabolic rate yang cepat, sehingga menuntut tata laksana pemeliharaan yang lebih teratur.


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Hewan Karnivora : Pengertian, Dan Ciri Beserta Contohnya Secara Lengkap


Kebuntingan atau Kehamilan sapi

Periode kebuntingan dimulai dengan pembuahan dan berakhir dengan kelahiran anak yang hidup. Peleburan spermatozoa dengan ovum mengawali reaksi kimia dan fisika yang majemuk (Salisbury, 1985). Satu periode kebuntingan adalah periode dari mulai terjadinya fertilisasi sampai terjadinya kelahiran normal. Frandson (1992) menyatakan bahwa  kebuntingan berarti keadaan anak sedang berkembang didalam uterus seekor hewan. Pertumbuhan makhluk baru terbentuk sebagai hasil pembuahan ovum oleh spermatozoa dapat dibagi menjadi 3 periode, yaitu: periode ovum,periode embrio dan periode fetus. Periode ovum dimulai dari terjadinya fertilisasi sampai terjadinya implantasi, sedang periode embrio dimulai dari implantasi sampai saat dimulainya pembentukan alat alat tubuh bagian dalam. Periode ini disambung oleh periode fetus. Lamanya periode kebuntingan untuk tiap spesies berbeda-beda perbedaan tersebut disebabkan faktor genetik.


Menurut Frandson (1992) menyatakan bahwa Periode kebuntingan pada pada kuda 336 hari atau sekitar sebelas bulan; sapi 282 hari atau sembilan bulan lebih sedikit; domba 150 hari atau 5 bulan; babi 114 hari atau 3 bulan 3 minggu dan 3 hari, kelinci 28-35 hari dan anjing 63 hari atau sekitar 2 bulan. Menurut Salisbury (1985) menyatakan periode kebuntingan pada semua bangsa sapi perah berlangsung 278-284 hari kecuali brown swiss rata-rata 190 hari.


Selama masa kebuntingan, alat kelamin betina mengalami beberapa perubahan. Menurut Partodiharjo (1982) hewan yang mengalami masa kebuntingan akan menunjukan perubahan bagian-bagian tertentu sebagai berikut:


  • Vulva dan vagina
    Setelah kebuntingan berumur 6 sampai 7 bualan pada sapi dara akan terlihat adanya edema pada vulvanya. Semakin tua buntingnya semakin jelas edema vulva ini. Pada sapi yang telah beranak, edema vulva baru akan terlihat setelah kebuntingan mencapai 8,5 sampai 9 bulan.


  • Serviks
    Setelah terjadi fertilisasi perubahan terjadi pada kelenjar-kelenjar serviks. Kelenjar ini akan menghasilkan lendir yang kental semakin tua umur kebuntingan maka semakin kental lendir tersebut


  • Uterus
    Perubahan pada uterus yang pertama terjadinya vaskularisasi pada endomertium, terbentuk lebih banyak kelenjar endometrium, sedangkan kelenjar yang telah ada tumbuh lebih panjang dan berkelok-kelok seperti spiral


  • Cairan Amnion dan Allantois
    Volume cairan amnion dan allantois selama kebuntingan juga mengalami perubahan. Perubahan yang pertama adalah volumenya, dari sedikit menjadi banyak, perubahan kedua adalah dari perbandingannya. Hampir semua spesies, cairan amnion menjadi lebih banyak dari pada volume cairan allantois, tetapi pada akhir kebuntinan cairan allantois menjadi lebih banyak.


  • Perubahan pada ovarium
    Setelah ovulasi, terjadilah kawah bekas folikel. Kawah ini segera dipenuhi oleh darah yang dengan cepat membeku yang disebut corpus hemorrhagicum. Pada hari ke 5 sampai ke-6 korpus luteum telah terbentuk

Hormon yang Berperan saat Kebuntingan

  1. GnRH (Gonadotrophin Realesing Hormon)GnRH merupakan suatu dekadeptida (10 asam amino) dengan berat molekul 1183 dalton. Hormon ini menstimulasi sekresi Follicle Stimulating Hormon (FSH) dan Lutinizing Hormone (LH) dari hipofisis anterior. Pemberian GnRH meningkatkan FSH dan LH dalam sirkulasi darah selama 2 sampai 4 jam (Salisbury, 1985).

  2. FSH dan LH merangsang folikel ovarium untuk mensekresikan estrogen. Menjelang waktu ovulasi konsentrasi hormon estrogen mencapai suatu tingkatan yang cukup tinggi untuk menekan produksi FSH dan dengan pelepasan LH menyebabkan terjadinya ovulasi dengan menggertak pemecahan dinding folikel dan pelepasan ovum. Setelah ovulasi maka akan terbentuk korpus luteum dan ketika tidak bunting maka PGF2α dari uterus akan melisiskan korpus luteum. Tetapi jika terjadi kebuntingan maka korpus luteum akan terus dipertahankan supaya konsentrasi progesteron tetap tinggi untuk menjaga kebuntingan (Imron, 2008).


