Konvensi London 1814

Diposting pada

Untuk pembahasa kali ini kami akan mengulas mengenai konvensi london “convention of london” yang dalam hal ini meliputi definisi beserta isi, nah untuk lebih dapat memahami dan mengerti simak ulasan dibawah ini.

Konvensi-London-1814

Pengertian Konvensi London

Konvensi london adalah pengembalian Indonesia kepada Belanda yang sempat diambil alih oleh Inggris, karena dianggap tidak ada untungnya bagi Inggris.

Konvensi London disepakati pada tahun 1814 dengan penyerahan kembali Indonesia kepada Belanda.


Sejarah dan Latar Belakang Pembentukan Konvensi London 1972

Pembuangan limbah kedalam laut bukanlah merupakan suatu hal yang baru, sejak ratusan tahun yang lalu, laut telah menjadi tempat pembuangan terakhir dari limbah yang telah menumpuk di daratan, seprti lumpur yang dihasilkan dari penggalian di sungai maupun tepi pantai, saluran limbah, limbah dari pertambangan, limbah industri kimia, dan pembuangan limbah lainnya.

Hingga tahun 1970 samudra menjadi tempat untuk membuang segala macam limbah. Negara industri seringkali menggunakan laut sebagai tempat pembuangan limbah radioaktif dan berbagai jenis limbah lainnya, dimana pembuangan berbagai macam limbah tersebut berdampak pada penurunan kualitas sumber daya laut contohnya pada beberapa kasus seperti area laut baltik dan pelabuhan New York menjadi laut “mati” yang disebabkan oleh polusi yang dibuang kelaut.

Aturan pertama yang mengawali pengaturan terhadap pembuangan limbah dilaut adalah Washington, D.C conference pada tahun 1926, namun konfrensi tersebut kurang berhasil. Para peserta konfrensi tersebut pada dasarnya membahas mengenai kesepakatan pelarangan membuang limbah minyak dari kapal, namun ketika kesepakatan telah terbentuk, kegagalan Amerika dalam meratifikasi perjanjian tersebut berdampak pada gagalnya pengaturan mengenai pembuangan limbah di laut.

Kesepakatan sukses pertama terkait dengan pembuangan limbah dilaut ada di London pada tahun 1954. Perjanjian tersebut bertujuan untuk mencegah pembuangan limbah di laut yang disebabkan oleh kapal tanker pengangkut minyak yang membuang sisa campuran minyak dilaut dalam zona yang dilarang.

Namun banyak rumusan pasal dari perjanjian tersebut yang memungkinkan pencemar lolos dari tanggung jawab menjaga lingkungan, Sehingga pada tahun 1962 dan 1969 diadakan amandemen terhadap perjanjian tersebut dengan memperluas area larangan pembuangan limbah dan mengurangi jumlah limbah yang boleh dibuang kelaut oleh kapal tanker.

Dalam perkembangannya perjanjian tersebut kembali di amandemen pada tahun 1971 untuk memasukan standar baru kostruksi tanker minyak. Namun kemudian perjanjian tersebut digantikan dengan 1973/78 MARPOL Convention (The International Convention for the Prevention of Pollution from Ships).

Karena pencemaran limbah di laut masih kurang mendapatkan perhatian yang seerius barulah pada tahun 1972 dibentuk London Convention, sebagai aturan pertama yang mengatur secara komperhensif mengenai pembuangan limbah di laut.


Perubahan dari Konvensi London 1972 hingga Protokol 1996

Dalam proses amandemen London Dumping Convention dibutuhkan persetujuan dari dua pertiga anggota. Sejak draft pertama pada tahun 1972, konvensi ini telah mengalami amandemen sebanyak lima kali. Beberpa amandemen tersebut mengatur mengenai apa yang boleh dan tidak boleh terkait dengan pembuangan limbah lepas pantai, panduan izin pembuangan limbah, dan bagaimana mekanisme penyelesainan permasalahan sengketa antara negara yang terikat dalam konvensi.

Sejarah-Konvensi-London-1814

Salah satu amandemen yang terpenting terjadi pada tahun 1993. Pada bulan Oktober 1993, Federasi Rusia terbukti membuang 237.000 gallons atau setara dengan 900 Ton level rendah limbah nuklir di laut Jepang. Setelah melalui proses panjang dan upaya dari Greenpeace untuk menyelidiki kasus ini, kejadian ini menyebabkan Jepang dan Amerika Serikat mengubah pandangan mereka terkait dengan pembuangan level rendah limbah nuklir, yang mengakibatkan amandemen 1993 yang melarang pembuangan level rendah limbah nuklir.