  3. FSH dan LH merangsang folikel ovarium untuk mensekresikan estrogen. Menjelang waktu ovulasi konsentrasi hormon estrogen mencapai suatu tingkatan yang cukup tinggi untuk menekan produksi FSH dan dengan pelepasan LH menyebabkan terjadinya ovulasi dengan menggertak pemecahan dinding folikel dan pelepasan ovum. Setelah ovulasi maka akan terbentuk korpus luteum dan ketika tidak bunting maka PGF2α dari uterus akan melisiskan korpus luteum. Tetapi jika terjadi kebuntingan maka korpus luteum akan terus dipertahankan supaya konsentrasi progesteron tetap tinggi untuk menjaga kebuntingan (Imron, 2008).


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Pengertian Jaringan Pada Hewan Dan Tumbuhan (Termasuk Manusia) Dalam Biologi


Diagnosa Kebuntingan

Metode Deteksi Kebuntingan . Deteksi kebuntingan dengan urine dan asam sulfat (H2SO4)

Dalam kinerja reproduksi deteksi kebuntingan merupakan salah satu masalah yang sering dihadapi setelah sapi dikawinkan atau di IB (diinseminasi buatan). Untuk itu diperlukan suatu metode deteksi kebuntingan yang hendaknya mudah, murah, cepat dan tepat sehingga dapat mengefisienkan penanganan terhadap ternak betina yang bunting tersebut. Pemeriksaan sendiri mungkin sangat diperlukan. Saat ini deteksi kebuntingan umumnya dilakukan dengan palpasi per rektal, dan kemungkinan yang tepat dapat terjadi 2–3 bulan setelah diinseminasi dan semakin tepat dengan bertambahnya umur kebuntingan. Beberapa metode diagnosis telah di aplikasikan di lapangan.


Metode diagnosis yang populer pada sapi adalah palpasi rektal. Aplikasi metode ini sulit diterapkan karena butuh keahlian dan pengalaman yang cukup serta risiko yang ditimbulkan jika dilakukan dengan penanganan yang kurang baik. Pada level lapangan, jumlah tenaga untuk aplikasi metode ini sangat terbatas. Oleh karena itu, perlu dicari suatu solusi alternatif sehingga ditemukan suatu metode yang ideal yang dapat diaplikasikan pada sapi masyarakat. Dasar teoritis pemeriksaan urine ini adalah terdapatnya hormon estrogen pada sapi bunting yang disekresikan melalui urin. Hormon estrogen tersebut berasal dari plasenta. Ketika dicampur dengan asam sulfat, maka estrogen tersebut akan dibakar sehingga terbnetuk fluoresensi warna. Aplikasi metode ini sangat sederhana dan memenuhi syarat syarat ideal untuk diagnosis kebuntingan sehingga sangat tepat untuk diaplikasikan pada level peternak.


Metode deteksi kebuntingan yang sering diterapkan didunia peternakan meliputi :

  • Eksplarasi Rektal
    Eksplorasi rektal adalah metoda diagnosa kebuntingan yang dapat dilakukan pada ternak besar seperti kuda, kerbau dan sapi.Prosedurnya adalah palpasi uterus melalui dinding rektum untuk meraba pembesaran yang terjadi selama kebuntingan, fetus atau membran fetus.Teknik yang dapat digunakan pada tahap awal kebuntingan ini adalah akurat, dan hasilnya dapat langsung diketahui.

    Sempitnya rongga pelvic pada kambing, domba dan babi maka eksplorasi rektal untuk mengetahui isi uterus tidak dapat dilakukan (Arthur, et al., 1996).Palpasi transrectal pada uterus telah sejak lama dilakukan.Teknik yang dikenal cukup akurat dan cepat ini juga relative murah.Namun demikian dibutuhkan pengalaman dan training bagi petugas yang melakukannya, sehingga dapat tepat dalam mendiagnosa. Teknik ini baru dapat dilakukan pada usia kebuntingan di atas 30 hari (Broaddus dan de Vries, 2005).


    Pemeriksaan kebuntingan ternak khususnya sapi umumnya dilakukan dengan explorasi rectal atau palpasi rektum.Dalam melakukan palpasi rektum, tidak semua orang bisa melakukannya, hanya orang-orang tertentu saja yang ahli dalam bidang tersebut. Namun ketersediaan orang–orang tersebut tidaklah merata di seluruh daerah khususnya daerah Sumatera Barat. Sedangkan beternak sapi lebih banyak dilakukan oleh rakyat yang ada di pedesaan (Rahmayuni, 2001).


  • Ultrasonografi
    Ultrasonography merupakan alat yang cukup modern, dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kebuntingan pada ternak secara dini. Alat ini menggunakan probe untuk mendeteksi adanya perubahan di dalam rongga abdomen. Alat ini dapat mendeteksi adanya perubahan bentuk dan ukuran dari cornua uteri.Harga alat ini masih sangat mahal,diperlukan operator yang terlatih untuk dapat menginterpretasikan gambar yang muncul pada monitor. Ada resiko kehilangan embrio pada saat pemeriksaan akibat traumatik pada saat memasukkan pobe. Pemeriksaan kebuntingan menggunakan alat ultrasonografi ini dapat dilakukan pada usia kebuntingan antara 20 – 22 hari, namun lebih jelas pada usia kebuntingan diatas 30 hari ( Youngquist, 2003 dalam Lestari, 2006).


  • Diagnosa Kebuntingan berdasarkan konsentrasi hormon
    Pengukuran hormon-hormon kebuntingan dalam cairan tubuh dapat dilakukan dengan metoda RIA dan ELISA. Metoda-metoda yang menggunakan plasma dan air susu ini, dapat mendiagnosa kebuntingan pada ternak lebih dini dibandingkan dengan metoda rektal (Jainudeen dan Hafez, 2000).


    Menurut Djojosoebagjo (1987) dalam Illawati (2009), metode RIA mempunyai kemampuan untuk menentukan zat-zat fisiologis sampai konsentrasi yang sangat rendah sekali mencapai konsentrasi pictogram (1 pg = 10-12 gram) untuk setiap satuan ml. Dengan metode ini hampir semua hormon dapat diukur kadarnya. Akan tertapi secara komersil, metoda RIA terlalu mahal untuk digunakan sebagai metoda diagnosis kebuntingan (Partodihardjo, 1992).


  • Metoda punyakoti
    Metoda punyakoti adalah sebuah metoda pemeriksaan kebuntingan ternak sapi menggunakan urine yang pernah dilakukan di sebuah veterinary college di Bangalore India. Teknik ini ternyata meniru dokter di Mesir sekitar 4000 tahun lalu, di mana disebutkan bahwa seorang perempuan yang akan didiagnosis kehamilannya diminta untuk kencing di kantong kain yang berisi biji gandum. Perempuan tersebut didiagnosis hamil apabila biji gandum dalam kantung yang dikencingi tumbuh dalam waktu 5 hari dan tidak hamil bila biji gandumnya tidak tumbuh (Istiana, 2010).


    Namun untuk ternak sapi hasilnya kebalikan dari manusia, jika biji gandum tumbuh dalam 5 hari maka ternak tersebut dinyatakan tidak bunting dan sebaliknya.Uji ini cukup murah, mudah, sederhana, tidak invasif dari sudut pandang kesejahteraan hewan dan tidak memerlukan bahan kimia atau alat yang canggih.Peternak yang ada di daerah terpencil yang akses terhadap dokter hewan begitu terbatas bisa memanfaatkan uji punyakoti untuk mendiagnosis kebuntingan hewan ternaknya.


  • Deteksi kebuntingan dengan urine dan asam sulfat (H2SO4)
    Deteksi kebuntingan dini secara kimiawi merupakan salah satu alternatif deteksi kebuntingan pada sapi. Keunggulan metode ini peternak akan lebih cepat mengetahui apakah ternak yang sudah dikawinkan atau diinseminasi menjadi bunting atau tidak. Dalam kinerja reproduksi deteksi kebuntingan merupakan salah satu masalah yang sering dihadapi setelah sapi dikawinkan atau di IB (diinseminasi buatan). Untuk itu diperlukan suatu metode deteksi kebuntingan yang hendaknya mudah, murah, cepat dan tepat sehingga dapat mengefisienkan penanganan terhadap ternak betina yang bunting tersebut.Pemeriksaan sendiri mungkin sangat diperlukan.Saat ini deteksi kebuntingan umumnya dilakukan dengan palpasi per rektal, dan kemungkinan yang tepat dapat terjadi 2–3 bulan setelah diinseminasi dan semakin tepat dengan bertambahnya umur kebuntingan.


    Beberapa metode diagnosis telah di aplikasikan di lapangan. Metode diagnosis yang populer pada sapi adalah palpasi rektal. Aplikasi metode ini sulit diterapkan karena butuh keahlian dan pengalaman yang cukup serta risiko yang ditimbulkan jika dilakukan dengan penanganan yang kurang baik. Pada level lapangan, jumlah tenaga untuk aplikasi metode ini sangat terbatas. Oleh karena itu, perlu dicari suatu solusi alternatif sehingga ditemukan suatu metode yang ideal yang dapat diaplikasikan pada sapi masyarakat.