Selain itu amandemen konvensi pada tahun 1993 juga menghapus limbah industrial mulai 31 Desember 1995 dan melarang pembakaran limbah industrial di laut.

Pada dasarnya Protocol 1996 tidak bisa disamakan dengan amandemen dari London Convention, jauh dari amandemen London Convention, Protocol 1996 telah menggantikan London convention, walaupun negara bukan peserta dari London Convention juga diajak untuk terlibat dalam pembuatan Protocol 1996.

Protocol 1996 menunjukan evolusi yang cukup berbeda dibandingkan dengan London Convention. Protokol ini lebih memasukan prinsip kehati hatian (Precautionary principle) dan prinsip pemberi polusi harus membayar (polluter pays principle). Protocol 1996 juga mengubah ketentuan mengenai zat material apa saja yang boleh dibuang ke laut, mekanisme penyelesaian masalah, mengadopsi seluruh ketentuan dalam amandemen konvensi London, dan menutup celah celah yang masih memungkinkan pihak dalam perjanjian untuk membahayakan lingkungan.

Salah satu perbedaan terbesar antara Protocl 1996 dengan London Dumping Convention adalah dihapusnya pengelompokan list zat material yang dapat dibuang ke laut (list hitam, abum dan putih). Namun Protocol 1996 tetap membagi kepada tiga Annex.

Namun berbeda dengan pengaturan sebelumnya dalam London Dumping convention yang mengatur mengenai apa saja yang tidak boleh dibuang ke laut, Protocol 1996 mengatur mengenai apa saja zat material yang dapat dibuang ke dalam laut.

Dimana zat yang ada dalam list Annex I dapat secara langsung di tepi pantai tanpa harus memerlukan izin, sedangkan seluruh zat material yang tidak terdapat dalam Annex I wajib memerlukan surat izin yang dikeluarkan oleh negara.

Annex II membahas mengenai kewajiban dari negara dalam pertimbangan terkait dengan mengeluarkan izin pembuangan limbah di laut, pada dasarnya Annex II dari Protocol 1996 merupakan pengembangan dari Annex III London Dumping Convention.

Annex II mengatur mengenai pembuangan limbah itu sendiri, tempat yang diperbolehkan dilakukannya pembuangan limbah, banyaknya jumlah limbah yang dapat dibuang ke laut, dan dampak jangka panjang dari pembuangan limbah.

Protocol 1996 juga memperkenalkan dua rinsip baru yaitu precautionary principle dan polluter pays principle. Precautionary principle diatur sebanyak dua kali dalam protocol, yaitu dalam pembukaan dan dalam pasal 3.

Dalam mengimplementasikan precautionary principle, negara disarankan untuk melakukan pencegahan pembuangan limbah dilaut yang berpotensi merusak lingkungan. Selain itu Pada pasal 3 Protocol 1996, juga mengatur mengenai polluter pays principle dan mendenda negara yang menyebabkan tercemarnya lingkungan.

Salah satu kritikan dari London Convention adalah karena tidak diaturnya penyelesaian sengketa secara jelas. Kemudian dalam Protocol 1996 mencoba untuk memperbaiki kritikan tersebut dengan menambahkan pengaturan mengenai penyelesaian sengketa.

Pasal 16 Protocol secara spesifik mengatur mengenai penyelesaian sengketa. Dalam pengaturannya mengenai penyelesaian masalah, tahap pertama yang harus dilakukan adalah negosiasi dan mediasi.

Dalam hal apabila para pihak yang bersengketa tidak menemukan kesepakatan mengenai perkara yang disengketakan, Protocol 1996 memberikan solusi arbitrase (yang diatur dalam Annex III dari Protocol) atau memperbolehkan para pihak menyelesaikan dengan menggunakan mekanisme yang terdapat dalam Pasal 287 UNCLOS.

Dalam upaya mempertahankan seluruh amandemen dari London Convention, Protocol 1996 terus berupaya untuk mmperbaiki segala ketentuan yang ada. Salah satu yang paling menonjol adalah terkait dengan isu pembakaran limbah dilaut. Dimana sebelumnya dalam London Convention masih dimungkinkan dilakukannya pembakaran limbah dilaut sedangkan dalam Protocol 1996 telah melarang seluruh pembakaran limbah dilaut.

Selain itu dalam rangka untuk memastikan bahwa negara peratifikasi tidak melakukan hal yang telah disepakati, Protocol 1996 menggabungkan larangan pengiriman limbah ke negara lain unduk dibuang ke dalam laut atau dibakar di laut.