    Dasar teoritis pemeriksaan urine ini adalah terdapatnya hormon estrogen pada sapi bunting yang disekresikanmelalui urin. Hormon estrogen tersebut berasal dari plasenta. Ketika dicampur dengan asam sulfat, maka estrogen tersebut akan dibakar sehingga terbnetuk fluoresensi warna. Aplikasi metode ini sangat sederhana dan memenuhi syaratsyarat ideal untuk diagnosis kebuntingan sehingga sangat tepat untuk diaplikasikan pada level peternak.


    Estrone sulphate adalah derifat terbesar estrogen yang diproduksi oleh konseptus dan dapat diukur dalam plasma maternal, susu atau urine pada semua species ternak. Estrone sulphate dapat dideteksi dalam plasma lebih awal pada babi ( hari ke 20) dan kuda (hari ke 40), dibandingkan pada domba dan kambing (hari ke 40 sampai 50) atau sapi (hari ke 72). Kedua level hormon baik estrone sulphate maupun eCG dapat digunakan untuk mendiagnosa kebuntingan pada kuda setelah hari ke 40 kebuntingan. Karena fetus yang berkembang mengeluarkan sejumlah besar estrone sulphate ke dalam sirkulasi maternal antara hari ke 75-100 kebuntingan, maka estronesulphate lebih dapat dimanfaatkan dari pada eCG untuk mengetahui adanya kehadiran fetus (Damayanti, 2006).


    Menurut Rosalin (2002), Pengambilan sampel urine pada sapi yang telah di IB sebulan dan setelah dua bulan di IB tidak berbeda nyata dengan angka kebuntingan. Akan tetapi waktu yang cepat dan tepat perlu dicari untuk memperoleh hasil deteksi yang cepat dan tepat. Menurut Partodihardjo (1992), asam sulfat yang dapat digunakan untuk deteksi kebuntingan. Ditambah Satriyo (2001), metode deteksi ini telah diterapkan untuk mendeteksi kebuntingan ternak sapi, di dalam urine sapi yang sedang bunting mengandung hormon estrogen yang dihasilkan oleh plasenta.


    Prinsip dari metode ini menurut Partodihardjo (1987), bahwa dengan penambahan larutan 2 ml urine dan 10 ml aquadest kemudian dibakar dengan 15 ml asam sulfat pekat akan menimbulkan gas fluorescence di permukaan cairan. Gas tersebut timbul karena adanya hormon esterogen di dalam urine. Hormon esterogen diproduksi jika seekor ternak telah mengalami perkawinan dan berada pada proses kebuntingan. Ditambah oleh Illawati (2009), penggunaan volume asam sulfat pekat 0.5 ml yang lebih efektif untuk deteksi kebuntingan. Penggunaan asam sulfat pekat 0.5 ml menghasilkan warna yang berubah dari kuning muda menjadi keunguan ini menunjukan kebuntingan yang jelas. Melanjutkan penelitian ini untuk mendapatkan volume asam sulfat pekat (H2SO4) yang lebih efisien dan lebih ekonomis dari segi harga, uji kebuntingan dilakukan dengan memperkecil volume penggunaaan asam sulfat.


    Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel urine sapi yang berasal dari betina yang telah diinseminasi buatan. Sampel urine sapi diambil pada pagi hari. Bahan kimia yang digunakan adalah Asam Sulfat (H2SO4) pekat dan aquadest. Alat yang dipakai adalah tabung reaksi, gelas ukur, gelas kimia, pipet tetes, batang pengaduk, tang jepit, tisu gulung, alat tulis dan stopwatch.

Prosedur kerja dalam melakukan deteksi kebuntingan menggunakan campuran urine dan Asam Sulfat (H2SO4):

  1. Persiapan Peralatan
    Semua peralatan yang diperlukan dibersihkan. Peralatan dibilas dengan air bersih dan aquadest kemudian dikeringkan.

  2. Penampungan Urine
    Pengambilan urine dilakukan pada pagi hari (06.30-10.00 WIB). Urine langsung ditampung dengan menggunakan alat yang tersedia yaitu gelas ukur.


  3. Membuat Larutan Urine dan Aquadest
    Untuk membuat larutan, urine diambil sebanyak 3 ml lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian ditambah 15 ml aquadest dan larutan dicampur sehomogen mungkin. Kemudian larutan dipindahkan ke dalam 15 tabung reaksi yang lain sebanyak 1 ml pertabung reaksi.


  4. Pembakaran / Penambahan Larutan dengan Asam Sulfat pekat (H2SO4)
    Dimana reaksi ditandai dengan munculnya gelembung-gelembung gas fluorencscence dari dasar tabung dan terjadinya perubahan warna larutan dari kuning muda menjadi biru keungguan apabila sapi bunting. Menurut Sayuti dkk (2011), hasil positif (+) akan memperlihatkan adanya zat fluoresen warna hijau di permukaan cairan sedang hasil negative (-) tidak memperlihatkan zat warna fluoresen.