Sejak berlakunya pada tahun 1996, Protocol 1996 hanya pernah diamandemen sebanyak satu kali. yaitu amandemen terkait dengan Annex I. Protocol 1996 juga menunjukan perubahan dari London Convention. Pertama, menggabungkan ide awal dari konvensi dan amandemen.

Contohnya adalah dalam hal pembakaran limbah dilaut, dimana masih dimungkinkan dalam London Convention, namun dihapuskan sama sekali oleh ketentuan Pasal 5 Protocol 1996. Selain itu terkait dengan berbagai celah dalam konvensi awal, drafter Protocol 1996 telah mencoba untuk mengantisipasinya, termasuk dengan pelarangan pengiriman limbah ke negara yang tidak meratifikasi untuk dibuang ke laut.


Hubungan Konvensi London dengan UNCLOS

Dalam hal hubungannya dengan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) adalah semua negara yang turut tergabung dalam UNCLOS secara hukum turut terikat untuk mengadopsi ketentuan ketentuan yang mengatur mengenai kontrol terhadap pencemaran di laut, dan pengaturannya tidak boleh lebih kurang dari pengaturan standard (diatur dalam pasal 210), dimana mengacu kepada London Convention 1972.

Selain itu negara dalm perjanjian ini juga harus menegakkan hukum dan peraturan yang diwajibkan dalam pasal 216 UNCLOS. Hal ini merupakan konsekuensi penting mengingat ada 77 negara dari 145 negara yaang belum meratifikasi London Convention 1972.


Kewajiban Negara Anggota dan Posisi Indonesia dalam Konvensi London 1972 dan Protokol 1996

Dalam hal pengaturan di dalam London Convention, Pada Pasal 7 menyatakan bahwa kapal dan pesawat militer dibebaskan dari konvensi, sehingga hanya mengikat kapal diluar kapal militer. Adapun dalam London Conention mengatur kewajiban negara peresrta beberapa hal sebagai berikut:

  • negara peserta wajib untuk memonitor dan mengetahui keadaan lingkungan dan jumlah limbah yang diperbolehkan untuk dibuang ke laut, kapan dimana dan bagaimana limbah itu dibuang serta kondisi laut ketika pembuangan limbah;
  • memastikan bahwa limbah dengan radioaktif tetap ada pada list hitam yang tidak boleh dibuang ke dalam laut. Negara peserta wajib untuk tidak membuang limbah radioaktif tersebut kedalam laut;
  • limbah industri masuk dalam katagori yang sangat heterogan, Tim penasihat terkait dumping, memberikan jenis zat yang aman dan tidak untuk dumping, berdasarkan dampaknya terhadap lingkungan, berdasarkan analisa tersebut maka limbah industri termasuk kedalam limbah yang dilarang untuk dibuang ke laut berdasarkan London Convention;
  • negara peserta London Convention berkewajiban untuk mebuat guidelines atau panduan penerbitan izin untuk membuang limbah di laut seperti endapan kotoran, dan hasil galian adalah salah satu pengecualian dari larangan pembuangan limbah industri;
  • memperketat regulasi mengenai izin pembakaran limbah dilaut, sebelum dilarang pada amandemen tahun 1993;
  • Working Group dari Annex pada tahun 1988 yang bertugas untuk merevisi list hitam dan abu abu, telah membuat apa yang disebut sebagai Waste Assessment Framework, yang mengatur mengenai panduan detail terkait dengan proses izin domestik untuk mengeluarkan izin pembuangan limbah, khususnya terkait dengan pengujian dampak pada lingkungan dan pertimbangan mengenai adakah pengelolaan limbah dengan cara lain. Yang lebih lanjut dibahas dalam Annex 2 Protokol 1996;
  • Resolusi 1986 mengamanatkan kepada negara peserta untuk tidak mengekspor limbah untuk dibuang ke laut ke negara yang tidak terikat London Convention atau aturan regional terkait dengan dumping.

Isi Konvensi London

Dalam hal ini adapun isi pokok dari Konvensi London yang diantaranya yaitu:

  • Indonesia dikembaliakan kepada Belanda.
  • Jajahan-jajahan Belanda seperti Sailan, Kaap Koloni, Guyana tetap ditangan Inggris.
  • Cochain “di pantai malabar” diambil oleh Inggris dan Bangka diserahkan pada Belanda sebagai gantinya.

Demikianlah pembahasan mengenai Konvensi London 1814: Isi, Sejarah, Perubahan, Hubungan, Kewajiban semoga dengan adanya ulasan tersebut dapat menambah wawasan dan pengetahuan anda semua, terima kasi banyak atas kunjungannya.


Baca Juga:

Mungkin Dibawah Ini yang Kamu Cari