Menurut Wahyu (2012), Penggunaan Asam Sulfat (H2SO4) pekat dengan dosis 0.1 ml dapat digunakan dalam diagnosis kebuntingan dini pada sapi tetapi dengan waktu yang lebih lama (25-40 detik). Pemeriksaan kebuntingan dini pada sapi dengan menggunakan Asam Sulfat (H2SO4) pekat telah dapat dilakukan pada hari ke-22 setelah diinseminasi.


Metode diagnosis kebuntingan dengan menggunakan Asam Sulfat (H2SO4) pekat dapat dilakukan sendiri oleh peternak karena lebih praktis, cepat dan tidak membutuhkan keahlian khusus sehingga dapat diterapkan pada peternakan rakyat. Menurut Hunter (1995) metode diagnosis kebuntingan yang ideal adalah tidak mahal, mudah dilakukan, sederhana dan cepat, dan dapat segera memberikan hasil agar sapi dapat dikawinkan kembali pada waktu yang optimum dengan tepat.


Jika terjadi kegagalan kebuntingan ini dapat disebabkan oleh kematian embrio dini sebagaimana pendapat Hardjoprajonto (1995) bahwa kematiam embrio dini pada sapi dapat mencapai 20-30%, persentase terbesar dapat terjadi pada 6-42 hari setelah diinseminasi. Kematian embrio dini pada induk yang normal terjadi karena pada dasarnya embrio sampai umur 42 hari, kondisinya labil, mudah terpengaruh oleh lingkungan yang tidak serasi atau kekurangan pakan. Kematian embrio dini yang terjadi tidak memberikan gejala-gejala klinis yang jelas pada induknya, karena embrio akan diserap oleh dinding uterus.


Frandson (1992) memperkirakan kegagalan reproduktif dari ternak, dari kegagalan pembuahan dan kematian embrional sekitar 50% dari produksi potensial hewan betina yang dikawinkan.


Partodihardjo (1992) menyatakan adanya ternak sapi yang minta kawin kembali disebabkan oleh kurangnya pengetahuan peternak dalam mendeteksi berahi sehingga inseminasi dilakukan tidak tepat pada waktunya, kesalahan dalam pelaksanaan IB yang tidak sesuai dengan prosedur serta rendahnya kesuburan hewan betina yang diinseminasi.


Lama kebuntingan dari seekor ternak ditentukan oleh faktor genetik walaupun dapat dimodifikasi oleh faktor-faktor maternal, foetal, dan lingkungannya. Sapi-sapi dara pada umur relatif muda akan mempunyai masa kebuntingan yang lebih pendek dari pada sapi yang lebih tua (Toelihere, 1981).  Dari pemaparan diatas mengenai berbagai macam metode deteksi kebuntingan, yang cocok diterapkan diwilayah pedesaan adalah metode deteksi kebuntingan menggunakan campuran urine dan asam sulfat (H2SO4) yang memiliki kelebihan yaitu murah, cepat dan hasilnya akurat.


Kelebihan dan Kekurangan Metode Deteksi Kebuntingan dengan Campuran Urine dan Asam Sulfat (H2SO4)

Di samping itu deteksi kebuntingan dini secara kimiawi merupakan salah satu alternatif deteksi kebuntingan pada sapi. Keunggulan metode ini peternak akan lebih cepat mengetahui apakah ternak yang sudah dikawinkan atau diinseminasi menjadi bunting atau tidak. Menurut Rosalin (2002), Pengambilan sampel urine pada sapi yang telah di IB sebulan dan setelah dua bulan di IB tidak berbeda nyata dengan angka kebuntingan. Akan  tetapi waktu yang cepat dan tepat perlu dicari untuk memperoleh hasil deteksi yang cepat dan tepat. Hal ini diperkuat oleh pendapat dari Wahyu (2012), bahwa penggunaan Asam Sulfat (H2SO4) pekat dengan dosis 0.1 ml dapat digunakan dalam diagnosis kebuntingan dini pada sapi tetapi dengan waktu yang lebih lama (25-40 detik). Pemeriksaan kebuntingan dini pada sapi dengan menggunakan Asam Sulfat (H2SO4) pekat telah dapat dilakukan pada hari ke-22 setelah diinseminasi.


Jadi dapat dikatakan bahwa dengan penggunaan metode ini deteksi kebuntingan akan cepat karena dalam waktu 22 hari setelah dilakukan IB dapat dilakukan uji ini, sedangkan deteksi kebuntingan yang umum dilakukan sekarang adalah dengan palpasi  per rektal yang dapat dilakukan 2-3 bulan setelah diinseminasi. Keuntungan lain adalah terjagkau untuk kalangan peternak karena tidak membutuhkan bahan yang banyak dan biaya yang mahal. Serta tidak membutuhkan keahlian khusus seperti palpasi rektal karena dapat diterapkan pada peternakan rakyat dimana peternaka dapat melakukan sendiri. Dan telah teruji secara tepat serta akurat, bahwa menurut Hunter (1995), metode diagnosis kebuntingan yang ideal adalah tidak mahal, mudah dilakukan, sederhana dan cepat, dan dapat segera memberikan hasil agar sapi dapat dikawinkan kembali pada waktu yang optimum dengan tepat.


Kasus lain yang ditemukan adalah adanya sapi yang sudah diduga bunting dengan Non-Return Rate (NR) tetapi ternyata tidak bunting ketika didiagnosis menggunakan Asam Sufat (H2SO4) pekat dan uji palpasi per rektal, ini membuktikan bahwa pendugaan dengan NR tidak selalu akurat. Kelemahan metode ini adalah memerlukan pengamatan yang lama dan intensif, adanya kasus silent heat (berahi tenang), serta adanya korpus luteum persistent atau korpus luteum yang tidak beregresi secara normal (Toelihere, 1981).


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Sistem Pencernaan Makanan Pada Hewan Ruminansia Lengkap


Penanganan Kelahiran Pada Pedet Sapi

Sebelum pedet lahir terlebih dahulu dilakukan membersihkan kandang induk kemudian kandang dilengkapi dengan alas dari jerami padi. sesuai dengan kebutuhan atau kapasitasnya. Ukuran kandang individual untuk pedet umur 0-4 minggu adalah 0,75m x 1,5 m dan umur 4-8 minggu 1,0 x 1,8m. Kapasitas kandang pedet umur 4-8 minggu adalah 1 mZ/ekor, dan umur 8-12 minggu adalah 1,5 m/ekor. Induk bunting yang mau melahirkan hendaknya di pisahkan dari dari sapi yang lain dan ditempatkan dikandang khusus beranak yang bersih dan telah didisenfektan sehingga pada saat beranak, induk dapat melahirkan dengan tenang tanpa terganggu oleh induk bunting lain.

Langkah-langkah setelah pedet lahir :

1. Segera membersihkan lendir yang ada dihidung dan di mulut pedet.


2. Memeriksa apakah pedet sudah dapat bernafas. Jika pedet mengalami kesulitan bernafas segera lakukan pernafasan buatan dengan cara mengangkat kedua kaki belakang pedet, sehingga posisi kepala dibawah, selanjutnya angkat dan turunkan pedet berulang-ulang (3-5 kali), sehingga lendir yang masih meyumbat rongga hidung dan rongga mulut akan keluar dan pedet dapat segera bernafas. Cara lain dengan menelentangkan padet sedemikian rupa, sehingga kaki-kakinya menghadap ke atas.


Kemudian ke dua kaki depannya dipegang dan digerak-gerakan dengan serentak ke atas dan kebawah berulang kali, sampai terlihat tanda-tanda bernafas. Atau dapat dilakukan dengan menekan dada berulang-ulang sampai terjadi pernafasan. Adakalanya pernafasan itu terganggu karena adanya lendir yang terdapat didalam mulut dan tenggorokan, maka lidah ditarik keluar dan lendir dikeluarkan dari mulut dan tenggorokan dengan menggunakan jari telunjuk.


3. Setelah pedet dapat berdiri, Ikat tali pusar (funiculus umbilicalis) kuranglebih 2,5 cm dari perut kemudian dipotong kurang lebih 1 cm di bawah ikatan tali. Tali pusar dapat disterilkan (disucihamakan) dengan 3 cara :

  • Tali pusar dicelupkan pada yodium tintur 10% atau betadine.
  • Tali pusar disemprot dengan yodium tintur 10%.
  • Memasukkan 5 ml yodium tintur 10% atau betadine ke dalam tali pusar dengan alat suntik atau langsung dari botol betadine, hingga larutan masuk sampai ke pangkal tali pusar.

4. Induk dibiarkan menjilati anaknya, agar jilatannya lebih kuat maka di taburkan garam dapur di tubuh pedet. Jilatan induk ini akan membantu melancarkan pernafasan dan merangsang sirkulasi darah. Apabila induk tidak mau menjilati anaknya, lendir pada tubuh pedet dibersihkan oleh peternak dengan kain lap bersih dan kering dengan digosokan sampai seluruh permukaan tubuh pedet kering.


5. Usahakan peternak mengarahkan pedet pada puting induknya untuk mentusu supaya segera mendapatkan kolostrum, Apabila pedet lahir sehat dan kuat biasanya 30 sampai dengan 60 menit setelah lahir sudah dapat berdiri. Pedet waktu lahir tidak memiliki kekebalan untuk melawan penyakit. Oleh karena itu 30 sampai dengan 60 menit setelah lahir pedet segera diberi minum kolustrum. Kolostrum adalah susu yang dihasilkan oleh sapi setelah melahirkan sampai sekitar 5 sampai dengan 6 hari. Kolostrum sangat penting untuk pedet setelah lahir karena kolustrum mengandung zat pelindung atau antibodi yang dapat menjaga ketahanan tubuh pedet dari penyakit.


6. Pemeliharaan pedet memerlukan perhatian dan ketelitian yang tinggi dibanding dengan pemeliharaan sapi dewasa. Hal ini disebabkan karena kondisi pedet yang masih lemah sehingga bisa menimbulkan angka kematian yang tinggi. Kesalahan dalam pemeliharaan pedet bisa menyebabkan pertumbuhan pedet terhambat dan tidak maksimal.


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Pengertian Fisiologi Manusia Dan Hewan Beserta Bidangnya


Tahap-Tahap Kelahiran

Walaupun aktivitas partus merupakan suatu proses yang berkesinambungan, tetapi sebagai gambaran diskriptif dapat dibagi 3 tahap.

  1. Tahap Pertama
    Tahap ini ditandai dengan konstraksi aktif serabut-serabut urat daging pada dinding rahim (uterus) dan melebarnya (dilatasi) leher rahim (cervix). Kondisi ini terjadi karena adanya perubahan hormonal dalam tubuh induk menjelang kelahiran. Konstraksi uterus terjadi setiap 10 menit sampai 15 menit dan berlangsung sampai 15 sampai 30 detik. Tahap pertama pada sapi yang baru pertama kali melahirkan nampak berlangsung lebih lama daripada sapi yang sudah pernah beranak. Pada tahap pertama ini yang nampak adalah ternak kalihatan gelisah, napsu makan turun, sebentar berbaring sebentar berdiri. Menjelang akhir tahap ini ketuban (allantochorion) nampak keluar dari vagina dan kemudian pecah. Fetus sudah mulai memposisikan diri untuk keluar dari uterus

  2. Tahap Kedua
    Tahap kedua ini ditandai oleh pemasukan fetus kedalam saluran kelahiran yang berdilatasi, pecahnya kantong ketuban (allantois), kontraksi abdominal atau perejanan dan pengeluaran fetus melalui vulva. Selama tahap kedua ini, uterus mengalami perejanan 4 sampai 8, setiap 10 menit dan berlangsung 80 sampai 100 detik. Perejanan berulang-ulang berlangsung terus dan kaki fetus terlihat di vulva. Sewaktu kaki fetus melewati vulva, kantong amnion pecah. Peningkatan konstraksi abdominal terjadi pada waktu kepala, bahu dan pinggul fetus memasuki pelvis. Ketika kepala fetus memasuki vulva, pada saat inilah terjadi perejanan perut (abdominal) yang terkuat pada proses partus. Sesudah kepala fetus melewati vulva, biasanya induk istirahat untuk beberapa menit sebelum kembali merejan dengan kuat sewaktu dada fetus berlalu melewati saluran pelvis. Pinggul segera menyusul kemasuki saluran kelahiran. Tahap kedua proses kelahiran berlangsung 0,5 sampai 3 atau 4 jam. Pada sapi yang sudah sering beranak tahap ini hannya memerlukan setengah sampai satu jam.


  3. Tahap Ketiga
    Tahap ketiga ini adalah tahap terakhir dari suatu proses kelahiran yang ditandai dengan pengeluaran selaput fetus/ ari-ari (plasenta) dan involusi uterus. Pengeluaran plasenta secara normal selasai dalam beberapa jam setelah pengeluran fetus. Lama waktu yang diperlukan yntuk pengeluaran plasenta pada sapi adalah 0,5 sampai 8 jam.


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Makalah Hewan Aves (Burung)


Gangguan Reproduksi Dan Penanganannya

Gangguan Reproduksi Yang Biasa Terjadi Pada Sapi :

  1. Birahi tenang (Silent Heat)
    Birahi tenang atau birahi tidak teramati banyak dilaporkan pada sapi potong; sapi dengan birahi tenang mempunyai siklus reproduksi normal, namun gejala birahinya tidak terlihat. Birahi tenang akan mengakibatkan peternak tidak dapat mengetahui kapan sapinya birahi, sehingga tidak dapat dikawinkan dengan tepat.  Birahi tenang pada sapi karena beberapa kemungkinan yaitu :
    I. faktor genetis
    II. manajemen peternakan yang kurang baik
    III. defisiensi komponen-komponen pakan atau defisiensi nutrisi,
    IV. kondisi fisik jelek, kebanyakan karena parasit interna (cacing),

  2. Tidak birahi sama sekali (anestrus)
    Tidak birahi sama sekali atau anestrus adalah keadaan dimana memang tidak terjadi siklus reproduksi, tidak ada ovulasi, sehingga tidak terjadi gejala birahi sama sekali. Kasus anestrus pada sapi perah cukup banyak ditemui, umumnya terjadi setelah beranak. Anestrus pada sapi perah akibat defisiensi nutrisi umumnya berupa penurunan ovaria (hipofungsi ovaria) bisa mencapai 90% dan akibat adanya peradangan saluran reproduksi 10%.


Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Hewan Vertebrata dan Invertebrata


Situs Normal dan Abnormal Pada Fetus

Situs Normal Pada Fetus

1. posisi normal fetus sapi (longitudinal anterior)

posisi normal fetus sapi


2. posisi  normal fetus sapi (longitudinal posterior)

posisi  normal fetus sapi


Situs Abnormal Pada Fetus

Macam-macam  posisi distokia dan cara penanganannya

1. Presentasi: Longitudinal anterior

  • Posisi: Dorso sacral
  • Postur: Unilateral shoulder flexion postur
  • Prognosa: Fausta

Penanganan : Ujung kaki yang menjulur diikat dengan tali, dan biarkan menjulur, kemudian direpulsi, ekstensi bagian bahunya. Ujung teracak dilindungi agar tidak melukai saluran reproduksi. Tali ujung kaki kemudian ditarik keluar.


2. Presentasi: Longitudinal anterior

  • Posisi: Dorso sacral
  • Posture : Head neck flexion posture dorsal

Penanganan: salah satu kaki fetus di ikat, lalu fetus direpulsikan  kemudian diekstensi sehingga posisi kepala menghadap kea rah vagina. Setelah posisi extended, fetus siap untuk diretraksi keluar. Cara lain jika fetus tidak dapat dikeluarkan dan masih dalam keadaan hidup adalah dengan operasi caesar.


3. Presentasi: Longitudinal anterior

  • Posisi: Dorso sacral
  • Posture: Dog sitting
  • Prognosa: Fausta

Penanganan: Kaki diikat dengan tali, direpulsi, ekstensi kaki depan, dibuat dorsalsacral, ekstensi, kemudian diretraksi. Penarikan harus cepat karena umbilicus tergencet,  jika tidak fetus akan mati kehabisan nafas.


4. Presentasi: Longitudinal anterior

  • Posisi: Dorso sacral
  • Posture : Vertex Posture
  • Prognosa: Fausta-Infausta

Penanganan: Salah satu kaki fetus diikat, lalu fetus direpulsikan kemudian dirotasi sehingga posisi kepala tepat sedikit menengadah dan tidak mengganjal kembali pada tulang pubis. Setelah posisi extended, fetus siap untuk diretraksi keluar. Cara lain jika fetus tidak dapat dikeluarkan dan masih dalam keadaan hidup adalah dengan operasi cesar.


5. Presentasi : longitudinal posterior

  • Posisi: Dorso illial
  • Posture: Bilateral hip flexion posture (BreechPosture)
  • Prognosa: Infausta

Penanganan: ikat salah satu kaki fetus sebagai acuan, lalu dengan bantuan porok kebidanan fetus diekstensi, kemudian di keluarkan kaki belakangnya dan diretraksi perlahan sesuai dengan irama kontraksi dari induk.


6. Presentasi: Ventro transversal presentation

  • Posisi: chepalo pubic
  • Postur:Dorso illiaca sinister/dexter
  • Prognosa: Fausta

Penanganan: ikat salah satu kaki depan fetus, lau dengan bantuan porok kebidanan fetus didorong (ekstensi), lalu dirotasi dan siap untuk diretraksi.


7. Presentasi: longitudinal posterior

  • Posisi: Dorso sacrum
  • Posture: Hock flexion posture
  • Prognosa: fausta-infausta

Penanganan: terlebih dahulu harus dilakukan palpasi vaginal untuk mendapatkan kaki fetus, setelah dirasa dapat maka kaki fetus lalu diikat dengan tali, posisi tubuh di repulse lalu diekstensikan untuk membenahi posisi badan dari fetus. Lalu dengan perlahan dilakukan versio, agar pas posisi depan-belakang, kemudian dilakukan retraksi dengan perlahan sesuai irama kontraksi induk.


8. Presentasi: longitudinal anterior

  • Posisi: Dorso sacrum
  • Postur: bilateral hip flexio posture

Penanganan: pada posisi seperti gambar diatas, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah mengikat kaki depan fetus tersebut, lalu dengan bantuan porok kebidanan, posisi fetus direpulsi. Setelah mengalami repulse maka  hal selanjutnya adalah ekstensi, dalam hal ini adalahpembenaranposisi untukkaki belakang, setelah posisi sesuai dengan posisi normalmaka dilakukan penarikan fetus atau retraksi sesuai dengan kontraksi dari uterus induk.

Mungkin Dibawah Ini yang Kamu Cari